YOGAKARTA, MENARA62.COM — Majelis Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setyawan secara profesional, cepat dan tidak boleh takut tekanan. Hal ini dimaksudkan agar kepercayaan publik terhadap KPK dapat dipertahankan dan memulihkan nama baik KPU sebagai penyelenggara Pemilu.
Itu sikap pertama Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah terhadap OTT Wahyu Setyawan yang disampaikan Iwan Satriawan PhD, Ketua Bidang HAM kepada wartawan di Fakultas Hukum, Universitas Ahmad Dahlan (FH UAD) Yogyakarta, Selasa (14/1/2020). Iwan Satriawan didampingi Rahmat Muhajir Nugroho SH, MH, Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah.
Kedua, lanjut Iwan, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah juga mendesak Pimpinan PDIP untuk menjalankan komitmen terhadap penegakan hukum yang merupakan salah satu prinsip Negara Hukum dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satunya, tidak menghalang-halangi proses hukum yang sedang berlangsung yang melibatkan kader PDIP dan Komisioner KPU.
Ketiga, kata Iwan, mendesak Presiden dan KPU untuk menghormati prinsip negara hukum dengan menghindari campur tangan (intervensi) terhadap pengusutan kasus Suap ini. Keempat, mendesak DPR untuk memanggil pejabat Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) untuk memberikan penjelasan dan pertanggungjawaban secara kelembagaan terhadap sikap dan tindakan polisi di PTIK yang telah melakukan persekusi dan menghalang-halangi penyidik KPK dalam menjalankan tugasnya.
Dijelaskan Iwan, ada empat masalah penting yang perlu dicermati terkait kasus OTT terhadap komisioner KPU, Wahyu Setyawan dan mantan anggota Bawaslu. Pertama, keterlibatan komisioner KPU dalam perkara suap semakin menggerus kepercayaan publik terhadap integritas penyelenggara Pemilu.
Rendahnya kepercayaan publik kepada penyelenggara Pemilu akan mengancam kualitas pelaksanaan Pemilu. Masalah Pilpres 2019 oleh sebagian masyarakat belum tuntas walau sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi.
“Walaupun sudah menjadi mantan anggota Bawaslu, publik tentu bertanya apakah mantan anggota Bawaslu itu biasa broker perkara suap seperti itu. Sebab ia mempunyai akses ke teman-teman penyelenggara Pemilu sekarang ini. Ini adalah isu yang sangat serius dan harus dituntaskan agar tidak menjadi rumor politik saja,” kata Iwan.
Kedua, Kasus ini melibatkan politisi PDIP. PDIP adalah partai utama dalam rezim saat ini. Sebagai partai yang sedang berkuasa, PDIP tentu berpotensi melakukan tekanan kekuasaan kepada lembaga negara lain yang berhubungan dengannya. Oleh karena itulah, politisi PDIP, Harun Masiku merasa percaya diri melakukan langkah-langkah tersebut.
Apalagi jika ini dihubungkan dengan dua orang lain yang terkena OTT bersama Wahyu Setyawan yaitu Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah diketahui dekat dengan Sekretaris Jendral PDIP, Hasto Krisstiyanto. “Oleh karena itu wajar nama PDIP sebagai partai yang sedang berkuasa pasti akan disangkutpautkan,” tandasnya.
Ketiga, masih segar dalam ingatan publik tentang revisi UU KPK yang salah satunya adalah tentang keberadaan Dewan Pengawas dalam proses pemberantasan korupsi. Fakta saat ini membuktikan bahwa Dewan Pengawas menjadi penghambat kecepatan bekerja dalam penggeledahan tempat yang dianggap penting terkait alat bukti. Pasal 37 B UU KPK menyatakan bahwa tindakan harus atas izin Dewan Pengawas. “Mungkin nama Dewan Pengawas bisa diganti Dewan Perizinan,” katanya.
Keempat, Majalah Tempo menurunkan tulisan tentang proses pengejaran terhadap Hasto Kristiyanto oleh KPK ke kampus PTIK. Namun pengejaran ini terhenti karena penyidik KPK malah digelandang dan diinterogasi oleh pihak keamanan (Polisi) yang ada di PTIK.
“Sikap dan cara polisi di PTIK terhadap penyidik KPK menunjukkan mereka menghalangi tugas penyidik KPK, bukan akomodatif bekerjasama dengan penyidik KPK. Hal ini menunjukkan petugas polisi di PTIK malah menghalangi proses pengejaran terhadap target penyidik KPK menangkap Hasto Kristiyanto,” tegas Iwan.