28.2 C
Jakarta

Beban Berat Kepala Sekolah di Era Covid-19

Baca Juga:

Oleh : Ashari, S.IP*

MENJADI kepala apapun mempunyai beban dan tanggung jawab yang tidak ringan. Beban pekerjaan dan tanggung jawab kepada diri, atasan, masyarakat sekitar, terlebih kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Karena dalam pandangan mazhab apapun, jabatan adalah amanah, yang jika sudah selesai mengemban tugas, tidak selesai begitu saja, namun ada hitungannya di kemudian hari.

Dari Kepala Rumah Tangga, RT, RW, dukuh  hingga Kepala Negara mempunyai beban yang berbeda. Namun dalam tulisan pendek ini, kita batasi konteksnya adalah Kepala Sekolah. Agar pokok bahasannya tidak terlalu melebar. Berdasarkan referensi, diskusi dan pengalaman pribadi.

Kepala Sekolah (KS) adalah manajer di sekolah itu. Layaknya sebuah perusahaan, peran manajer begitu penting dan signifikan. Meski dalam prakteknya dia tidak bisa mengambil keputusan secara sepihak, dia tetap harus berkonsultasi dengan Komite Sekolah, para Waka, Guru Senior, bahkan jika perlu dia dapat minta pertimbangan kepada seorang Office Boy (OB) sekalipun, atau peserta didiknya.

Karena dalam dataran real di lapangan dominasi peran seorang KS yang membabi buta, tanpa memperhatikan masukan dan aspirasi dari staff dan dewan guru, yang biasa kita sebut dengan ring-1, maka keputusan seorang KS akan menjadi bumerang bagi dirinya dan sekolahnya. Terlebih di era Covid-19. Dalam banyak hal dibatasi ruang geraknya. KBM, Ujian  dengan sistem daring, Kelulusan dengan on Line. Sedangkan guru karyawan tidak masuk setiap hari, sementara tetap dibutuhkan koordinasi. Tidak mudah.

Rumah tangga sekolah seperti halnya rumah tangga kita sendiri. Pasti ada yang namanya masalah tersebut. Baik dari sisi manajemen internal, penggajian yang timpang, pembagian kerja yang dirasa tidak adil, pembayaran SPP yang tidak lancar, pembagian jam mengajar yang berimbas kepada perolehan tunjangan sertifikasi guru, hingga dilema menerima siswa pindahan dan prosesi pengembalian siswa ke orang tua walinya.

Dari sekian banyak masalah tersebut, secara psikologis sosial yang paling berat jika dibuat sebuah rangking, menurut saya adalah ketika sekolah harus mengembalikan Peserta Didik (PD) kepada orang tua, wali, pun juga ketika sekolah tidak dapat menerima PD pindahan dari sekolah lain. Kalau soal honor yang masih dibawah UMP  bisa dicarikan solusinya, misal melalui pemberian Sertifikasi dan semacamnya.

Posisi PD dalam SPM.

Posisi PD dalam pendidikan, terlebih jika mengacu kepada kurikulum 13 adalah sentral. Mereka adalah bak bahan bakar dalam sebuah mesin. Bisa dibayangkan institusi sekolah tanpa PD, ibarat nonton bola tanpa pemain. Sangat hampa. Namun bagaimana jika pemain itu, jika bahan bakar itu membuat ulah, hingga membuat pengelolanya kalang kabut, kerepotan? Apakah pemain itu, kemudian kita keluarkan, kita ganti dengan pemain baru? Yang lebih alim, penurut, pendeknya membuat sekolah lebih kondusif?

Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan dilematis ini. Dimana posisi seorang KS? Dalam mengambil keputusan, belajar dari KS-KS terdahulu, tidak pernah saya mengambil dengan sepihak. Mencoba untuk meminta pertimbangan dengan para Waka dan guru-guru senior. Pun juga dalam hal mengganti “pemain baru” ini.   Sebab dalam teorinya, PD harus mendapatkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dari sekolah tersebut.

Ketika sekolah memberikan “kartu merah” kepada PD agar menarik diri dari institusinya,  saya yakin semua KS tidak akan serta merta menggunakan kekuasaannya untuk  mengeluarkan PD-nya. Artinya prosedur atau standar pemberian kartu merah itu sudah diberikan secara bertahap dan berlapis-lapis. Tidak instan. Itupun pasti dengan perasaan berat hati.

Epilog:

Munif Chatib dalam bukunya Gurunya Manusia, membagi kriteria Sekolah menjadi 4, salah satunya adalah sekolah yang Hidup segan mati tak mau. Kondisi ini diindikasikan dengan kepercayaan masyarakat yang rendah, berimplikasi kepada minimnya jumlah PD, Kualitas guru rendah diperparah dengan Manajemen sekolah yang amburadul. Tentu semua KS jika ditanya tidak ingin sekolahnya berada pada posisi demikian. Maka perbaikan-demi perbaikan selalu dilakukan. Termasuk diantaranya adalah pembenahan dari kualitas siswanya dan guru karyawannya. Satu visi, satu gerbong.  Sekian

* Penulis : Mantan Kepala SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY. Periode 2014-2018, kini mengajar PPKn di sekolah yg sama.Opini Pribadi

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!