Makna Pertemuan Jokowi – SBY
Oleh Usman Yatim
“Ya bersyukur, bergembira dan sekali lagi bisa saling kembali menjalin komunikasi. Beliau juga. Pak Djoko Suyanto juga mengingatkan tadi indahnya transisi dari saya ke Beliau. Tradisi politik yang baik. Tentu ini terus berlanjut di masa yang akan datang. Jadi, perasaan saya bersyukur gembira, dan ya ini kalau ada klub presiden dan mantan presiden `kan baik seperti ini. Kita bisa saling berkomunikasi,” kata SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), memberikan kesannya ketika bertemu Presiden Jokowi (Joko Widodo) di Istana Merdeka Jakarta, Kamis, 9 Maret 2017.
Pertemuan Jokowi-SBY banyak menjadi sorotan media karena keduanya sempat digambarkan seolah saling berseberangan, bahkan dikesankan terjadi gesekan. Terakhir, Jokowi-SBY bertemu 2015. “Insya Allah, Insya Allah, saya senang sekali. Saya bisa menjelaskan. Beliau mendengar dengan seksama. Saya juga mendengar dari Beliau. Alhamdulillah, ini awal yang baik, karena tidak baik kalau ada miskomunikasi dan misinformasi di antara Beliau dan saya, ataupun di antara kami-kami yang pernah memimpin negara ini. Ini harapan kami berdua nanti,” ujar SBY lagi saat ditanya, apakah sekarang sudah tidak ada miskomunikasi lagi dirinya dengan Presiden Jokowi.
Apakah makna pertemuan Jokowi dan SBY itu? Apakah dapat menjawab berbagai dugaan yang sempat menerpa tingkat hubungan kedua tokoh ini? Apa perbedaan pertemuan Jokowi – SBY dibanding ketua umum parpol lainnya, seperti dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang ramai diberitakan karena pertemuan keduanya sempat diwarnai kegiatan berkuda? Masing-masing kita tentu punya sudut pandang yang beragam dalam mencermati pertemuan tersebut. Misalnya, pertemuan Jokowi-SBY memang akhirnya dinilai dapat mencairkan suasana politik yang seolah memanas tatkala banyak orang mempertanyakan, kenapa saat heboh Aksi Bela Islam Presiden Jokowi tidak bertemu SBY tapi malah bertemu tokoh lain, sementara SBY sendiri sedang banyak diterpa isu tak sedap? Namun, dapat juga dipandang, berbagai spekulasi isu hubungan Jokowi-SBY hanyalah karena ramainya suasana pilkada, pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang melibatkan banyak tokoh, termasuk Jokowi dan SBY.
Kita tahu, pilgub DKI menampilkan tiga calon yang merepresentasikan 3 tokoh utama di republik ini. Pertama, pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Syilviana Murni yang didukung Partai Demokrat. Tampilnya Agus, putra SBY, sempat menghebohkan karena di luar dugaan banyak orang. Pasalnya, Agus terbilang muda dan sedang meniti karir gemilang di TNI. Publik bertanya-tanya, manuver apa yang dimainkan SBY dengan memunculkan Agus? Saat awal, tingkat elektabilitas Agus sempat sangat meyakinkan. Potensi menang dinilai berimbang dengan saingannya. Kemunculan Agus dalam pilgub DKI disebut-sebut sebagai awal SBY mulai memainkan kartu untuk meramaikan panggung politik 2019. Terlepas sukses atau gagal di pilgub DKI, kehadiran Agus tentulah akan diperhitungkan dalam panggung politik nasional ke depan, mengingat di belakangnya ada sosok SBY, mantan presiden dan sekaligus masih memimpin parpol.
Kedua, pasangan Ahok-Djarot Saiful Hidayat yang didukung PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputri. Bicara PDIP dan Mega, hingga saat ini orang tidak dapat lepas untuk mengaitkannya dengan Jokowi. Isu Jokowi “boneka” Megawati mungkin mereda, begitu juga isu Jokowi petugas partai (PDIP) tidak lagi heboh, namun kedekatan Jokowi-Mega masihlah sangat kuat. Hal ini, wajar bila Jokowi dinilai mendukung Ahok-Djarot, walau berulang menyebut bersikap netral. Apalagi Ahok sendiri adalah pasangan Jokowi saat memimpin Jakarta, 2012-2014. Ahok-Djarot seharusnya dapat melenggang mulus dalam pilgub DKI, namun siapa sangka, Ahok yang berharap bebas dari isu SARA malah justru menyulut SARA lewat lontaran Surat Al Maidah 51 yang membuat komunitas umat Islam banyak marah sehingga membuat banyak pendukungnya kalang kabut.
