Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyebutkan, ada lima pondasi Islam berkemajuan yang menjadi karakter Muhammadiyah. Pandangan ini terinspirasi dari tulisan Kyai Syuja’, murid KH Ahmad Dahlan yang menuliskan dalam buku tentang Islam Berkemajuan. Buku yang mengisahkan perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah masa awal. Buku ini diterbitkan oleh al-Wasath. Pandangan Abdul Mu’ti ini, dituangkan pada bagian pengantar buku tersebut.
Kelima pondasi itu adalah, tauhid yang murni; memahami Al-Qur’an dan sunah secara mendalam; melembagakan amal saleh yang fungsional dan solutif; berorientasi kekinian dan masa depan; dan bersikap toleran, moderat dan suka bekerjasama.
Tentang tauhid, sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya. Sementara bagian memahami Al-Qur’an dan Sunnah secara mendalam juga sudah dibahas. Dibagian ketiga, tentang melembagakan amal saleh yang fungsional dan solutif sudah dituangkan. Pada bagian, berorientasi kekinian dan masa depan juga sudah ditayangkan. Ditulisan ini, dilansir bagian kelima, toleran, moderat dan suka bekerjasama.
Toleran, Moderat dan Suka Bekerjasama
Dalam diri sebagian masyarakat, terdapat kesan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi para elite, orang-orang kaya, intelektual, priyayi dan pejabat. Sebagian masyarakat menilai anggota Muhammadiyah bersikap elitis dan ekslusif. Fanatisme dan militansi menegakkan Islam murni yang berlebihan terkadang membuat sebagian anggota Muhammadiyah over reaktif, ofensif dan alienatif kepada mereka yang “berbeda keyakinan”. Mereka tidak leluasa bergaul karena masalah-masalah keagamaan yang sepele, khilafiyah furuiyah, ecek-ecek. Penilaian dan kesan ini mungkin saja ada benarnya, tetapi salahnya jauh lebih besar.
Melalui kisah-kisah Kyai Dahlan dan para tokoh pendiri Muhammadiyah masa awal, dalam buku ini menunjukkan betapa toleransi, saling menghormati dan akomodasi merupakan faktor kunci kemajuan Muhammadiyah. Ketika ikhtiar mengubah kiblat melalui dialog gagal, Kyai Dahlan tidak memaksakan kehendak. Kyai Dahlan memilih mendirikan mushollah pribadi di dekat rumahnya. Ketika mushollah itupun pada akhirnya dirobohkan, Kyai Dahlan memilih pergi untuk menghindari konfrontasi.
Ketika pengajian malam Jumat mulai ramai, mulai muncul berbagai tantangan. Banyak yang berusaha membesar-besarkan masalah khilafiyah khususnya mengenai kiblat. Kyai Syuja’ menyebut masalah tersebut “lapuk-kawuk” yang berarti kuno, usang, klise. Pertanyaan mengenai kiblat muncul diakhir pengajian dan diluar topik bahasan. Karena persoalan waktu, jawaban pertanyaan ditunda sampai pengajian berikutnya. Peserta pengajian berharap, pengajian Malam Jumat berikutnya akan ramai dengan perdebatan. tetapi, ketika pertanyaan mengenai kiblat disampaikan kembali, dengan sangat bijaksana Kyai Fakhruddin menjawab:
“Kiblatnya umat Islam Indonesia pada umumnya, dan kiblatnya umat Islam di Yogyakarta pada khususnya, dalam shalatnya, sama dengankibaltnya dengan umat Islam sedunia, dari segala bangsa, sama satu kiblat, yaitu Ka’bah (Baitullah) yang berdiri tegak di tengah-tengah Masjidil Haram di Mekah. Bagi mereka yang di dalam Masjidil Haram menuju ke Ka’bah. Bagi mereka yang jauh, cukup menghadap ke Masjidil Haram. Dan bagi mereka yang lebih jauh lagi, cukuplah menghadapkan ke Mekah yang di dalamnya Ka’bah ada disitu. Sekian”
Konsep kiblat yang disampaikann Kyai Fakhruddin mungkin tidak sama persis dengan Kyai Dahlan. Penjelasan demikian disampaikan karena mempertimbangkan ukhuwah, kerukunan dan persatuan Islam. Demi ukhuwah, kebijaksanaan untuk “mundur selangkah” atau “menunda maju” dengan mengesampingkan aspek menang-kalah atau benar-salah sangat diperlukan. Walhasil, Muhammadiyah berkembang pesat seiring perkembangan pengajian Malam Jumat.
