Riyadhus Shalihin

Hadis 1

Kitab Riyadhus Shalihin yang disusun oleh Imam an-Nawawi, bukanlah kitab yang asing bagi Muslim di Indonesia. Itu sebabnya, di pasaran beredar banyak versi dan dan dicetak berulang-ulang. Pencetakan itu memuat dalam naskah asli maupun berbahasa Arab, serta tentu saja melengkapinya dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Bab 1 buku ini, memuat tentang Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya sama menyembah Allah, dengan tulus ikhlas menjalankan agama untuk-Nya semata-mata, berdiri turus dan menegakkan shalat serta menunaikan zakat dan yang sedemikian itulah agama yang benar.” (al-Bayyinah: 5)

Allah Ta’ala berfirman pula:

“Sama sekali tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang kurban itu, tetapi akan sampailah padaNya ketaqwaan dan engkau sekalian.” 1 (al-Haj: 37)

Allah Ta’ala berfirman pula:

“Katakanlah – wahai Muhammad 2,sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di dalam hatimu ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh Allah.” (ali-lmran: 29)

  • Dari Amirul mu’minin Abu Hafs yaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib al- Qurasyi al-‘Adawi r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda3:

“Setiap amal harus disertai dengan niat. Karena setiap amal seseorang tergantung dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya (Dari Makah ke Madinah) itu, karena Allah dan Rasul-Nya (melakukan hijrah demi mengagungkan dan melaksanakan perintah ALlah dan Rasul-Nya), maka hijrahnya tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya itu demi kepentingan harta dunia yang diharapkannya, atau demi seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya sebatas kepada sesuatu yang menjadi tujuannya (tidak diterima oleh Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim), (Muttafaq (disepakati) atas keshahihannya Hadis ini)

Diriwayatkan oleh dua orang imam ahli Hadis yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju’fi Albukhari, – lazim disingkat dengan Bukhari saja -dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, – lazim disingkat dengan Muslim saja – radhiallahu ‘anhuma, dalam kedua kitab masing-masing yang keduanya itu adalah se-shahihshahihnya kitab Hadis yang dikarangkan.

Keterangan lebih lanjut:

1 Orang-orang di zaman Jahiliyah dulu jika menginginkan atau mengharapkan keridhaan Tuhan, mereka sembelih unta sebagai kurban, lalu darah unta itu disapukan pada dinding Baitullah atau Ka’bah. Kaum Muslimin hendak meniru perbualan mereka itu, lalu turunlah ayat sebagaimana di atas.

2.  Umar bin Khaththab r.a. itu adalah khalifah dari golongan Rasyidin. Ia yang pertama kali menggunakan sebutan Amirul mu’minin, pemimpin kaum mu’minin. Beliau adalah khalifah kedua sepeninggal Rasulullah SAW. Panggilan Amirul mu’minin itu lalu dicontoh dan diteruskan oleh khalifah Usman dan Ali radhiallahu ‘anhuma, juga oleh para khalifah Bani Umayyah, Bani Abbas dan selanjutnya. Jadi di zaman khalifah Abu Bakar, sebutan di atas belum digunakan. Adapun Abu Hafs, itu merupakan gelar kehormatan bagi Sayidina Umar r.a. Abu artinya bapak, sedang hafs artinya singa. Beliau r.a. memperoleh gelar Bapak Singa, sebab memang terkenal berani dalam segala hal, seperti dalam menghadapi musuh di medan perang, dalam menegakkan keadilan diantara seluruh rakyatnya. Ia tanpa pandang bulu menerapkan hukuman kepada siapapun. Ringkasnya, yang salah pasti ditindak dengan keras, sedang yang teraniaya dibela dan dilindungi.

Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat. Rasulullah SAW menyabdakannya itu, karena diantara para sahabat Nabi ketika ikut berhijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata ada yang dikarenakan terpikat seorang wanita, yakni Ummu Qais. Nabi Muhammad SAW mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana di atas.

Orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya. Meski, hal ini boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut. Apalagi kondisi saat itu amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah SAW.

Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita yang ingin dinikahi. Sedankgan, sahabat Nabi Muhammad SAW yang lain, berhijrah dengan tujuan menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik yang berkuasa di Makkah ketika itu. Semua sahabat ikut hijrah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah.

Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut. Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun kosong. Kondisinya tentu amat berbeda dengan sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang dengan keikhlasan hati, mereka bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya. Mereka berusaha untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya. Tentu saja, pahalanyapun besar sekali, karena hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT dan RasulNya.

Sekalipun datangnya Hadis itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika mengikuti hijrah Nabi Muhammad SAW, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat, sesuatu amal itu sah dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu, sengaja yang disembunyikan dalam hati. Seperti ketika mengambil air wudhu’ untuk shalat, mandi, shalat dan lain-lain sebagainya.

Kita tentu tahu, barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah, maka ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seseorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalamorang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi:

“Niat seseorang itu lebih baik daripada amalannya.”

Maksudnya: Jika meniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan, karena adanya halangan yang tidak dapat dihindarkan itu, maka itu lebih baik daripada sesuatu perbuatan yang benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat.

Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya, agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali mewajibkan niat itu dalam segala amalan. Amalan itu, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu’, tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah.

Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah.

Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis dan lain-lain.

Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadat serta bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadat bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah pahalanya.