“Jadilah Pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf,
serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”
(Q.S. Al-Araf: 199)
Salah satu hal yang sulit dilakukan oleh sebagian besar orang adalah memaafkan kesalahan orang lain. Ya, memaafkan adalah sikap mulia yang tidak semua orang mampu melakukannya. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki tingkat ego yang berbeda. Ada yang merasa harga dirinya sangat tinggi, sehingga dia merasa rendah jika memaafkan kesalahan orang lain. Dia menganggap bahwa memaafkan adalah sikap lemah dan hina. Sehingga, dia tetap bersikeras untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain.
Di sisi lain, ada orang yang menyadari bahwa setiap orang pasti tidak terlepas dari kesalahan, tidak terkecuali dirinya. Dengan kesadaran seperti ini, maka dia bisa memaafkan kesalahan orang lain.
Islam mengajarkan agar kita semua memiliki sifat pemaaf. Karena dengan memaafkan, maka hilanglah rasa dendam dalam diri kita, jiwa menjadi tenang, batin pun tentram. Lebih dari itu, sifat pemaaf akan menjadikan seseorang mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di hadapan Allah.
Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah SAW menegaskan, tentang mulianya sikap memaafkan. “Tidaklah Allah Ta’ala menambah kepada seorang hamba karena (pemberian) maafnya kecuali kemuliaan, dan tidaklah pula seseorang bersikap tawadlu kecuali Allah Ta’ala akan meninggikannya.” (Riwayat Muslim)
Menurut penelitian sejumlah ilmuwan Amerika tentang sikap pemaaf, dibuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat, baik jiwa maupun raganya dibandingkan dengan mereka yang selalu menyimpan bara dendam dalam hatinya.
Dr. Frederic Luskin, yang mendapat gelar Ph.D dalam bidang Konseling dan Kesehatan Psikologi dari Universitas Stanford, dalam bukunya Forgive for Good, menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan.
Buku yang merupakan hasil penelitiannya tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Menurut Dr. Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati pada diri seseorang. Sikap mudah tersinggung, stres, perasaan gelisah, ketidakstabilan jiwa adalah beberapa dampak yang dapat diamati pada diri seseorang yang selalu memendam kemarahan. Kondisi seperti ini, jika dibiarkan berlarut-larut akan membuat seseorang tidak mampu berpikir jernih, serta memperburuk keadaan.
Dr. Danial Zainal Abidin dalam bukunya Al-Qur’an for Life Excellence, mengutip sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Herbert Benson terhadap 1500 orang, ditemukan bahwa kegundahan hati, stres serta penyakit mental jarang terjadi pada mereka yang berpegang teguh pada agama. Beliau menyimpulkan bahwa hal ini disebabkan oleh agama yang mengajarkan dan menganjurkan kepada para penganutnya untuk saling memaafkan satu sama lain.
Dari beberapa keterangan di atas, baik dari sudut pandang agama maupun kajian ilmiah, terlihat jelas bahwa memaafkan, selain merupakan wujud akhlak mulia seseorang yang akan menjadikannya terhormat dan mulia di hadapan Allah dan manusia, juga menjadikan seseorang lebih dapat menikmati hidup. Kesehatan fisik terjaga, ketenangan batin dan kedamaian jiwa terasa, serta kebahagiaan menjadi nyata.
Apalagi yang dibutuhkan seseorang ketika hidup di dunia fana ini, selain kesehatan jasmani dan ruhani yang sempurna? Dunia terasa indah, hidup pun terasa nikmat jika kebutuhan dua aspek penting dalam diri ini, yaitu jasmani dan ruhani terpenuhi.
Ruang Inspirasi, Rabu (26/2/2020).