Ketiga, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang didukung Partai Gerindra, di bawah pimpinan Prabowo Subianto, saingan Jokowi saat pilpres 2014. Pasangan ini semula menurut survei kalah elektabilitas dibanding Agus-Syilvi dan apalagi Ahok-Djarot, walau tidak terpaut banyak. Anies-Sandi tidak grogi dengan hasil survei. Prabowo pun demikian, dia tetap optimistis dan ikut serius berkampanye mendukung Anies-Sandi. Kedekatan hubungan Prabowo-Jokowi, walau sempat bersaing di pilpres, seolah membuat Anies-Sandi tak banyak diperhartikan dan seolah bebas dari terpaan isu dibandingkan Agus-Syilvi.
Akhirnya, hasil Pilgub DKI, 15 Februari 2017, menempatkan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi maju ke putaran kedua, sementara Agus-Syilvi harus tersisih. Mengapa hasilnya demikian? Itulah yang disebut-sebut sebagai buah dari pertarungan belakang layar antara Mega (Jokowi), Prabowo dan SBY. Ahok-Djarot dan Anies-Sandi beroleh keunggulan suara karena dinilai Jokowi-Prabowo telah “main mata”, berkoalisi tak langsung dalam membendung laju jagoan SBY, Agus Syilvi. Hal ini dilihat dari keakraban Jokowi-Prabowo selama pilgub, sementara SBY bukan saja dipencilkan tapi juga mendapat serbuan isu. Ahok-Djarot juga tidak lepas dirundung masalah, namun tampaknya serbuan isu yang menerpa masih dapat dibendung lewat manuver pelemahan elektabilitas Agus-Syilvi, baik langsung maupun tidak langsung melalui isu yang dialami SBY.
Pilgub DKI memang penuh dengan hiruk pikuk intrik politik dan politisasi SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan) yang dimainkan oleh semua kontestan. Namun, semua itu dianggap bagian dari manuver pilkada yang tampaknya tak terhindarkan walau banyak seruan mengecamnya. Sama halnya dengan maraknya isu hoax di media sosial, berbagai intrik dikecam tapi boleh jadi saja semua ikut memainkan. Hal itulah mengapa, hasil pilkada serentak 2017 yang baru digelar harus dapat diterima dengan lapang dada oleh semua pihak, terutama terhadap yang kalah. Itulah yang ditunjukkan oleh pasangan Agus-Syilvi yang cepat menyatakan mengaku kalah meski hanya berdasar hasil perhitungan quick count (hitung cepat) lembaga survei. Hal pasti pula, pengakuan kalah Agus-Syilvi adalah juga datang dari SBY.
Agaknya, seiring sikap satria Agus mengaku kalah maka dianggap pula “permainan” pertarungan pilkada berakhir, dengan posisi SBY dianggap mundur dalam putaran kedua pilkada DKI. Sebagai wujud fair play maka tidak ada salahnya, ada aksi saling rangkul, menunjukkan sikap bersahabat. Boleh jadi, dalam konteks inilah pertemuan Jokowi-SBY dapat berlangsung. Bukankah, pertandingan pertama sudah usai? Kebetulan pula, SBY meminta bertemu Jokowi yang semula menyatakan menunggu waktu yang pas. Pertemuan Kamis (9/3/2017) adalah tepat dan pas. Tepat dan pas pula bila disebut pertemuan keduanya dalam pada posisi antara presiden dan mantan presiden, tidak dalam konteks antara presiden dengan ketua umum parpol, meski SBY adalah Ketua Umum Partai Demokrat.
Oleh karena itu, SBY datang ke Istana atas permintaannya sendiri juga wajar, berbeda dengan ketua umum parpol lainnya yang hadir ke Istana karena diundang Presiden Jokowi. Sebagaimana diketahui, tatkala heboh kasus penistaan agama oleh Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang memunculkan berbagai aksi, seperti Aksi 411 (4 Nopember 2016) dan Aksi 212 (2 Desember 2012), Presiden Jokowi mengundang sejumlah ketua umum parpol, namun tidak mengundang SBY, padahal juga ketua umum parpol. Hal itu menimbulkan berbagai dugaan, prasangka, bahkan lewat media sosial seolah SBY disebut-sebut ikut “bermain” dalam dugaan aksi makar yang juga ramai diberitakan media massa. SBY sempat melakukan klarifikasi terhadap berbagai viral medsos yang bernuansa hoax terhadap dirinya. Bahkan SBY secara terbuka menyatakan berharap dapat bertemu Presiden Jokowi karena berbagai isu terus gencar menerpa dirinya, seperti tudingan terkait kasus pembunuhan yang mengakibatkan mantan Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Antasari Azhar mendekam di penjara.
