“Man ‘arafa bu’da al-safari ista’adda”, orang yang tahu jauhnya suatu perjalanan akan mempersiapkan diri, demikian bunyi sebuah kalimat hikmah dalam bahasa Arab. Sebuah ungkapan singkat namun sarat makna.
Sebuah ilustrasi sederhana ingin penulis sampaikan di sini. Jika kita hendak melakukan sebuah perjalanan ke luar kota, misalnya, tentu kita akan mempersiapkan bekal untuk perjalanan tersebut. Kita akan menghitung berapa biaya transportasi pulang-pergi dari tempat tinggal kita menuju ke kota tujuan, dan juga sebaliknya. Kita juga akan menyiapkan dana untuk biaya hidup selama di kota tujuan, serta segala hal yang perlu kita persiapkan selama di sana.
Lazimnya, demi kenyamanan dalam perjalanan, kita akan membawa bekal lebih dari cukup. Kita akan membawa uang, tidak sekedar untuk ongkos pulang-pergi dan biaya hidup di sana secara pas-pasan, karena kita tidak tahu hal-hal tak terduga yang mungkin terjadi selama perjalanan. Maka, semakin banyak bekal yang kita bawa, semakin tenang dan nyaman perjalanan yang kita lakukan.
Apa makna dari ilustrasi sederhana yang saya sampaikan tersebut? Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, jika untuk perjalanan yang kita ketahui jarak tempuh serta lamanya kita berada di sana saja kita persiapkan dengan begitu matangnya, apalagi untuk sebuah perjalanan hidup di dunia yang tidak kita ketahui sampai kapan kita akan hidup di dunia ini, lebih-lebih kita tidak pernah tahu berapa lama perjalanan di akhirat kelak, dari mulai kita masuk ke liang kubur hingga kita dibangkitkan, sampai kemudian kita diadili di hadapan Allah dan ditempatkan di tempat yang sesuai dengan amal kita?
Inilah pertanyaan yang harus terus menerus kita ajukan pada diri kita masing-masing. Kita harus menyiapkan bekal untuk perjalanan hidup di dunia ini, lebih-lebih perjalanan ke akhirat kelak. Dan yang lebih penting lagi, kita harus menyiapkan mental untuk sukses-bahagia hidup di dunia ini dan di akhirat kelak.
Berkaitan dengan menyiapkan mental sukses hidup di dunia dan akhirat, penulis ingin menegaskan bahwa sebelum kita melangkah lebih lanjut untuk meraih cita-cita hidup sukses-bahagia dunia-akhirat, maka yang pertama dan paling utama dipersiapkan adalah mental kita. Karena, tanpa kesiapan mental, maka apa pun yang kita dapatkan, alih-alih memberi nilai positif pada diri kita, justru bisa menjadi bumerang bagi diri kita sendiri.
Sebagai contoh, seseorang yang tidak siap mental menjadi orang kaya, misalnya, maka ketika kekayaan datang kepadanya, dia akan gagap menghadapi kenyataan yang ada. Bisa jadi kendaraan yang dinaikinya berharga ratusan juta atau mungkin miliaran Rupiah, tetapi mental pengendaranya tidak lebih baik dari sopir angkot yang biasa ugal-ugalan di jalan. Pakaian yang dikenakannya bermerek, tetapi perilakunya seperti preman pasar. Rumah yang ditempatinya sangat mewah, tetapi tidak ada aura kedamaian terpancar dari dalam rumah tersebut. Inilah tipikal manusia modern dewasa ini. Secara lahiriah ingin kelihatan wah, tetapi secara batiniah tidak siap mental. Tampilan luar kelihatan memesona, tetapi sesungguhnya di balik tampilan luar itu, tersimpan keburukan yang menyedihkan.
Untuk itu, persiapan mental untuk sukses dunia-akhirat itu sangat penting. Seseorang yang siap mental untuk sukses, maka dia sudah mengantisipasi jika suatu ketika kesuksesan benar-benar hadir dalam hidupnya. Dia tidak akan menjadi tinggi hati karena kelimpahan materi, pun tidak menjadi jumawa ketika berilmu pengetahuan luas, juga tidak angkuh ketika jabatan prestisius dapat direngkuh. Meski karirnya menjulang tinggi, tetapi dia tetap rendah hati. Meski kesuksesan hidup berhasil digapai, dia tidak lupa diri. Meski telah ‘menyentuh’ langit, tetapi kaki tetap menginjak bumi. Inilah tipikal manusia yang siap mental untuk sukses hidup di dunia.
Demikian juga halnya seseorang yang siap mental untuk sukses akhirat. Dia tidak akan pernah merasa hebat, meski ibadahnya dahsyat. Dia tidak menjadi sok suci meski akhlaknya terpuji. Dia tidak bangga diri meski banyak orang memberi sanjung puji.
Singkatnya, dia tidak pernah merasa menjadi orang yang baik amalnya. Dia selalu merasa menjadi orang yang penuh dosa, sedikit amalnya, dan kurang dekat dengan Tuhannya. Sehingga dia akan terus menerus berusaha untuk memperbaiki dirinya. Inilah kualitas mental orang yang siap sukses akhirat. Baginya, biarlah Tuhan yang menilai dan memberi apresiasi atas amal ibadah yang dia lakukan. Dia tidak peduli apakah orang akan memuji atau mencaci. Yang terpenting baginya adalah rida Ilahi.
Ruang Inspirasi, Jumat, 10 April 2020.