30.3 C
Jakarta

Kompetisi Film Dokumenter Bidikmisi, Ini 10 Karya Terbaik

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) bersama Eagle Institut Indonesia menyelenggarakan kompetisi film yang mengangkat perjuangan mahasiswa Bidikmisi di seluruh Indonesia. Film-film ini diharapkan dapat ditonton siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan orang tua agar mereka yakin dapat berkuliah secara gratis dan mendapatkan biaya hidup hingga lulus.

“Tiga film terbaik akan kami putar di hadapan rektor dan direktur politeknik seluruh Indonesia, seluruh Perguruan Tinggi Negeri, politeknik, dan para kepala lembaga (LLDikti). Harapannya mereka mendapat inspirasi. Setelah itu mereka mendistribusi ke seluruh Indonesia, bahkan kepada mereka di luar kampus, mereka yang secara ekonomi kurang mampu bisa terinspirasi dari situ,” kata Menristekdikti saat akan menonton film dokumenter Bidikmisi pada Award Kompetisi Film Dokumenter Bidikmisi di Cinema XXI Plaza Senayan, Jakarta pada Ahad, (13/10).

Menristekdikti mendorong calon mahasiswa yang kurang mampu untuk mendaftar beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, program pengembangan dari beasiswa Bidikmisi diharapkan akan menampung 400 ribu mahasiswa untuk tahun 2020.

“Saya ingin mengajak pada anak Indonesia, jangan berkecil hati. Pemerintah menyediakan beasiswa cukup besar. Pada tahun ini mencapai 130 ribu. Tahun 2020 kami usulkan pada negara diharapkan disetujui 400 ribu mahasiswanya. Namanya adalah KIP Kuliah, Kartu Indonesia Pintar Kuliah. Harapannya dengan penerima lebih besar, 2020 hingga 2024 bisa dua juta (total penerima Bidikmisi dan KIP Kuliah) yang selama sembilan tahun ini 600 ribu,” ungkap Menteri Nasir dalam siaran persnya.

Menristekdikti mengakui dari ratusan ribu mahasiswa dan alumni Bidikmisi, ada banyak kisah inspiratif yang belum dieksplorasi. Salah satunya adalah kisah mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana (Undana) yang dikunjunginya di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Orang tua menahan anaknya untuk kuliah. Kamu jangan kuliah. Bapak ibu tak punya uang. Kamu ga bisa kuliah, tapi kebetulan oleh gurunya didorong. Ini pemerintah menyediakan anggaran sampai lulus. Ternyata dia bisa,” ungkap Menteri Nasir.

Menteri Nasir berharap tahun depan banyak siswa tahun terakhir SMA yang mendaftarkan diri pada Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, yaitu pengembangan Program Bidikmisi yang diselaraskan dengan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dengan jumlah biaya hidup dan penerima lebih banyak.

“Untuk di negeri dan swasta itu sudah gratis dan biaya hidupnya tadinya dari 600 ribu, saya naikkan 650 ribu, sekarang saya naikkan jadi 700 per bulan dalam masa empat tahun. Jumlah yang kami berikan itu dulu 4,25 triliun. Sekarang mendekati 6 triliun khusus untuk beasiswa ini, jadi 6 triliun khusus untuk KIP Kuliah nanti,” ungkap Nasir.

Kompetisi Film Dokumenter Bidikmisi ini adalah kerja sama Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Ditjen Belmawa) Kemenristekdikti bersama dengan Metro TV dan Eagle Institute Indonesia. Kompetisi ini dimulai saat Kemenristekdikti mengumpulkan 120 proposal film. Para pembuat film ini kemudian diseleksi dan diwawancarai oleh Riri Riza (sutradara), Gerzon Ayawaila (sutradara), dan Meuthia Ganie Rochman (sosiolog Universitas Indonesia) hingga terkumpul sepuluh proposal film terbaik. Kini 10 cerita itu dikemas menjadi 70 menit dalam satu kesatuan antologi film dokumenter. Adapun 10 film tersebut mencakup:

  1. Mimpi Di Atas Kursi Roda (Sutradara Morsed)

Tahun 2009 gempa besar mengguncang kota Padang, Sumatera Barat. Quratta Ayuna Adrianus atau biasa dipanggil Yuna merupakan salah satu korban gempa tersebut dan membuatnya kehilangan kedua kakinya. Walaupun Yuna memiliki keterbatasan fisik, Yuna tetap semangat menggapai cita-citanya layaknya orang normal pada umumnya. Ketika kuliah di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, Yuna menjalani hidup sebagai penyandang disabilitas yang menghadapi banyak tantangan, seperti masih banyaknya fasilitas umum di Jakarta yang masih kurang ramah terhadap disabilitas. Kegelisahan ini yang membuatnya menciptakan sebuah desain aplikasi mobile yang berguna mempermudah mobilitas para penyandang disabilitas. Desain aplikasi inilah yang mengantarkannya lulus dan menyandang predikat Sarjana.

