Revolusi industri 4.0 ditandai dengan fenomena baru: yang cepat mengalahkan yang lambat. Tantangan lembaga zakat dalam revolusi industri 4.0 menjadi salah satu topik diskusi dalam Indonesia Shari’a Economic Festival (ISEF) 2018.
Zakat, infak dan sedekah pada era revolusi industri 4.0 menjadi salah satu tema seminar yang saya sukai dalam pergelaran ISEF 2018. Apalagi, tiga pembicaranya saya kenal dengan baik: Sigit Iko (Lembaga Zakat Al-Azhar), Imron Mawardi (Universitas Airlangga) dan Sulistya Rusgianto (Universitas Airlangga). Keberadaan saya sebagai pengurus di Lembaga Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu), sepertinya juga membuat tema ini lebih mudah saya pahami.
Dalam pemahaman saya, tugas amil secara garis besar ada dua: mengumpulkan zakat, infak dan sedekah serta menyalurkannya melalui program. Hasil kegiatan pengumpulan dan penyaluran itu dilaporkan secara terbuka dan transparan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Pada gilirannya, pertanggungjawaban itu akan meningkatkan kepercayaan publik. Kepercayaan akan meningkatkan keberhasilan pengumpulan dana.
Zakat, infak dan sedekah pada masa lalu dikelola sebagai kegiatan sosial yang dijalankan secara ad hoc, baik oleh perorangan atau kepanitiaan. Jenis zakat yang dikelola pun terbatas. Umumnya hanya zakat fitri atau zakat fitrah. Waktunya pun hanya pada bulan Ramadan. Di luar Bulan Suci, kegiatan infak dan sedekah dikelola para pengurus masjid.
Pada perkembangan berikutnya, zakat, infak dan sedekah dikelola sebagai kegiatan sosial yang dijalankan lembaga berbadan hukum. Peran pemerintah mulai terasa. Setidaknya pada proses pendirian dan izin operasionalnya. Program penyaluran masih banyak yang bersifat karitas.
Pada tahap selanjutnya, zakat, infak dan sedekah dikelola sebagai kegiatan sosial dengan tujuan pemberdayaan komunitas sasaran secara ekonomi dan sosial. Pada tahap ini terjadi fenomena baru: banyak profesional yang terjun sebagai amil.
Perkembangan yang terbaru, zakat, infak dan sedekah diposisikan sebagai instrumen keuangan yang bersifat luas. Lembaga zakat, infak dan sedekah mau tidak mau harus bertransformasi menjadi lembaga keuangan syariah yang dikelola secara profesional.
Pada masa lalu, lembaga amil harus membangun banyak outlet, agar bisa melayani banyak muzaki dan mustahik yang tersebar di seluruh Nusantara. Setiap outlet memerlukan tenaga amil yang memadai. Yang kuat mengalahkan yang lemah.
Namun revolusi industry 4.0 telah mengubah banyak hal. Kehadiran internet membuat yang cepat mengalahkan yang lambat. Yang cepat mungkin yang kecil. Yang lambat mungkin yang besar.
Menunaikan dan menyalurkan zakat, infak atau sedekah secara fisik: dari tangan ke tangan, adalah contoh lambat itu. Transaksi dari rekening ke rekening atau dari akun ke akun melalui platform digital adalah contoh cepat itu.
Hari-hari ini, sudah terbukti. Penghimpunan melalui platform crowdfunding sudah mengalahkan cara penghimpunan donasi konvensional. Satu aplikasi mengalahkan jaringan outlet pelayanan yang begitu banyak.
Fiqih zakat juga segera dihadapkan pada tantangan berkembangnya objek zakat, infak dan sedekah baru. Misalnya, mata uang global: Noorcoin. Yang disiapkan sebagai mata uang digital berbasis syariah untuk 57 negara dengan 1,8 miliar penduduk muslim
Begitulah realitasnya. Teknologi digital mengubah semua sendi kehidupan. Tidak terkecuali zakat, infak dan sedekah. Sebenarnya hal inilah yang sering menjadi bisik-bisik di kalangan amil zakat konvensional. Lebih tepatnya: bisik-bisik dengan setengah galau.
Revolusi industri 4.0 memang sudah dimulai. Bukan baru akan datang. Era yang besar mengalahkan yang kecil sudah lewat