JAKARTA, MENARA62.COM– Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan terus berupaya melestarikan masjid sebagai cagar budaya. Upaya ini dilakukan mengingat masjid adalah bagian dari catatan sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia.
“Melalui masjid kita bisa mengetahui perjalanan panjang masuknya agama Islam di Indonesia,” kata Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, di sela diskusi merayakan milad Istiqlal bertema Masjid sebagai Pusat Peradaban dan Pemersatu Bangsa di Jakarta, Senin (27/2/2017).
Menurut Hilmar, Islam masuk ke Indonesia secara bergelombang. Ini bisa dilihat dari corak dan ragam bangunan masjid yang memiliki ciri khas berbeda antar masjid maupun antar daerah. Saat Islam masuk pada jaman Majapahit, maka masjid dibangun dengan corak kental budaya Hindu.
Fakta sejarah tersebut lanjut Hilmar harus terus dipertahankan meski upaya renovasi masjid sudah berkali-kali dilakukan. Artinya bahwa renovasi masjid tua tidak boleh mengubah struktur bangunan.
“Struktur bangunan masjid tidak boleh rusak karena ada signifikasi peradaban yang berlapis-lapis,” tambahnya.
Hilmar mengakui jumlah masjid tua di Indonesia sangat banyak. Tetapi baru sebagian yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Diantaranya masjid Istiqlal yang dibangun pada 24 Agustus 1951 atas prakarsa Presiden Soekarno.
Lalu Masjid Demak yang dibangun pada masa syiar Islam Sunan Kalijaga, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon yang dibangun Sunan Gunung Jati pada 1498 dengan arsitektur menyerupai pura Hindu zaman Majapahit.
Kemudian Masjid Rao-Rao Sumatera Barat yang dibangun akhir abad ke-19 dengan arsitektur khas Minangkabau dan Masjid Raya Sultan Riau yang dibangun pada abad 18 dengan gaya arsitektur Melayu.
Selain itu masih ada 4 masjid yang dibangun paling awal di Nusantara berdasarkan kesaksian orang-orang. Yakni Masjid Saka Tunggal (1288), di Desa Cikakak, Banyumas, Jawa Tengah, Masjid Wapauwe (1414) yang merupakan masjid tertua di Maluku, Masjid Ampel (1421) yang terletak di kelurahan Ampel,Surabaya dan didirikan oleh Sunan Ampel dengan luas 120 x 180 meter persegi. Masjid tua lainnya adalah Masjid Demak (1474), dimana masjid ini dipercaya pernah menjadi tempat berkumpulnya para wali (ulama) Tanah Jawa.
Hilmar mengakui selain sebagai tempat ibadah, masjid di Indonesia berfungsi sebagai pusat peradaban, tempat pengelolaan amal, pusat kegiatan masyarakat, tempat pendidikan dan pusat da’wah kebudayaan Islam. Fungsi masjid tersebut terus berkembang hingga kini.
Bagi Hilmar, penetapan masjid tua sebagai cagar budaya memiliki makna berbeda dengan bangunan lain yang ditetapkan sebagai cagar budaya. Masjid sebagai cagar budaya memiliki makna sebagai upaya tetap melestarikan, melindungi dan mencegah dari kerusakan serta terus memanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat.
“Masjid memiliki sumbangan pada pemajuan kepentingan nasional. Dimana kedekataan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan tercermin dalam setiap pendirian masjid termasuk masjid Istiqlal,” pungkas Hilmar.
–Inung Kurnias–