Sedari awal, tidak bisa dipungkiri keterkaitan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Persyarikatan Muhammadiyah. Tidak bisa dipungkiri juga keterlibatan Amien Rais di PAN, yang menjadi motor penting bagi partai yang lahir di era reformasi ini.
Namun, salah satu idiom politik tampaknya berlaku. Tidak ada kawan sejati dalam politik, kecuali kepentingan. Sejumlah petinggi PAN, ingin membawa partai ini mendekat kekuasaan. Ini memang wajar. Kalau partai politik tidak menginginkan kekuasaan, maka buat apa partai didirikan.
PAN, pasca pemilu lalu, memang tampak gamang. Apalagi, tokoh yang diusungnya, Prabowo Subianto, sudah merapat kekuasaan. Meski kalah dalam pertarungan sebagai presiden RI, namun Prabowo masuk dalam kabinet Presiden Joko Widodo periode kedua. Sementara PAN, masih berada di luar pemerintahan. Kondisi ini, sedikit banyak karena andil Amien Rais, yang tetap menginginkan PAN berada di luar pemerintahan.
Itu sebabnya, secara perlahan namun pasti, Amien Rais pun, menjadi seperti orang terasing dari partai yang dibidaninya. Diakui atau tidak, Amien Rais tersingkir. Pengarus politik Amien Rais, sudah mengecil. Bahkan, resonansi yang ingin dibangkitkan lagi oleh Amien Rais, tampaknya kehilangan momentum.
Ketua Umum DPP PAN pasca Kongres ke-V yang digelar di Kendari, Sulawesi Tenggara, Februari lalu, Zulkifli Hasan, langsung menyingkirkan Amien, senior sekaligus pendiri PAN. Ia tak lagi memercayai besannya itu menjadi Ketua Dewan Kehormatan PAN pada kepengurusan periode 2020-2025. Ia lebih memilih Soetrisno Bachir. Publik tentu tahu, Soetrisno Bachir lebih dekat dengan Joko Widodo ketimbang Amien Rais.
Tentu saja Wakil Ketua MPR itu tidak mengatakan tengah menyingkirkan Amien. Sebaliknya, ia justru memuji Amien dengan mengatakan kalau dia adalah “pendiri PAN, pendiri utama, tokoh kita, pemimpin PAN.” “Pak Amien itu spesial di PAN,” katanya menegaskan, Rabu (11/3/2020) lalu.
Apakah orang percaya pada apa yang disampaikan Zulkifli tentang Amien Rais? Hanya publik yang bisa menjawabnya sendiri.