30.7 C
Jakarta

Cerpen: Kesabaran Ini, untuk Emak

Baca Juga:

Oleh: Ashari

SUDAH banyak teman yang menganjurkan agar aku bersama istri menambah anak lagi. Lima belas tahun menikah, kami dikaruniai satu orang anak. Laki-laki. sekarang sudah kelas dua SMP. Kata orang-orang, teman sekolahnya, gurunya bahkan sampai Pak Bon dan Penjual Soto sekolah mengamini kenakalan anak kami. Dari tingkat kenakalan biasa, mengganggu anak perempuan, berkelahi, sampai menghina guru. Juga sudah tidak terhitung, berapa kali saya dipanggil dewan guru untuk “mempertanggungjawabkan” perbuatan anak lelakiku itu. Sehingga secara tidak langsung, akupun juga menjadi “terkenal” di lingkungan sekolah anakku. Setiap kali aku datang, bisik-bisik guru dan murid, teman-teman anakku tak pernah luput.

“Nunggu apa lagi tho, Mas. Mumpung masih muda, siapa tahu dengan menambah anak, si Jamal akan lebih dewasa,” kata Mirna, teman satu kantor yang menganggap aku ini sebagai kakaknya.

“Buat apa memelihara Jamal, kalau kelakukaannya kayak setan gitu, kalau gak mau nambah anak, ya adopsi lewat saudara kan mudah,” sosor Parto yang duduk di belakangku. Parto berpandangan, anak manusia seperti anak hewan saja, kalau tidak sesuai dengan harapan ya tukar, buang ganti yang baru.

Sesungguhnya masih ada beberapa teman yang mendorong hal sama. Aku punya anak lagi. Entah laki atau perempuan. Ujungnya agar aku dapat pengganti, agar aku dapat pelipur lara bersama istri. Dan istri sebenarnya juga tidak menolak, untuk tambah momongan. Usia 43 bagi aku, istri 32 masih ideal untuk memiliki anak lagi. Namun, entah mengapa, setiap kali ada keinginan untuk menambah anak, maka setiap kali pula, ada keinginan kuat untuk memperbaiki dulu perilaku anakku, Jamal. Nama Lengkapnya; Ahmad Jamaludin. Ada ketakutan yang hebat, jika anak kedua akan mempunyai perangai yang sama. Atau bahkan lebih. Sehingga sebagai orang tua aku akan gagal mendidiknya. Betapa berat pertanggung jawabanku di akhirat kelak.

“Bagaimana dik, apa kamu sudah mantap,” kataku suatu sore setelah pulang kerja, saat Jamal tidak di rumah, entah ke mana.

“Aku sih bergentung Mas saja,” kata Sri, istriku sambil menyeduh teh.

“Maafkan aku ya dik, aku belum berhasil mendidik anak kita,” kataku menerawang jauh menembus langit-langit teras rumah.

“Aku juga mas, yang penting kita tidak boleh putus asa untuk berdoa kepada Allah, agar anak kita, Jamal diberi hidayah.”

“Atau jangan-jangan ada makanan yang masuk ke dalam tubuh kita tanpa sengaja yang tidak halal ya dik, hingga kita diberi ujian berat seperti ini.”

“Nggak tahu juga Mas, aku juga di kantor sudah hati-hati jangan sampai korupsi, jangan sampai mengambil yang bukan menjadi hak kita.”

Untuk beberapa lama kami terdiam. Kami sibuk dengan lamunan masing-masing. Angan kami kembali ke masa silam, sambil mengurai satu demi satu lembaran kehidupan, adakah yang menciderai sehingga berbuah perilaku anak kami yang seolah-olah menampar muka orang tuanya.

Lamunan kami pecah, setelah terdengar Azan Magrib dari Masjid yang mapan tengah berkumandang, kemudian saling bersahutan satu dengan yang lainnya. Seperti magrib-magrib yang lain, anak kami belum pulang. Main. Entah ke mana. Bukan berarti aku tidak pernah mencarinya, setiap kali aku cari dan aku temukan, justru kemarahan yang memuncak yang aku dapatkan.

“Kenapa sih, bapak mencari aku tarus, kan aku sudah besar,” katanya.

“Iya, tapi ini waktunya salat, waktunya pulang, kamu juga belum makan siang tho?” kataku dengan menahan.

“Salat, makan, mandi, gak usah disuruh-suruh Pak. Sana bapak pulang,” balasnya sengit.

