JAKARTA, MENARA62.COM — Melalui Center Of Human And Economic Devlopment (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD) menggelar kegiatan FGD lintas sektoral dan kolaborasi riset dengan tema “Industri tembakau perspektif investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia (optimalisasi fungsi cukai)”. Kegiatan ini diadakan di Pondok Indah, Jakarta mulai hari ini, Rabu (5/2/2020) dan berakhir Jumat (7/2/2020).
Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka menyikapi kebijakan pemerintah tentang kenaikan cukai rokok yang telah ditetapkan dan berlaku pada 1 Januari 2020 begitu pula untuk cairan rokok elektrik (vape). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2019, cukai vape akan naik sebesar 25% dari harga yang berlaku sekarang. Saat ini cukai cairan vape dikenakan sebesar 57% dari harga jualnya. Berangkat dari situlah memunculkan berbagai prespetif dari berbagai sudut pandang yang akan dikupas oleh fasilitator yang ada di atas.
Dalam kesempatan ini, hadir Dr. Ir. Mochammad Fadjroel Rachman, M.H., selaku Juru Bicara Presiden Joko Widodo sebagai keynote speaker. Hadir juga sebagai pembicara, Dr. Mukhaer Pakkanna (Rektor ITB AD), Dr. Faisal H. Basri, S.E. M.A., (Pengamat Ekonomi & Politik), Dr. Ali Sakti, S.E. M.Ec., (BI Institute), dan Tulus Abadi (YLKI).
Dalam sambutannya, Dr. Mukhaer Pakkanna selaku Rektor ITB-AD mengatakan Sejatinya, selain sumber dana dari tarif cukai tembakau, pemerintah dan DPR RI harus bekerja keras menambah obyek cukai, tidak sebatas tiga produk/obyek. Di Thailand dan Kamboja sebagai misal, jumlah obyek yang kena cukai mencapai 16 barang, Laos 10 obyek, Myanmar 9 obyek, dan Vietnam 8 obyek. Bahkan, beberapa negara telah mengenakan cukai pada klub malam dan diskotik serta perjudian, antara lain Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar. Sementara Malaysia, hanya mengenakan cukai untuk perjudian.
“Oleh karena itu, legislatif harus berjuang keras merevisi UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Besarnya potensi dan obyek cukai di Tanah Air itu, sejatinya tidak membuat Pemerintah kelimpungan dalam menambal defisit BPJS dan mengorbankan hak rakyat terhadap akses kesehatan yang adil,” kata Mukhaer pada Rabu, (5/2/2020). Hal ini juga bagaimana mengingatkan Nawacita Presiden Jokowi untuk menuju SDM unggul, untuk itu pemerintah perlu diingatkkan kembali tentang nawacita ini.
Mukhaer melanjutkan selain mengekstensifikasi obyek cukai, juga banyak klausul yang memberi ruang bagi industri rokok raksasa melakukan transaksi ekonomi politik, salah satunya bunyi pasal 5 ayat 4, bahwa penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri.
“Klausul ini aneh, karena beberapa negara lain keterlibatan industri rokok itu dibatasi, sementara di Indonesia sebaliknya, diminta diperhatikan,” tegas Mukhaer.
Dr. Ir. Mochammad Fadjroel Rachman, M.H., memberikan dukungan terhadap pengendalian tembakau. Pendekatan dengan isu baru “Ibukota Baru Bebas Rokok”, ini perlu didorong menjadi sebuah isu baru ke depan yang bisa mendorong pengendalian tembakau tidak hanya dengan single issue yaitu kesehatan tapi menjadi multi issue.
Fadjroel Rachman dalam pemaparannya juga mengapresiasi Muhammadiyah yang tetap istikamah berada di jalan yang lurus dengan fatwa majelis tarjih Muhammadiyah tahun 2010 dan pada tahun 2020.
“Alhamdulillah, nampaknya pejuang anti rokok ini makin besar, makin berkembang dan ini juga yang menjadi kekaguman saya. Seperti ITB Ahmad Dahlan yang membicarakan rokok didasarkan penelitian dan data. Saya pikir itu yang terpenting makanya dihari ini menjadi penting karena semuanya bicara bukan berdasarkan emosi dan bukan berdasarkan suka dan tidak suka, tetapi berdasarkan penelitian dan data,” ujarnya.
Lebih lanjut, Fadjroel Rachman menjelaskan bahwa hubungan industri tembakau dan kesehatan masyarakat menjadi salah satu pembahasan yang juga disampaikan kepada pemerintah dalam beberapa diskusi.
Fadjroel Rachman juga menyampaikan, “Pemerintah berupaya mendengarkan semua pihak karena inilah salah satu cara yang dikerjakan oleh pemerintah dalam mengambil keputusan. Sehingga menjadi penting buat kami mendengarkan apa yang dibicarakan, apa yang menjadi riset dan apa yang didiskusikan menjadi masukan dan rekomendasi buat kami untuk bisa mengembangkan lebih jauh.”
Sementara Faisal Basri selaku pengamat ekonomi memberikan pernyataan bahwa “Indonesia Darurat Rokok”. Menurutnya, banyak negara di Asia Tenggara sudah ratifikasi FCTC, bahkan Timor Leste sebagai negara yang mebih muda dan merupakan negara yang dulu menjadi bagian dari Indonesia pun memmiliki PHW 90%.
Roosita Meilani Dewi selaku Kepala CHED ITB-AD saat dimintai keterangan menyebutkan tujuan dari kegiatan ini ada dua, pertama dalam kegiatan workshop dan kedua dalam kepentingan kolaborasi riset.
“Kegiatan workshop sendiri bertujuan untuk membangun kesepahaman dan pengendalian tembakau di Indonesia dari perspektif investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dan merekomendasi bersama pengendalian tembakau dalam perspektif ekonomi untuk pemerintah. Sedangkan kolaborasi riset dilaksanakan dalam rangka penguatan riset dari hulu sampai hilir industri tembakau di Indonesia dan juga kolaborasi riset pertembakauan dalam kerangka pengendalian di Indonesia antar Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA) yang tergabung dalam Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis se-Indonesia (AFEB) yang diperkuat oleh data-data yang ada pada NGO Pengedalian Tembakau dan Kementrian.”