25.5 C
Jakarta

Sehari di Christchurch New Zealand

Baca Juga:

Sejak awal bulan April ini, saya meninggalkan kampung halaman New York menuju Jakarta. Di negeri ibu saya itu, ada beberapa jadwal kegiatan yang telah lama direncanakan. Semuanya masih berkaitan dengan pembangunan pondok pesantren Nur Inka Nusantara Madani di Connecticut, AS.

Dari sekian kegiatan yang saya lakukan di tanah air, hal yang paling mengesankan adalah untuk pertama kalinya, saya langsung merasakan secara dekat pesta demokrasi di negara Muslim terbesar dunia itu. Saya terkesan karena merasakan hiruk pikuk itu, bahkan ikut terbawa arus semangat bangsa dalam berdemokrasi.

Dua hari setelah pesta demokrasi di tanah air, saya terbang ke New Zealand melalui Sidney Australia. Kunjungan ke negara ini tentunya tidak lepas dari keinginan kuat saya untuk bersilaturrahim dan langsung merasakan suasana kota yang baru saja mendapat musibah itu.

Dari sekian banyak yang ingin saya sampaikan tentang New Zealand adalah keindahan alamnya. Tapi lebih dari itu, kebersihan, keteraturan, dan yang lebih penting adalah kedamaian lingkugan dan keramahan penduduknya.

Semua itu menjadikan saya hampir tidak percaya, pembunuhan kepada sekelompok orang yang sedang beribadah dalam kedamaian akan terjadi di negeri ini. Keramahan kita rasakan sejak diimigrasi, hingga polisi yang berjaga semuanya menyapa dengan senyuman.

Sebelum terbang ke Christchurch, saya mendarat untuk beberapa hari di kota Auckland. Konon kabarnya kota Auckland inilah kota teramai di negara ini.

Selama di kota ini, saya dijadwalkan memberikan ceramah agama dengan tema “the pleasure of faith” kepada masyarakat Muslim di kota Auckland.

Di kota ini juga, ada beberapa keluarga Muslim Indonesia. Bahkan di kota ini pula ada tiga perkumpukan warga Muslim Indonesia. Ketiganya adalah Indonesian Islamic Center, HUMIA (Himpunan Umat Muslim Indonesia) dan Pengajian Al-Ukhuwah.

Indonesian Islamic Center telah memiliki masjid sederhana dari sebuah rumah. Di masjid ini, saya juga sempat melaksanakan sholat berjamaah beberapa kali dan memberikan ceramah umum di hari terakhir saya untuk warga Muslim di kota ini.

Walaupun ada tiga perhimpunan masyarakat Muslim Indonesia, namun ketiganya bisa saling bekerjasama dan menjalin kebersamaan. Hal itu dibuktikan ketika saya memberikan ceramah umum pertama. Ketiganya hadir dan memasang banner masing-masing secara berdampingan.

Sehari di Christchurch City

Tanggal 23 April subuh hari, didampingi oleh seorang teman di Auckland saya terbang ke kota Christchurch. Sebuah kota yang baru saja sebulan lalu menggemparkan dunia. Di kota inilah, tempat terjadinya penembakan saudara-saudara Muslim kita di dua Masjid di saat mereka melaksanakan ibadah Jumat.

Tragedi yang tidak manusiawi itu menelan korban 51 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka. Dunia berduka. Kira-kira itu ungkapan yang pas bagi serangan teroris kaum putih, “White Nationalist” atau “White Supremacy” itu.

Sejujurnya, hingga peristiwa itu terjadi, saya masih tidak pasti dengan rencana kunjungan saya ke Australia. Maklum, saat ini saya sangat disibukkan dengan proyek pendirian pondok pesantren pertama di Amerika Serikat. Selain itu, juga karena pertimbangan Ramadhan semakin mendekat.

Karenanya, penembakan di kota Christchurch inilah sesungguhnya yang menjadi “gong” (penentu) kunjungan saya ke negeri yang pertama merayakan tahun baru itu.

Sebelum menginjakkan kaki di kota ini, saya pernah mengira jika kota ini adalah kota besar. Membayangkan hiruk pikuk manusia seperti New York. Saya membayangkan Kedua Masjid yang diserang itu adalah masjid yang megah. Masjid yang membuat mata manusia terkagum, bahkan irihati.

Ternyata perkiraan saya itu jauh dari kenyataan. Christchurch adalah kota kecil yang relatif sepi. Kota ini bersih dan sangat teratur, dan menampakkan kesederhanaan yang sangat.

Masjid An-Nur, masjid yang diserang pertama kali adalah Masjid yang sangat sederhana. Kira-kira hanya memuat 200 hingga 250-an jamaah di saat penuh.

Apalagi masjid Lingwood, Masjid yang diserang Kedua. Hanya sebuah masjid dari rumah sederhana. Sangat kecil dan nampak seperti kurang diurus.

Bagi kita yang tinggal di kota New York, mengimami sebuah Masjid yang jamaah jumatannya rata-rata 2000, tentu bertanya-tanya. Apa yang menjadikan sebagian orang marah dan ketakutan? Kenapa komunitas kecil dan sederhana ini sedemikian menakutkan?

Karenanya, saya hampir tidak mampu menahan kesedihan dan rasa iba dengan warga Muslim di kota ini. Kenyataan bahwa keadaan mereka yang sangat sederhana itu, begitu sangat menakutkan, bahkan kebencian kepada sebagian orang berada di luar nalar saya.

Di Christchurch, saya ketemu dengan Imam kedua Masjid itu. Silaturrahim dengan jamaahnya, bahkan memimpin sholat Magrib di masjid Lingwood. Juga saya sempatkan berziarah ke pekuburan para syuhada penembakan itu.

Salah seorang di antara syuhada itu adalah warga asal Indonesia bernama Lili Hamid, yang sangat ditokohkan oleh warga Indonesia di kota ini. Di kediaman beliaulah, di malam harinya saya mengisi pengajian kepada warga Indonesia di kota ini. Cukup ramai yang hadir. Bahkan di antaranya ada beberapa teman warga Indonesia non Muslim.

Sungguh banyak pelajaran yang didapatkan dari kunjungan saya ke Christchurch. Tapi sebagaimana kami di Amerika, hikmah terbesar dari sebuah tragedi adalah terbukanya pintu-pintu dakwah secara luas.

Masjid An-Nur yang sangat sederhana itu, menjadi magnet bagi warga untuk berkunjung. Setiap saat, warga New Zealand berkunjung untuk menyampaikan belasungkawa. Bahkan, sebagian memang berkunjung karena dorongan keinginan tahu tentang agama ini.

Barangkali, tantangan terbesar bagi warga Muslim New Zealand saat ini adalah mampukah mereka menangkap momentum dakwah ini? Atau akankah kesempatan emas ini berlalu begitu saja?

Semoga saja tidak. Nine Eleven mengajarkan kami di Amerika, di balik setiap tragedi selalu ada hikmah-hikmah Indah. Semoga saudara-saudaraku di New Zealand sigap dan segera menangkap peluang itu. Semoga!

Ustadz Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!