32.9 C
Jakarta

Hidup pada Pusaran Globalisasi, Pontjo Ingatkan Pentingnya Reaktualisasi Nilai Keindonesiaan bagi Generasi Muda

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) Pontjo Sutowo mengingatkan nilai keindonesiaan sangat mendesak untuk diaktualkan dan direaktualisasikan, terutama pada kalangan generasi muda. Sebab hidup pada pusaran globalisasi dan neoliberalisme seperti sekarang ini, berpotensi menghanguskan nilai-nilai luhur budaya warisan nenek moyang bangsa Indonesia.

“Nilai keindonesiaan merupakan sistem nilai dan budaya yang universal, diterima, digali dan dihayati oleh bangsa Indonesia. Itulah cara hidup kita. Itulah hidupnya-matinya Indonesia dan generasi muda harus memahaminya,” kata Pontjo mengomentari pembangunan pendidikan nasional memasuki usia kemerdekaan RI ke-75, Kamis (20/8/2020).

Berdasarkan hasil pendidikan di beberapa tempat, penanaman nilai keindonesiaan bagi warga negara harus lebih efektif jika kita ingin Indonesia tak makin tertinggal. Salah satu caranya dengan mengefektifkan sistem pendidikan nasional (SPN) yang berperan penting dalam penanaman nilai keindonesian kepada peserta didik. SPN meliputi pendidikan formal (sekolah), pelatihan nonformal (kursus atau pelatihan) dan pendidikan informal (keluarga).

Menurut Pontjo, pendidikan menjadi salah satu upaya paling strategis untuk membentuk jiwa bangsa dan nilai keindonesiaan baik secara formal, informal, maupun nonformal. Ketiganya harus berjalan bersamaan dan terintegrasi. Sebab ini soal genting di masa penting.

Daoed Joesoef salah satu tokoh pendidikan nasional, lanjut Pontjo, pernah mengatakan bahwa “sistem pendidikan nasional” dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana perubahan yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi “mangsa” dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari. Jangan menanti apapun dari masa depan, karena kita sendirilah yang harus menyiapkannya.

Untuk mengaktualkan dan mereaktualisasikan nilai-nilai keindonesiaan, Pontjo memandang pendidikan nasional memerlukan usaha revitalisasi. Ini penting agar pendidikan nasional dapat  menjadi alat pemenangan bangsa Indonesia di zaman global dan era perang modern.

“Memenangkan pendidikan via revitalisasi adalah memastikan kedaulatan masa kini, kemakmuran bersama dan kemartabatan kebangsaan-kemanusiaan sekarang dan masa depan, ujarnya tegas.

Lebih lanjut Pontjo Sutowo yang juga Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti mengatakan bahwa keindonesiaan merupakan suatu perjalanan yang sangat dinamis dan sudah melalui berbagai tahapan. Awalnya nilai keindonesiaan merupakan kenyataan politik, kemudian menjadi kenyataan hukum dan sekarang sedang bergulat untuk meneguhkan Indonesia ini sebagai kenyataan kultural.

“Dari sini terbentuklah nilai-nilai keindonesiaan yang meliputi nasionalisme, persatuan, bernalar, kedaulatan nasional, kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, kebebasan, kerakyatan, negara maritime dan kedirgantaraan. Dan inilah unsur pembentuk impian Indonesia,” kata Pontjo.

Lalu apa sebenarnya hakekat dari penanaman nilai keindonesiaan itu? Pontjo menganalogikan penanaman nilai keindonesiaan tak ubahnya dengan the battle of Waterloo was won on the playing fields of Eaton” saat Napoleon sanggup mengalahkan Inggris. Eaton adalah sekolah di Inggris yang banyak melahirkan perwira-perwira yang berkarakter dan berjiwa pemimpin. Intinya bahwa penanaman karakter harus dilakukan sejak dini, bukan diujung saja, dan bukan ketika sudah di akademi militer. Semua ini menunjuk betapa pentingnya pendidikan karakter melalui sistem nilai tertentu oleh suatu bangsa bagi warga negaranya.

“Dengan memahami nilai keindonesiaan, maka generasi muda akan mampu mengapresiasi kearifan budaya lokal dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks,” tukas Pontjo.

Yudi Haryono, Ketua Tim Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas menambahkan bahwa revitalisasi yang dilakukan bukan sembarang revitalisasi, melainkan harus revitalisasi pendidikan berbasis Pancasila dan Konstitusi, dengan semangat Proklamasi (pembebasan atas penjajahan), Bhineka Tunggal Ika (pluralis), Sumpah Pemuda (bersatu), NKRI (menyeluruh dan nir-laba) dan berwawasan Nusantara serta berwawasan kebangsaan. Mengapa harus demikian? Sebab Pancasila merupakan kode genetik dan cetakan dasar bangsa Indonesia.

“Dengan basis tersebut serta hadirnya warga negara unggul yang terkelola, berwatak memimpin dan punya setriliun kejeniusan maka usaha revitalisasi ini akan ditempuh demi, dari, oleh, dan untuk Indonesia Raya,” katanya.

Sementara itu Bambang Pharmasetiawan selaku Wakil Ketua Tim Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas mengatakan selain membahas masalah pentingnya penanaman nilai keindonesiaan kepada generasi muda melalui pendidikan, Naskah Akademik Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional (Sisbuddiknas) yang diserahkan ke Komisi X DPR RI bulan lalu, juga membahas mengenai metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan tentang inklusi.

Seperti diketahui, PJJ (distance education) yang saat ini dilakukan di sebagian besar wilayah Indonesia, sebenarnya  bukan metode baru dalam sistem pendidikan. Metode ini sejatinya merupakan pendidikan formal berbasis media yang peserta didik dan instrukturnya berada di lokasi terpisah (baik karena antar daerah, antar pulau, maupun karena wabah virus seperti Corona yang mewajibkan social distancing dan karantina bahkan isolasi).

“Tetapi yang jadi masalah adalah bahwa PJJ memerlukan dukungan baik dari segi perangkat keras, perangkat lunak maupun kemampuan guru dalam menguasai platform dan media digital, baik yang sinkronous maupun yang asinkronous. Inilah bukti negara hadir dalam pendidikan nasional,” lanjut Bambang.

Demikian halnya juga untuk pendidikan inklusi. Pendidikan inklusif merupakan sistim penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak yang memiliki keterbatasan tertentu dan anak-anak lainnya yang disatukan dengan tanpa mempertimbangkan keterbatasan masing-masing.  Pendidikan inklusif adalah konsep pendidikan terpadu bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, khususnya bagi anak penyandang disabilitas yang diselenggarakan di sekolah formal.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!