BAGHDAD, MENARA62.COM — Aksi protes rakyat Irak kembali memanas dan kian mengeras menyusul penolakan Perdana Menteri (PM) Adel Abdul-Mahdi untuk mundur dan membubarkan pemerintahannya. Ia beralasan, tidak ingin membiarkan negaranya terjerumus ke dalam perang saudara.
“Abdel-Mahdi tidak akan mengundurkan diri dalam keadaan kritis dan sulit ini,” kata Sa’ad Al-Hadaithi, juru bicara PM Irak, kepada stasiun TV lokal Irak, Ahad (27/10/2019) malam.
Ia mengingatkan ancaman hilangnya perdamaian sipil dan keruntuhan negara ke dalam kekacauan. “Pengunduran diri pemerintah dapat membawa negara ke situasi berbahaya. Perdana Menteri terus menanggapi tuntutan sah para demonstran, tapi tidak akan membiarkan hilangnya kendali atas situasi,” tutur Sa’ad.
Ibu kota Irak, Baghdad, dan tujuh provinsi selatan yang didominasi warga syiah, telah diguncang demonstrasi massa sejak awal Oktober. Mereka memprotes maraknya korupsi, pengangguran, dan kurangnya pelayanan dasar bagi rakyat.
Demonstrasi terhenti setelah pada pekan pertama sedikitnya 147 orang tewas, termasuk petugas keamanan, dan lebih dari 7.000 lainnya terluka. Korban berjatuhan akibat bentrokan berdarah antara demonstran dan pasukan pemerintah Irak yang didukung sekutunya, Iran.
Sebagian besar korban di Baghdad berasal dari semburan gas air mata. Pengerahan milisi pro-Iran dan penembak jitu (sniper) di luar garis komando resmi yang ditempatkan di gedung-gedung dan atap rumah sekitar Baghdad, juga disebut-sebut berperan besar dalam banyaknya jatuh korban.
Sementara para korban yang berjatuhan di provinsi-provinsi yang ikut bergolak, sebagian besar disebabkan oleh bentrokan ketika para demonstran berusaha menyerang markas besar partai-partai politik yang didukung Iran. Demikian dikatakan pejabat keamanan dan para saksi mata kepada Arab News.
Usai mereda, protes massa berlanjut pada Jumat pekan lalu setelah pasukan Irak bersumpah untuk tidak menggunakan peluru tajam. Namun, menurut laporan Komisi Tinggi Independen untuk Hak Asasi Manusia di Irak, yang terjadi kemudian setidaknya 74 orang lagi terbunuh dan lebih 3.600 terluka dalam tiga hari terakhir.
Para pengunjuk rasa menanggapi kekerasan aparat dengan meningkatkan tuntutan mereka, termasuk pengunduran diri PM Abdul-Mahdi dan pemerintahannya yang dipemgaruhi kekuatan syiah, mengubah undang-undang pemilu, dan mengadakan pemilu baru.
Penolakan PM Abdul-Mahdi untuk mundur, juga dikhawatirkan berlanjutnya siklus kekerasan. Hal ini juga meningkatkan kemungkinan bentrokan pecah antara berbagai faksi Syiah.