  1. Jasiner (Sutradara Abdul Malik)

Berlian Reza Rama Ismanto (20 tahun) adalah seorang wirausahawan muda yang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ditinggal orang tuanya sejak kecil, ia harus hidup mandiri dan mencoba berjuang membangun usaha. Kecermatan dalam melihat peluang, dibarengi dengan kesadaran dalam melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, mengantarkan dirinya menjadi salah satu mahasiswa berprestasi di Universitas Semarang program studi Teknik Elektro. Keberhasilan dari usahanya yaitu dengan membuat konveksi di desanya dan berhasil memberdayakan masyarakat setempat. Salah satu motivasi besarnya yaitu ingin memulangkan ibunya yang saat ini sedang menjadi TKI di Hongkong agar dapat mengurus adik-adiknya yang masih bersekolah.

  1. Kibar Layar Sang Anak Laut (Sutradara M. Andi Fikri)

Rizal Maula adalah Sarjana Hukum UPN Veteran Jatim Surabaya yang pulang dan kembali ke desa di Tuban untuk mendedikasikan dirinya demi mengangkat potensi garam laut. Ia berupaya dengan mendirikan sebuah Koperasi Garam. Beberapa hal yang dilakukannya seperti memberikan sosialisasi untuk membentuk suatu kesadaran kepada masyarakat, khususnya petani garam, agar dapat hidup mandiri dengan mengolah hasil garam sendiri. Selain itu, ia juga berguru kepada petani tambak di Lamongan, hingga mencari bantuan berupa terpal dan mesin untuk mengolah garam agar lebih baik dan bisa meningkatkan nilai produksi garam di desanya.

  1. Keupula Change (Sutradara Nova Misdayanti)

Rahmatun Maula, seorang mahasiswi Tingkat Akhir Jurusan Teknik Kimia di Unsyiah Gayo Lues di Aceh yang berhasil mendapatkan beasiswa Bidikmisi. Walaupun berasal dari keluarga petani dan kurang mampu, ia ingin bermanfaat bagi banyak orang meski dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Salah satu bentuk upayanya yaitu melalui penemuannya terhadap buah tanjung dari pohon Kupula yang dapat diolah menjadi tepung antidiabetes. Penyakit Diabetes Melitus di Aceh mencapai presentase 179% menurut Kementerian Kesehatan. Setelah melalui riset dan uji laboratorium, buah yang mudah ditemui ini memiliki senyawa flavonoid dan senyawa fenol sebagai penetral kadar gula dan aman untuk dikonsumsi sebagai obat herbal.

  1. Anak Rantau Bergaji Dollar (Sutradara M. Ridwuan)

Menjadi anak rantau dari kepulauan terpencil yang tidak ada akses listrik dan mengalami keterbatasan akses pendidikan, tidak membuat Ahmat Baihaki menyerah. Mahasiswi semester empat Jurusan Teknologi Informasi Universitas Brawijaya Malang ini berjuang agar dapat mencukupi kehidupannya dan tidak membebani orang tuanya. Ayahnya bekerja sebagai nelayan dan ibunya seorang penjual krupuk. Ia mulai berwirausaha pada bidang jasa sebagai designer grafis dan aktif dalam organisasi maupun perkuliahan. Motivasi terbesarnya yaitu melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dan ingin membagikan ilmunya kepada pemuda-pemuda di Pulau Guwa-Guwa, Jawa Timur.

  1. Langkah Rubah Di Selatan (Sutradara Ani Ema Susanti)

Kecintaannya terhadap musik etnik membuat Ronie mendirikan band Rubah Di Selatan bersama ketiga temannya, Melinda, Gilang dan Adnan. Band indie yang dibentuknya sewaktu masih menjadi mahasiswa di Institute Seni Indonesia Yogyakarta ini menunjukkan bahwa mereka adalah anak muda yang tidak melupakan tradisi. Suka duka dialami bersama, seperti saling membantu untuk berhemat dengan makan bersama, hingga mencari tempat rekaman yang murah. Pertunjukan mereka dilakukan dari komunitas ke komunitas, hingga mendapatkan kesempatan mengikuti Siasat Trafficking Tour yang membawa mereka ke Eropa. Antusiasme penonton terlihat seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Kepopuleran musik etnik yang sedang dimainkan oleh Rubah Di Selatan, menjawab kerja keras yang mereka lakukan selama ini.