Bagaimana sikap terbuka dan toleran Kyai Dahlan dan para pendiri MUhammaidyah juga terlihat dari kisah ketika Kyai Dahlan mengundang para tokoh dan aktivis gerakan sosialis untuk berceramah di rapat Muhammadiyah. Selain mengundang aktivis wanita Serikat Islam -yang berhaluan kiri– untuk berpidato di rapat Aisyiyah, Kyai Dahlan juga mengundang perwakilan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) untuk berbicara di forum rapat Muhammadiyah. Di depan forum terbuka yang dihadiripara pejabat pemerintah, Semaun dan Darsono, juru biara ISDV menyampaikanpidato yang berapi-api mengenai Sosialisme dan menyerang pemerintah.
Rapat saat itu memang “istimewa” dan dilaksanakan tidak sebagaimana “tradisi” Muhammadiyah. Jika rapat-rapat di Muhammadiyah biasa dibuka dan ditutup dengan bacaan “al-Fatihah”, maka rapat yang menghadirkan tokoh ISDV dibuka dan ditutup tanpa “al-Fatihah”, cukup dengan ketok palu. Paska rapat, muncul kontroversi di internal Muhammadiyah. Beberapa kalangan mempersoalkan mengapa Kyai Dahlan menghadirkan kaum Sosialis yang berbeda dengan umumnya warga Muhammadiyah. Bahkan, sebagai bentuk kekecewaan, sebagian kaum priyayi dan pejabat yang telah menjadi anggota dan simpatisan Muhammadiyah mengundurkan diri.
Selain memiliki pergaulan yang luas Kyai Dahlan juga suka bekerjasama. Lewat para murid dan rekan-rekannya di Budi Utomo, Kyai Dahlan mendapatkan akses untuk mengajar pendidikan Agama Islam ekstra kurikuler di OSVIA Magelang dan Kweekschool, Jetis Yogyakarta.
Selain itu, melalui para anggota Budi Utomo juga, Kyai Dahlan mendapatkan bantuan dalam menyusun anggaran dasar (statuten) dan izin pendirian Muhammadiyah dari pemerintah Belanda. Meskipun sangat kritis terhadap kebijakan pendidikan Belanda, sekolah-sekolah Muhammadiyah tetap menerima subsidi dari pemerintah.
Muhammadiyah menentang keras Ordonansi Guru yang sangat merugikan dakwah (Achmad Jainuri, 2002). Muhammadiyah mengajak berbagai kalangan dan aktif melakukan lobby kepada pemerintah agar mencabut Ordonansi Guru itu.
Memahami Muhammadiyah tidak cukup dengan membaca anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Pada ranah kognitif, hal tersebut mungkin sudah cukup. Tetapi, jika kitaingin memahami Muhammmadiyah secara utuh, kajian sejarah Muhammadiyah dan para tokohnya adalah sebuah keniscayaan. Selain memberikan pengetahuan, sejarah juga mampu meningkatkan apresiasi kepada mereka yang telah berjuang, membangkitkan kesadarn, menyegarkan motivasi dan menggugah nurani. Sejarah bukanlah semata-mata rangkaian kisah masa laluyang romantis, membuai hidup dalammimpi masa silam yangbisa memmenjarakan kita dalam kultus individu. Kisah-kisah sejarah adalah untaian mutiara ibrah yang hanya bisa dimaknai dan ditangkap dengan benar oleh ulu al-bab, mereka yang bernalar jembar, berhati lapang dan nurani yang jernih.
Esensi mempelajari sejarah adalah untuk menangkap spirit yang terkandung dibalik kisah-kisah para tokkohnya, bukan untuk menjiplak format dan melakukan replikasi secara utuh. Jika itu kita lakukan, maka kita hanya mendaur ulang sesuatu yang telahusang, yang seharusnya sudah dibuang. Kita akan bergerak ke depan. Semoga kita menangkap spirit perjuangan dan keteladanan Kyai Dahlan dan para pendiri Muhammadiyah.
Penulis: Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed.,/Sekretaris Umum PP Muhammadiyah