26.7 C
Jakarta

Tangis Pilu Buruh Pabrik Bunuh Diri dan Profesi PSK

Baca Juga:

Oleh: Mukhaer Pakkanna
Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta
Sepanjang Ahad (3/5/2020), saya browsing beberapa berita pilu terkait derita rakyat kecil diperkotaan. Tampaknya, efek wabah Covid-19 telah banyak meluluh-lantakkan fakta kehidupan. Kemiskinan, pengangguran, dan kelaparan kian getir meningkat. Setali tiga uang, kriminalitas (perampokan, pencurian, penjambretan, dll) tumbuh bagai cendawan pada musim hujan.

Dua berita yang menyentuh hati, pertama, Ada PHK Massal Dampak Covid-19, Karyawan Pabrik Bunuh Diri di Sukamulya. Kedua, Kena PHK saat Wabah Corona, Buruh Pabrik di Bandung Terpaksa Jadi PSK.

Pada berita pertama, tertuju pada kisah warga Kampung Ceplak, RT01/02, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamulya, Tangerang. Korban ditemui sudah tak bernyawa di kamar tidurnya. Ia meninggal setelah bunuh diri dengan cara memotong urat nadi tangan menggunakan sebilah pisau.

“Kemungkinan depresi karena di pabrik almarhum banyak yang di-PHK sampai dua ribuan orang, karena almarhum kebanyakan cuti jadi sudah ketakutan duluan takut di PHK,” ungkap kerabat dekatnya. Amarhum diketahui bekerja di PT Shyang Yao Fung, berlokasi di kawasan industri Jatiuwung, Kota Tangerang. Pabrik sepatu itu sedang melakukan PHK massal akibat terdampak pandemi Covid-19.

Kerabatnya menduga almarhum depresi atas rentetan persoalan yang membelitnya. Istri korban yang bekerja di PT PWI Serang kecelakaan hingga patah kaki dan kini masih menjalani perawatan di Rumah Sakit (RS). Istrinya sudah tiga minggu dirawat di Serang akibat kecelakaan waktu berangkat kerja menggunakan angkutan umum.

“Almarhum pulang malam habis nengok istrinya di RS. Sebelumnya, almarhum memang sudah ngeluh sakit masuk angin. Nah pulang dari situlah ngurung diri di kamar pintu pun dikunci. Karena posisi ruang tamunya gelap jadi gak kelihatan tuh si darah udah ngalir kebawah pintu akhirnya ketahuannya siang jam 9,” ujar tetangganya.

Pada berita kedua, tertuju kisah seorang buruh perempuan pabrik yang menjadi korban PHK. Sudah tiga minggu ini, Rani (nama samarannya), setiap pukul 16.30 WIB, langsung bersiap untuk ke tempat kerjanya yang baru. Berangkat dari rumah, ia hanya berbekal lipstik dan beberapa peralatan make up lainnya. Penampilannya tidak mencolok.

Namun, sesampainya di tempat kerjanya yang baru, wanita itu langsung bersolek sambil menunggu adanya instruksi dari seseorang untuk melayani tamu. Sebelumnya, ia hanya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik garmen, di kawasan Holis, Kota Bandung.

Semenjak wabah corona merebak, dirinya harus diberhentikan perusahaan. Alasannya, karena pabrik harus berhenti beroperasi, semenjak pemerintah gencar untuk meminta work from home atau bekerja di rumah.

Berstatus sebagai pegawai kontrak sejak 2009, perempuan asal Kota Cimahi, yang lahir pada 1985 ini, tidak mendapat apa-apa dari perusahaan tersebut.  Hanya gaji terakhir yang ia dapatkan, itupun tidak mencapai upah minimum kabupaten atau kota, tempat ia bekerja.

“Status kontrak, jadi udah pas di putus kerja, enggak dapat apa-apa selain gaji,” katanya, saat ditemui, di salah satu apartemen, di Kota Cimahi, tempat ia bekerja. Di apartemen itu, ia tidak bekerja sebagai staf atau manajemen. Melainkan, ia menjajakan dirinya kepada setiap pria hidung belang, yang didapat dari aplikasi ponsel pintar berbasis internet.

Memiliki tubuh yang cukup gempal, dengan tinggi tak lebih dari 160 sentimeter, wanita berambut pirang itu mengaku baru menjajal dunia tersebut. Ia diajak oleh rekannya, yang dulu ia pernah kenal saat masih bekerja di pabrik garmen. “Baru semingguan lah. Semenjak corona weh, jadi harus gini,” ucap dia.

Kesehariannya, ia menjadi single parent bagi kedua anaknya. Semenjak bercerai tiga tahun lalu, ia menghidupi anaknya yang duduk di bangku SMA kelas XII serta satu anak lainnya di TK. Kisah percintaannya cukup pelik. Beberapa kali, ia mengaku diselingkuhi, oleh mantan suaminya itu.

Dalam pekerjaan yang baru ini, ia mulai berangkat sore hari setelah pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, hingga membantu mengerjakan pekerjaan sekolah anak-anaknya. Selepas itu, ia langsung berangkat dengan alasan, kerja sift malam. “Yah paling jam 9 atau jam 10 (malam) baru pulang,” tutur dia.

Bukannya tak ingin mencari pekerjaan lain. Dirinya mengungkapkan, di situasi seperti saat ini, pekerjaan yang mudah dan cepat menghasilkan uang hanya dengan cara seperti ini. Berkedok dengan menjajakan pelayanan pijat, setiap tamu yang ia layani, kerap di tawarkan untuk menjajal tubuh wanita itu.

Menyinggung soal bantuan sosial dari pemerintah, yang saat ini tengah digadang-gadangkan, ia mengaku tidak dapat bantuan tersebut. Pengurus warga tempat ia tinggal, katanya lebih mementingan kerabat dan keluarganya sendiri dari pada warganya. “RW nya weh itu, mentingin saudaranya weh dari pada warga. Dianggapnya mungkin saya masih bisa kerja,” katanya.

Dua kisah pilu di atas, saya kira telah mewakili jutaan orang yang menjadi korban PHK. Data teranyar menyebutkan, sudah ada 76.000 perusahaan yang mem-PHK karyawannya, belum termasuk perusahaan yang merumahkan.

Skenario terpahit, jika wabah ini tidak berhenti hingga November 2020, jumlah yang akan di PHK sebanyak 12 juta jiwa. Saya sulit membayangkan, bagaimana nasib masyarakat kita ke depan? bagaimana fakta patologi sosial yang bakal menyeruak, kemiskinan, kelaparan, dan pengangguran? Pantaskah kita masih terbahak-bahak melihat fakta ini? Pantaskah jika ada segelintir orang masih memancing di air keruh untuk memperkaya diri dan kelompoknya? Pantaskah, jika para elite politik dan para korban residu politik masih cakar-cakaran dan membelah-belah  kehidupan ini? Di mana sensitfitas sosial kita?

Tapi, saya masih yakin, semua ini ada hikmahnya. Ada blessing in disguise. Kita masih memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Memiliki empati untuk membantu sesama tanpa melihat sekat-sekat latar belakang. Saya pun teringat, modal sosial kita berupa hidup gotong royong. Saya juga masih ingat bangsa kita, merujuk survei Charity Aid Foundation (2019),  bahwa rakyat Indonesia sebagai orang yang paling dermawan di planet ini. Masyarakat kita selalu tulus membantu orang yang tidak dikenal, selalu berdonasi, dan selalu berpartisipasi dalam gerakan filantopis. Itulah modal sosial yang harus kita lipatgandakan.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!