JAKARTA, MENARA62.COM – Bahasa Indonesia sudah berusia 91 tahun. Tetapi hingga kini Bahasa Indonesia seperti belum berdaulat. Ada banyak sekolah yang bangga menggunakan pengantar bahasa asing dibanding Bahasa Indonesia. Salah satunya pengalaman yang diceritakan Popong Otje Djundjunan, mantan anggota legislatif.
Saat menghadiri acara sekolah seorang cucunya, Ceu Popong, demikian biasa dipanggil merasa terheran-heran. Pasalnya seluruh acara menggunakan bahasa asing bukan menggunakan bahasa Indonesia.
Ia tak habis pikir bagaimana bisa sekolah cucunya itu sama sekali tidak menggunakan bahasa negaranya sendiri.
“Bukan karena saya tidak bisa bahasa Inggris, saya dulu sebelum jadi anggota DPR seorang guru bahasa Inggris. Saya hanya heran mengapa sekolahnya ada di Indonesia, tapi dalam acara itu sama sekali tidak menggunakan bahasa Indonesia,” kata Ceu Popong seperti dikutip dari Antara, Sabtu (27/10/2019).
Sebagai orang Indonesia, kata Ceu Popong, seharusnya warganya bangga menggunakan bahasa sendiri. Bahasa Indonesia harus diutamakan dibanding bahasa asing lainnya. Bukan malah sebaliknya lebih bangga menggunakan bahasa asing.
Ceu Popong mengingatkan pada 28 Oktober 2019, bahasa Indonesia tepat berusia 91 tahun. Bahasa Indonesia lahir bertepatan pada hari lahirnya Sumpah Pemuda.
Saat itu para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kongres Pemuda II dan berikrar untuk bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia, berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda itu dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Kelahiran bahasa Indonesia juga tak lepas dari perbedaan pendapat Mohammad Tabrani dengan Mohammad Yamin saat Kongres Pemuda I pada 1926.
Pada saat itu Mohammad Yamin “keukeuh” ingin menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Akan tetapi Tabrani tak sependapat, alasannya jika sudah mempunyai Tanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia maka bahasa yang dipakai seharusnya juga bahasa Indonesia.
Dalam kolom “Kepentingan” pada harian Hindia Baru pada tanggal 10 Januari 1926, Tabrani memuat tulisan dengan judul “Kasihan”. Tulisan itu muncul sebagai gagasan awal untuk menggunakan nama Bahasa Indonesia.
Belum berdaulat
Meski sudah berusia hampir satu abad, bukan berarti Bahasa Indonesia sudah berdaulat di negara ini. Para orang tua lebih bangga mengenalkan anaknya sejak dini dengan bahasa asing dibanding Bahasa Indonesia.
Begitu juga ruang publik yang masih banyak didominasi kata-kata bahasa asing. Tidak sulit menemukan kata bahasa asing di Jakarta. Contohnya akses masuk di pusat perbelanjaan di ibu kota tertulis entrance atau exit untuk menunjuk akses keluar. Semua itu tanpa ada kata dari bahasa Indonesia.
Pun begitu di sejumlah komplek menggunakan bahasa asing untuk meningkatkan nilai jual. Belum lagi tokoh publik yang terkadang menyelipkan bahasa asing, agar terdengar lebih keren.
Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Prof Dadang Sunendar mengakui saat ini masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa bahasa Indonesia sekedar alat komunikasi.
“Padahal bahasa Indonesia bukan sekedar alat komunikasi, namun juga simbol negara yang memiliki fungsi pemersatu negara,” kata Dadang.
Pandangan tersebut, kata Dadang, harus diluruskan karena bahasa Indonesia memiliki fungsi dalam mempersatukan bangsa. Ia mengakui saat ini penerapan Bahasa Indonesia di ruang publik masih mengalami tantangan. Penyebabnya karena masyarakat belum menyadari kehadiran bahasa negara di tengah masyarakat.
“Oksigen bangsa ini adalah bahasa negara, jangan sampai Bahasa Indonesia di ruang publik hilang. Bahasa Indonesia berdaulat di negara sendiri,” jelas Dadang.
Dadang juga berpendapat bahwa belajar Bahasa Indonesia bukan sekedar mengetahui kaidahnya saja, melainkan perlu memahami secara historis mengapa harus menggunakan Bahasa Indonesia.
“Kalau hanya untuk berkomunikasi saja, sudah selesai fungsi Bahasa Indonesia. Ada fungsi lain yakni pemersatu bangsa,” ucap Dadang.
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk pengutamaan Bahasa Indonesia yakni UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang merupakan puncak politik kebahasaan di Indonesia.
UU tersebut kemudian diturunkan ke dalam PP No 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan Pembinaan Dan Pelindungan Bahasa Dan Sastra Serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Kemudian turunannya yakni Perpres 63/2019 yang terbit pada 30 September 2019.
Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud Prof Dr Gufran Ali Ibrahim MS mengatakan Bahasa Indonesia harus diutamakan dibandingkan bahasa asing.
“Apalagi dengan terbitnya Perpres 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Intinya adalah pengutamaan Bahasa Indonesia di ruang publik,” kata Gufran.
Penggunaan bahasa asing diperkenankan, namun harus mengutamakan Bahasa Indonesia terlebih dahulu. Contohnya penggunaan kata Kalayang untuk pengganti Skytrain.
“Nah, yang di urutan pertama itu harus Kalayang baru kemudian Skytrain,” terang Gufran.
Gufran menambahkan pihaknya terus berjuang agar Bahasa Indonesia diutamakan terutama di ruang publik. Misalnya bagaimana pihaknya berjuang agar nama “Semanggi Interchange” diganti menjadi Simpang Susun Semanggi.
Ke depan penggunaan Bahasa Indonesia akan semakin diutamakan dan digunakan di ruang publik. Apalagi dalam Perpres 63/2019 tersebut dibahas mengenai pengawasan. Selama ini belum ada fungsi pengawasan dalam aturan mengenai Bahasa Indonesia.
Dalam hal ini Kemendikbud berfungsi pengawas penggunaan Bahasa Indonesia di ruang publik. Langkah konkritnya dengan penerbitan peraturan setingkat menteri, yang kemudian diturunkan lagi menjadi peraturan daerah. Sehingga daerah bisa melakukan pengawasan secara langsung.