  1. Obor Penyelamat Moro-Moro (Sutradara Andry Kurniawan)

Buruknya akses pendidikan tidak menyurutkan semangat Rico Andreas (24 tahun), anak dari Desa Moro-Moro, Kabupaten Mesuji Lampung. Walaupun biaya pendidikan menjadi permasalahan utama, ia tetap berjuang hingga akhirnya mendapatkan bantuan pendidikan Bidikmisi. Selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lampung, ia tidak melupakan tujuan utamanya membantu anak Moro-Moro mendapat hak pendidikan. Saat sekolah Moro-Moro sempat ditutup, Rico membuka ruang belajar dan memberikan buku gratis untuk SD Moro-Moro. Perjuangan Rico tentu saja tidak mudah, buku yang ia sumbangkan dihancurkan oleh masyarakat yang tidak suka dengan kegiatan itu. Hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya ia terus menanamkan motivasi pada anak Moro-Moro mengenai pentingnya pendidikan. Meski selama kuliah Rico terlihat sangat aktif dalam berorganisasi dan membantu anak Moro-Moro, nilai akademiknya tidak mengecewakan. Ia menjadi lulusan terbaik ketiga di Jurusan Hukum dan penelitiannya tentang Moro-Moro mendapat Soetandyo Awards dari FISIP UNAIR.

  1. Sarjana Pelunas Janji Kemerdekaan (Sutradara Wisnu Dwi P)

Clara (24 tahun) adalah gadis muda asal Palembang alumni FKIP Universitas Sriwijaya Palembang yang menjadi pengajar di Tiyuh Pagar Dewa, Kabupaten Tulang Bawang Barat, sebuah kampung tua di pelosok Lampung. Ia ingin menghadirkan akses pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak di kampung tersebut. Namun perjalanannya tidak mudah, ia harus menghadapi kenyataan bahwa di sana terdapat stigma bahwa pendatang hanya akan merusak kampungnya dan adanya cerita moyang yang mengatakan bahwa keturunan Pagar Dewa dilarang berhubungan dengan semua hal terkait Palembang.

  1. Asa di Tambang Pasir (Sutradara Firnando Alib)

Anak-anak di Tejasari memiliki keterbatasan akses pendidikan. Di desa ini hanya ada satu Sekolah Dasar, bahkan untuk melanjutkan ke tingkat SMP maupun SMA mereka harus menempuh jalan yang cukup jauh. Selain menyeberang sungai, mereka juga harus berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh. Ana Rachmawati menjadi satu-satunya sarjana lulus dari Universitas Negeri Semarang di desa tersebut. Melalui Rumah Inspirasi Tejasari yang didirikan di rumahnya, peraih beasiswa Bidikmisi ini tengah membangun harapan dan mimpi anak-anak di desa tersebut. Bersama orang tuanya, kini Ana juga membuka konsultasi untuk orang-orang desa perihal beasiswa Diploma dan Sarjana.

  1. Mengarungi Mimpi Dari Saponda (Sutradara Tomy Almijun Kibu)

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh masyarakat Bajo di Saponda untuk memiliki seorang dokter dari komunitas mereka. Dengan serba keterbatasan di segala bidang, jangankan untuk sekolah dokter, untuk menyekolahkan anak-anak mereka di  perguruan tinggi biasa saja adalah hal yang sangat berat. Namun kini masyarakat Saponda dapat bernapas lega. Karena sebentar lagi, Riska, mahasiswa kedokteran dari Universitas Haluoleo Kendari, yang merupakan seorang anak Bajo di Saponda akan menjadi dokter dan bercita-cita untuk kembali pulang ke kampung halaman untuk mengabdi di kampungnya.

Setelah melakukan proses produksi dan editing, sepuluh film tersebut dinilai oleh juri yang terdiri dari Plt. Sekretaris Ditjen Belmawa Rina Indiastuti, Riri Riza (Sutradara) dan Christine Hakim (Aktris dan Produser Film) untuk ditentukan tiga film dokumenter terbaik. Film terbaik pertama berjudul Sarjana Pelunas Janji Kemerdekaan. Film terbaik kedua berjudul Mimpi di atas Kursi Roda. Film terbaik ketiga berjudul Langkah Rubah di Selatan.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!