33.4 C
Jakarta

Wikan: Komitmen Industri Menyerap Lulusan Pendidikan Vokasi Jadi Poin Penting Link and Match

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Pernyataan dan komitmen industri untuk menyerap lulusan pendidikan vokasi menjadi salah satu poin penting dari pernikahan ‘link and match’ antara pendidikan vokasi dengan industri. Tanpa ada komitmen menyerap SDM yang dihasilkan oleh pendidikan vokasi, maka pernikahan antar dua belah pihak tersebut, sebagus apapun, semeriah apapun beritanya di media, hanya akan menjadi pekerjaan yang sia-sia.

“Kalau sudah ada kesepakatan bersama, ada MoU, lalu industri terlibat dalam proses penyusunan kurikulum, tetapi ketika lulusan pendidikan vokasi baik itu SMK maupun perguruan tinggi vokasi tidak terserap dunia industri, dipastikan ada yang salah dalam proses pernikahan tersebut,” kata Dirjen Pendidikan Vokasi (Diksi) Kemendikbud Wikan Sakarinto pada program Selamat Pagi Indonesia Plus bertema Berani Mengaku Sudah Link and Match Harus Minimal Sudah Apa Saja?, yang ditayangkan salah satu stasiun televisi, Jumat (10/7/2020).

Karena itu, program link and match benar-benar dikatakan sebagai pernikahan yang serius, jika memenuhi 4 syarat minimal. Pertama, penyusunan kurikulum melibatkan pendidikan vokasi dan industry. Mulai dari tahapan direncanakan, disusun, disepakati atau disetujui oleh kedua belah pihak secara bersama.

“Pihak industri harus ada pernyataan mendukung kurikulum yang sudah disusun bersama tersebut,” kata Wikan.

Syarat kedua adalah program magang. Wikan mengingatkan bahwa kurikulum magang sejak awal harus melibatkan industry terkait bagaimana proses magangnya, seperti apa kurikulumnya dan sebagainya.

Kemudian syarat ketiga terkait pengajar, baik guru atau dosennya. Pendidikan vokasi harus mampu mendatangkan praktisi atau dosen tamu dari industri yang jadi partnernya. Dosen tamu ini harus mengajar di pendidikan vokasi minimal 50 jam dalam satu semester.

“Mengirimkan praktisi untuk mengajar siswa SMK atau mahasiswa perguruan tinggi vokasi ibarat investasi awal yang sangat penting dan berharga,” kata Wikan.

Syarat keempat adalah industri harus ada komitmen dan pernyataan untuk menyerap lulusan pendidikan vokasi. Komitmen ini menjadi poin penting dari serangkaian proses pernikahan antara pendidikan vokasi dengan dunia industri.

Terkait kurikulum, Wikan menjelaskan bahwa pendidikan vokasi harus memberikan muatan hardskill dan softskill secara seimbang. Ibarat membuat resep, maka dunia industri membutuhkan resep masakan yang komplit dan enak. Tidak sekedar hardskill tetapi muatan softskillnya harus cukup banyak.

“Hardskill itu memang penting, tetapi ini hanya akan bertahan beberapa tahun saja,” tambah Wikan.

Menurut Wikan, jika empat paket dasar dalam pernikahan tersebut dipenuhi, maka industri akan kebanjiran SDM-SDM yang kompeten. Industri tidak perlu lagi berburu calon karyawan di job fair-job fair. Mereka tinggal menghubungi pendidikan vokasi untuk mendapatkan tenaga kerja yang diinginkan.

Hal yang tak kalah pentingnya dari 4 syarat pernikahan tersebut adalah keberanian industri untuk memberikan penghargaan yang tinggi kepada SDM vokasi berupa salary atau gaji. Untuk SDM yang kompeten dan siap kerja, seharusnya industri berani memberikan salary yang tinggi.

“Kalau lulusan pendidikan vokasi memiliki jaminan soal gaji yang memadai, gaji yang bagus, saya yakin ini akan mengubah cara pandang, cara berpikir masyarakat terkait pendidikan vokasi. Mereka akan beramai-ramai masuk pendidikan vokasi, karena di sanalah dunia generasi kita. Mereka akan bekerja sesuai passion dan ketrampilan yang dimiliki,” tandas Wikan.

Tahun ini, Kemendikbud menyiapkan anggaran sekitar Rp3,5 triliun untuk mendorong terjadinya pernikahan massal antara pendidikan vokasi dengan dunia industri. Targetnya ada sekitar 200 program studi pada perguruan tinggi vokasi, ribuan SMK dan ribuan lembaga pelatihan dapat melakukan pernikahan yang serius dengan dunia industri.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!