Pernah aku ancam, kalau tidak mau nurut tidak aku beri uang saku selama satu minggu. Dampaknya dia malah mencuri uang kepunyaan temannya atau gurunya. Akhirnya kamilah yang repot.

***

Ahad sore, lepas Ashar.

Setelah seminggu kemarin aku tidak dapat sowan ke emak, saya sendiri ke tempat emak. Tidak jauh sesungguhnya. Masih satu kabupaten. Jika ditempuh dengan motor cukup setengah jam, kalau aku naik mobil biasanya tidak lebih 20 menit. Namun, kesibukan kadang menggerus aku dan keluarga, hingga tidak sempat ke tempat emak. emak kini tinggal sendiri. Istri sengaja tidak ikut, karena bersamaan dengan arisan kampung. Sampai di tempat emak, segera aku turunkan barang bawaanku: beras, gula, minak tanah, dan yang terakhir makanan kesukaan emak, tahu guling. Meski sudah tua, namun emak tidak mau diam. Masih suka ke sawah. Ketika aku melarangnya, emak secara diplomatis mengatakan untuk olahraga. Ya sudah, yang penting tidak memaksakan diri.

Emak juga bisa telepon sendiri kalau aku dan istri lama tidak ke rumahnya. Umurnya emak kini sekitar 72 tahun. Garis-garis kecantikan masih nampak di dahinya, yang sudah mulai berkerut.

“Bagaimana si-thole?” tanya emak, menanyakan cucu-nya.

“Yah… anu mak,” kataku sambil menarik napas panjang.

Rupanya emak sudah bisa menebak kalimat apa yang akan meluncur dari bibirku. Karena dengan cepat, emak meletakkan jari tangannya di mulutnya yang mengatup, pertanda aku tidak usah melanjutnya ceritanya.

“Emak sudah tahu semuanya, Le. Yang penting kamu tidak boleh putus asa dan terus memdidiknya. Itu adalah anugrah buat kamu, kamu sabar dan ikhlas, bisa jadi kamu dan istrimu masuk surga karena anakmu, bukan karena kamu sudah haji, bukan karena kamu sudah sedekah banyak, juga bukan karena kamu baik dengan aku ibumu, tapi karena kamu mempunyai anak dan sabar mendidiknya,” nasihat emak, panjang.

Emak masuk kamar. Sejurus kemudian mengeluarkan foto hitam putih yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

“Foto siapa Mak,?” tanyaku sambil mengamati foto itu.

“Ini foto mu waktu kecil, kamu memang belum pernah melihatnya, ini ada pisau di sampingnya,” kata emak lagi, sambil merangsek duduknya ke arahku.

“Apa hubungannya fotoku dengan pisau ini, Mak? Tanyaku heran, sambil memandang wajah emak yang tetap berbinar.

“Hm.. kasih tahu nggak ya?” masih sempat emak bercanda.

“Ayolah mak, ceritakan,” aku mendesak.

“Yah, ya.. kamu dulu waktu kecil juga nakal, Ri. Pernah, kamu minta sesuatu kepada emak, karena emak tidak bisa mengabulkan, pisau itu kamu lemparkan ke arahku, emak kaget kemudian emak tangkis dengan tangan, ini lukanya masih tersisa hingga kini, tetapi emak tidak marah, karena emak yakin, waktu itu kamu belum dewasa, belum sadar bahwa yang kamu lakukan itu salah, bisa mengancam keselamatan emak. Setelah itu, kamu lari, bermain bersama teman-temanmu, seolah tidak bersalah, pulang dari main aku dekap engkau,” cerita emak, membuat air mataku meleleh hebat. Membanjiri kedua pipiku.

Aku dekap emak dalam-dalam. Lama tak aku lepaskan. Aku setengah bersujud minta maaf. Mohon ampun. “Maafkan aku mak.” Emak terus membangunkan aku. Aku janji kesabaranku dalam mendidik anakku adalah untuk emak. Sebagai balas budi, meski aku tahu tak akan impas. (Sekian).Medio April Medari, 2014.

Ashari, S.I.P. Mengajar PKn  di SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY. Di sela-sela kesibukannya, mengajar TPA dan menulis Opini, Wacana, dan Cerpen. Beberapa tulisannya pernah dimuat di KR, Bernas, Suara Muhammadiyah, Nova, dan Republika.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!