Bila nuansa pilgub DKI berhubungan dengan berbagai isu yang muncul, terutama terhadap SBY maka boleh jadi isu-isu tersebut mereda dengan sendirinya seiring berakhirnya pilkada. Paling tidak meredanya isu itu dapat hingga munculnya kembali pertarungan kontestasi politik baru, seperti pemilu raya 2019. Pertemuan Jokowi-SBY selain sebagai tabayun, klarifikasi isu, bukan tidak mungkin juga dalam upaya mengajak peran SBY, lewat Partai Demokrat dalam mensukseskan Pilgub DKI putaran kedua, April 2017 yang menyisakan pertarungan Ahok-Djarot versus Anies-Sandi. Apakah Partai Demokrat, Agus-Syilvi akan mendukung Ahok-Djarot, Anies-Sandi atau netral?
Pigub DKI putaran kedua belum tahu pula, apakah pertarungan itu akan tetap kental dengan peran tokoh di belakang layar? Apakah akan ada isu baru Mega (Jokowi) versus Prabowo? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Jika Ahok-Djarot dikomitmenkan harus menang, kasus yang menimpa Ahok di pengadilan dapat diredam, sementara Anies-Sandi sebagai representasi Prabowo juga berkomitmen harus menang, maka jangan kaget dan heran berbagai manuver politik baru akan kembali muncul. Manuver itu tidak harus diarahkan kepada Prabowo, namun dapat pula dialamatkan langsung kepada Anies-Sandi. Gejala ini sudah mulai terlihat, saat Sandiaga Uno dipanggil menghadap penyidik dalam kasus pencemaran nama baik. Kasus Sandi mengingatkan kasus Syilviana yang juga berurusan dengan penyidik Polri dalam kasus hibah dana Pramuka dan pembangunan masjid. Anies pun dapat pula bakal diramaikan, kalau muncul pengaduan yang terkait masalah tatkala dia menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Tampaknya, keakraban hubungan Jokowi-SBY akan berlangsung lama. Bukan tidak mungkin SBY memang akan mendukung penuh pemerintahan Jokowi. Hal ini akan terlihat nyata dari sikap SBY, Partai Demokrat dalam pilgub DKI putaran kedua. Sementara nuansa yang pas untuk dikedepankan adalah membangun tradisi, budaya hubungan antara presiden dan pendahulunya. Jokowi sudah demikian akrab dengan BJ Habibie, Presiden RI ketiga. Terhadap Presiden RI kelima, Megawati Soekarnoputri tidak perlu diragukan lagi kedekatan Jokowi. Sedangkan dengan SBY, memang sedikit terusik gara-gara pilgub DKI, namun kini sudah mereda.
“Saya lebih mendudukkan diri sebagai mantan presiden dan Beliau sebagai presiden. Kita tidak masuk ke politik yang sangat teknis. Kalau itu akan mengalir ada mekanismenya. Kalau kita cocok untuk menyelamatkan negeri ini, negara Pancasila. Saya kira kerja sama politik apapun itu terbuka,” kata SBY, menjawab pertanyaan wartawan tentang komitmen SBY terhadap pemerintahan Jokowi. Jokowi pun menyatakan: “Tadi Pak SBY sudah menyampaikan bahwa tradisi politik dari presiden sebelumnya ke berikutnya memang harus kita tradisikan. Yang kedua berkaitan dengan budaya estafet. Pembangunan yang sebelumnya diteruskan oleh pembangunan presiden berikutnya. Kalau budaya estafet terus bisa dilakukan, kita memiliki, negara ini gampang mencapai titik target bagi kebaikan rakyat, bagi kebaikan negara. Saya kira ke depan tradisi yang baik pergantian dari presiden sebelumnya ke presiden berikutnya itu harus terus ditradisikan dan yang kedua, budaya estafet harus kita miliki, sehingga jangan sampai kita tidak memulai terus dari awal. Itu yang harus kita tradisikan.”
