JAKARTA, MENARA62.COM – Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) Pontjo Sutowo menilai pembangunan pendidikan di Indonesia sudah mengalami disorientasi. Pandangan tersebut mengacu pada adanya fakta bahwa pendidikan tidak lagi menghasilkan nilai keindonesiaan seperti diamanahkan oleh Pancasila dan UUD 1945 tetapi justeru lebih kepada sistem liberal.
“Pendidikan kita tidak lagi berorientasi pada Pancasila, tetapi lebih kepada sistem liberal yang menonjolkan individualistik,” kata Pontjo pada pembukaan Forum Diskusi Kelompok Pendidikan yang digelar YSNB bekerjasama dengan Aliansi Kebangsaan, Rabu (18/3/2020).
Diskusi bertema Pendidikan sebagai Penjuru dalam Membangun Warga Negara Unggul tersebut menghadirkan pembicara antara lain Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Prof. Dr. Hafid Abas, Mantan Anggota MRP RI Prof Dr Laode Kamaluddin, dan Pengurus Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa Ki Darmaningtyas serta dipandu moderator Dr Bambang Pharma.
Padahal tanpa adanya nilai keindonesiaan, sulit untuk menyatukan penduduk Indonesia yang sangat heterogen. Nilai keindonesiaan inilah yang telah berhasil menyatukan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan.
Karena itu hilangnya nilai keindonesiaan, menurut Pontjo sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia ke depan. Tanpa keindonesiaan tidak ada yang bisa menjamin apakah bangsa Indonesia aka nada selamanya atau bahkan bubar.
Untuk menghidupkan nilai-nilai keindonesiaan tersebut menurut Pontjo salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan. Meski pendidikan bukan satu-satunya cara untuk menanamkan nilai keindonesiaan tetapi pendidikan memegang peranan paling penting, termasuk peranan untuk membangun peradaban bangsa.
Menurut Pontjo, amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan segenap bangsa Indonesia sebagai sebuah konsep yang luas, justru telah direduksi oleh pendidikan nasional kita, hanya pada batasan kognitif dan intelektual saja. Sementara aspek sikap, perilaku relative tertinggalkan.
Ia juga mempertanyakan tujuan dari pembangunan pendidikan yang terlalu berambisi bersaing dengan sekolah-sekolah di luar negeri.
“Apa yang ingin dicapai dengan ambisi tersebut? Justru hal yang penting kita lakukan adalah bagaimana pendidikan kita mampu menanamkan nilai keindonesiaan untuk merawat agar bangsa ini tetap ada, bukan malah bersaing dengan luar negeri,” jelas Pontjo yang juga Ketua Aliansi Kebangsaan.
Paradoks Pembangunan Pendidikan
Senada juga disampaikan oleh Guru Besar UNJ Prof Hafid Abas. Dalam materinya, Prof Hafid menyoroti munculnya paradoks dalam pembangunan pendidikan nasional. Misalnya terkait alokasi anggaran pendidikan, dimana Indonesia menjadi satu-satunya negara dengan alokasi anggaran pendidikan yang paling besar di dunia. Ketika negara lain mengalokasikan sebagian besar anggarannya untuk biaya pertananan dan keamanan, di Indonesia 20 persen dari APBN justeru untuk pembangunan pendidikan.
“Tetapi alokasi anggaran pendidikan yang sangat besar tersebut tidak menghasilkan kualitas pendidikan yang baik. Malah sebaliknya, kualitas pendidikan kita beberapa tahun lalu terburuk di dunia,” kata Prof Hafid.
Hal lain adalah masalah alokasi anggaran untuk kesejahteraan guru melalui sertifikasi pendidikan. Negara telah membelanjakan uang rata-rata Rp70 triliun untuk membayar sertifikasi profesi guru setiap tahunnya. Tetapi anggaran untuk guru yang sedemikian besar ternyata tidak serta merta memberi manfaat untuk pendidikan.
“Kesejahteraan guru meningkat, tetapi SDM yang dihasilkan masih sekelas SDM pembantu,” kata Prof Hafid.
