Oleh : Afnan Hadikusumo
Sebuah artikel yang terbit di situ Wall Street Journal (WSJ) pada Rabu 11 Desember 2019 berjudul “How China Persuaded on Muslim Nation to Keep Silent on Xianjiang Camps”, membuat masyarakat mengernyitkan jidat karena isinya menuduh tiga organisasi Islam Indonesia, yakni Muhammadiyah, NU dan MUI menerima suap Cina untuk bungkam soal Muslim Uighur.
Sejak berdirinya, Muhammadiyah adalah organisasi yang dilandasi pada semangat amar makruf nahi munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran). Sehingga semangat itulah yang mendasari para founding father yang berlatar belakang Muhammadiyah pada saat pendirian Republik Indonesia menyisipkan unsur Hak Azasi Manusia dalam pembukaan UUD 1945 yang bunyinya “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Semangat ini selalu tertanam di dada pimpinan dari periode ke periode dan dari masa ke masa.
Sebagai nakhoda kapal besar, Pimpinan Muhammadiyah tentu saja sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan maupun pernyataan sikap mewakili organisasi sehingga terkadang membutuhkan waktu yang tidak cepat. Bagi yang tidak sabaran menganggap bahwa langkah Muhammadiyah dianggap lamban. Namun bagi warga cerdas, langkah tersebut sudah sesuai dengan rel-nya demi menjaga kapal besar aman dari terpaan ombak yang kuat.
Banyak peristiwa pelanggaran HAM berat yang disoroti Muhammadiyah, bukan hanya disikapi dengan sekadar pernyataan sikap namun juga diiringi dengan langkah konkrit. Semisal, banyak yang telah dilakukan Muhammadiyah untuk mendukung dan membantu bangsa Palestina yang tengah berjuang mendapatkan hak kemerdekaannya dan etnis Rohingya yang terusir dari tanah kelahirannya.
Muhammadiyah pun terus mendesak Pemerintah Indonesia untuk menempuh jalur politik dan diplomasi guna membantu bangsa Palestina dan etnis Rohingya.
Dukungan Muhammadiyah untuk bangsa Palestina dan etnis Rohingya sudah dilakukan sejak dulu. Segala cara yang baik dan bermanfaat terus dilakukannya melalui kerja sama dengan pemerintah Indonesia agar persoalan pelik dan lama ini bisa dicarikan penyelesaian yang maksimal.
Pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, ketika simbol perjuangan bangsa Palestina digerakkan oleh Yasser Arafat. Melalui juru bicaranya pada waktu itu Lukman Harun, Muhammadiyah memberikan dukungan tanpa syarat bagi perjuangan bangsa Palestina. Mulai dari dukungan kampanye politik di luar negeri untuk kemerdekaan Palestina. Sampai dengan bantuan keuangan termasuk ke Kedutaan Besar Palestina yang ada di Jakarta. Dukungan ini dilanjutkan dengan membangun prakarsa persaudaraan bagi Bangsa Palestina yang dimotori oleh Prof Din Syamsuddin yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Muhammadiyah pun memberikan dukungan dan bantuan terhadap etnis Rohingya, dengan melakukan protes atas tindakan kekerasan kemanusiaan yang dideskripsikan sebagai genosida atau persekusi yang dilakukan terhadap etnis Rohingnya. Dua kali PP Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan keras tentang hal ini.
Tidak hanya sampai di situ, Muhammadiyah juga bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi etnis Rohingya dalam bentuk pengiriman dokter-dokter dan para perawat ke tempat pengungsian Muslim Rohingnya di Cox Bazar, Bangladesh. Selain itu, aktivis Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Rahmawati Husein pergi ke wilayah etnis Rohingya sebanyak tiga kali, untuk melihat situasi lapangan dan mengetahui apa yang dibutuhkan oleh warga Rohingya.
Tidak hanya kasus Pelanggaran HAM di luar negeri, terhadap pelanggaran HAM berat di dalam negeri pun, Muhammadiyah sangat peduli, misalnya saja dalam kasus pelanggaran HAM warga Talangsari. Kemudian kasus kematian Siyono yang meninggal dunia di tangan Densus 88 karena disangka teroris. Pensikapan kasus PHK sepihak yang dilakukan bagi ratusan pekerja PT Freeport Indonesia, dimana rombongan yang menempuh perjalanan selama 10 hari menggunakan kapal laut demi mencari keadilan ini bahkan dipersilahkan menginap dan diberikan konsumsi selama tinggal di Jakarta.
Kembali ke persoalan warga Uighur, Sesungguhnya PP Muhammadiyah tanggal 19 Desember 2018 M pernah menyampaikan pernyataan sikap dengan Nomor : 526/PER/I.0/I/2018 yang pada intinya Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta pemerintah Indonesia, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) tidak tinggal diam atas perlakuan terhadap kelompok muslim Uighur yang dilakukan Pemerintah China. Dan minta kepada Pemerintah Tiongkok untuk membuka diri dengan memberikan penjelasan yang sebenarnya mengenai keadaan masyarakat Uighur dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga internasional untuk mengatasi berbagai masalah dan tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan.
Tepat setahun kemudian, PP Muhammadiyah pada tanggal 16 Desember 2019 mengeluarkan surat pernyataan dengan Nomor: 507/PER/I.0/I/2019 tentang permasalahan HAM di Provinsi Xinjiang, yang isinya lebih tegas lagi terhadap pemerintah Tiongkok. Selain itu, Muhammadiyah beberapa tahun lalu juga telah memberikan kesempatan kuliah gratis kepada warga Uighur di Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
Sejak dulu, Muhammadiyah lebih banyak bekerja di jalur sunyi. Tidak banyak media yang mengekspose apa yang sudah dilakukannya. Untuk itu dalam menghadapi berita media sosial kaitannya dengan Muhammadiyah, kita harus lebih berhati-hati dan bijaksana, serta tidak mudah percaya dengan berita dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.