Tampaknya, terlepas kepentingan politik masing-masing, modal dasar hubungan Jokowi-SBY akan selalu dipayungi tradisi hubungan presiden dengan pendahulunya. Bukan tidak mungkin, tradisi ini akan dapat mencairkan pula hubungan antara SBY dan Megawati yang hingga kini terkesan masih membeku. Tatkala masing-masing melihat ada peluang kepentingan mereka dapat dipadukan, bila bersahabat lebih menguntungkan daripada berseteru, maka mengapa tidak saling berangkulan saja? Apalagi bila mereka semua lebih mendahulukan kepentingan orang banyak, publik yang ingin suasana kondusif, maka hubungan yang harmonis akan mudah terbangun.
Sebaliknya, tatkala kepentingan berseberangan, semuanya dapat saja sekadar basa-basi. Penampakan yang akrab di publik, boleh jadi sekadar penjajakan dalam upaya membuat ancang-ancang dalam menyongsong manuver baru yang dapat saja lebih ramai. Hal ini dapat saja dicermati dari tampilan pertemuan yang misalnya kenapa sekadar minum teh di beranda Istana? Mengapa Jokowi tidak mengajak SBY makan siang, padahal pas pada waktunya? Silakan kita menduga-duga dari tampilan pertemuan tersebut. Namun tentu saja, kita boleh percaya terhadap apa-apa yang dikemukakan kedua tokoh ini.
Presiden Jokowi mengatakan, mereka berdua berbicara banyak hal, baik yang berkaitan dengan politik nasional, ekonomi nasional, dan hal-hal lainnya. “ Saya juga bersyukur dan bergembira karena hari ini beliau, Bapak Presiden kita bisa menyediakan waktu untuk sebuah pertemuan ini. Pertemuan ini sudah digagas dan dirancang cukup lama. Tapi Alhamdulillah hari ini berlangsung. Saya tadi mendengarkan Bapak Presiden, apa saja yang menjadi agenda beliau, agenda nasional,” kata SBY yang mengucapkan selamat atas keberhasilan Indonesia menjadi tuan rumah, baik kunjungan Raja Salman, maupun IORA (Indian Ocean Rim Association) yang baru selesai. “Ini menunjukkan bahwa Indonesia terus berperan di panggung internasional. Kami juga mendiskusikan bahwa negara ini harus semakin maju, negara Pancasila, negara Bhinneka Tunggal Ika yang negara yang mengayomi semua. Komitmen Beliau samalah dengan komitmen saya, komitmen para mantan presiden, ingin membangun negara dan ingin negara kita makin baik,” tutur SBY.
Dapat dikesankan, SBY memang berupaya menjalin hubungun baik dengan pengurusnya. Dia tidak ingin hubungan keduanya bermasalah hanya karena isu yang tidak jelas. “Sedikit memang karena jarang bertemu atau sudah lama tidak bertemu mungkin saja ada informasi-informasi yang tidak sepatutnya didengar, baik oleh Beliau atau saya sendiri. Tadi suasananya baik sekali karena dapat dijadikan sebagai ajang tabayun. Dengan demikian seperti yang saya duga, beliau tetap percaya bahwa seorang SBY itu juga ingin berbuat yang terbaik untuk negara ini, untuk pemerintahan beliau. Saya juga demikian. Pak Jokowi juga ingin betul membangun negara ini,” ucap SBY.
SBY pun mengingatkan bahwa tugas menjadi presiden, kepala negara tidaklah mudah. “Kalau seloroh saya, presiden ini hidupnya tidak tenang, kiri salah kanan salah, maju kena mundur kena. Saya sampaikan juga kepada Beliau, saya alami juga dulu ketika 10 tahun memimpin Indonesia. Tapi saya tahu, beliau akan tegar terus menghadapi berbagai ujian sejarah ini. Kita doakan semoga separuh perjalanan, karena saya lapor beliau, bulan depan ini sudah separuh jalan kabinet yang beliau pimpin, tinggal separuh jalan lagi. Harapan saya semakin sukses. Kalau pemerintah sukses kan rakyat kita juga senang,” kata SBY yang memang lebih banyak bicara menjawab wartawan, ketimbang Jokowi. Menurut catatan Kompas.com, dalam sesi pertanyaan dengan wartawan seusai pertemuan itu, Presiden Jokowi hanya bicara sekitar 2 menit 9 detik, sementara SBY berbicara 5 menit 16 detik. Terlepas dari semua itu, setelah pertemuan ini, apakah akan ada pertemuan baru Jokowi-SBY? Apakah nanti suasananya kian mencair, sebagaimana hubungan dengan BJ Habibie dan Megawati? Inilah yang patut kita cermati terus.*** (Penulis dosen Fikom Universitas Prof.Dr.Moestopo Beragama, Jakarta)
Pamulang, 10 Maret 2017