Menurut Prof Hafid, ada dua sumber malapetaka pembangunan pendidikan di Indonesia yang telah mengantarkan pendidikan Indonesia kian terpuruk. Pertama adalah pengelolaan pendidikan dimana di negara ini pendidikan diserahkan kepada orang bukan ahlinya. Penyerahan persoalan pendidikan bukan kepada ahlinya tersebut berlaku dari level paling rendah di lingkungan Pemda hingga level pusat.
“Kita lihat sekarang, orang ahli mengelola ojek online disuruh mengelola pendidikan. Di Bogor, urusan pendidikan diserahkan kepada ahli pemakaman, di daerah lain banyak pengelolaan pendidikan diserahkan bukan kepada mereka yang paham dunia pendidikan,” tambah Prof Hafid.
Ia melihat bahwa pendidikan kini banyak dijadikan alat politik praktis untuk mencari dana politik. Terlebih sejakalokasi anggaran pendidikan nilainya sangat besar.
Malapetaka kedua adalah banyaknya sekolah di Indonesia yang tidak memenuhi standar minimal. Dari sekitar 300 ribu unit sekolah, 88,8 persen ternyata tidak memenuhi standar minimal pendidikan. Baik dari segi guru, sarana prasarana maupun pengelolaan. Akibatnya sekolah hanya mampu menjanjikan selembar ijazah tetapi tidak dapat memberikan kepastian masa depan lulusan.
Pada ranah pendidikan tinggi, dari 4.713 universitas, hanya 96 saja yang memiliki akreditasi A. Universitas yang kegiatannya di ruko dan hanya menjual ijazah hingga kini juga masih ada, dan tidak ditertibkan oleh pemerintah.
Menurut Prof Hafid, untuk mengembalikan pendidikan pada tujuan semula yakni mencerdaskan kehidupan bangs sesuai dengan amanah UUD 1945, satu-satunya jalan adalah tekanan public kepada pemerintah.
“Ada dua agenda mendesak yang perlu ditekankan kepada pemerintah yakni diberlakukannya delapan standardisasi pendidikan dan membebaskan pendidikan dari politik praktis,” jelas Prof Hafid.
Delapan standardisasi pendidikan tersebut meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan.
Revisi UU Sisdiknas Mendesak
Sementara itu Pengamat Pendidikan Darmaningtyas mengatakan untuk mengembalikan pendidikan pada tujuan semula, sangat mendesak dilakukan revisi terhadap UU Sisdiknas. UU nomor 20 tahun 2003 yang proses penyusunannya menimbulkan kegaduhan antara yang pro dan kontra tersebut ternyata implementasinya melahirkan sejumlah masalah krusial di lapangan.
Beberapa masalah tersebut antara lain pembatalan UU Badan Hukum Pendidikana oleh MK pada 31 Maret 2010. Padahal UU BHP tersebut merupakan amanah UU Sisdiknas pasal 53 agar penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentik badan hukum. Dengan dibatalkannya UU BHP, maka pasal 53 menjadi tidak bermaknsa, dan hanya menjadi pasal sampah.
Masalah lain adalah soal ujian nasional (UN). UN sebenarnya tidak memiliki pijakan yang jelas dalam UU Sisdiknas karena pada pasal 57-59 hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan yang implementasinya tidak selalu UN.
Masalah selanjutnya adalah anggaran pendidikan yang problematic. UU Sisdiknas pasal 49 ayat 1 menyebutkan dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimum 20 persen dari APBN dan 20 persen dari APBD. Namun faktanya sesuai keputusan MK, alokasi 20 persen tersebut sudah termasuk gaji guru dan dosen srta pendidikan kedinasan.
Pasal 50 ayat 3 yang mengamanahkan agar setiap daerah menyelenggarakan minimum satu satuan pendidikan bertaraf internasioal yang kemudian menjadi dasar bagi Pemda untuk membangun rintisan sekolah berstandar internasional juga telah dibatalkan oleh MK pada tahun 2013.
“Sejumlah alasan lain yang menguatkan untuk merevisi UU Sisdiknas adalah lahirnya UU no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, adanya tuntutan mengembalikan materi pelajaran Pancasila ke dalam kurikulum resmi dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi dan sebagainya,” tutup Darmaningstyas.