24.5 C
Jakarta

Tidak Mudah, ‘Menelan’ Amarah

Baca Juga:

Oleh Ashari, SIP *

MARAH. Barang kali setiap orang dewasa, bahkan anak-anak pernah mengalaminya. Penyebabnya bisa bermacam-macam, namun muaranya satu, yakni sakit hati dan berujung pada terkurasnya energy. Manusia memang dihiasi oleh Allah Swt rasa cinta kepada dunia dan anak-anak, termasuk di dalamnya, harta benda. Namun justru ketiga unsur tersebut yang sering menjadi sumber kekecewaan. Akibatnya kita menjadi gampang marah.

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasul, “Ya Nabi, tunjukkan kepada kami, amalan apa yang bisa mengangkat derajat kami.”  Atas pertanyaan ini, Nabi menjawab, “Jangan marah, jangan marah, jangan marah.”  Jawaban singkat Nabi ini memberikan penjelasan kepada kita semua, bagaimana menahan marah (wal kadzi minal ghoidhzo) sangat penting. Dalam surat Ali Imran ayat 133-134, Allah Swt memberikan gambaran orang-orang yang bertaqwa yang akan diberikan surga, seluas langit dan bumi, ternyata akan diberikan kepada (salah satunya) kepada mereka yang dapat menahan emosi kemarahan. Di samping memaafkan kesalahan orang lain.

Dua perilaku utama yang tidak semua orang bisa melakukannya. Apalagi ketika kita berada dalam posisi benar dan merasa ‘ diatas’. Biasanya kita akan merasa selalu benar. Bahkan dalam kondisi salah sekalipun. Atas nama harga diri sering kita malu mengakui kesalahan. Padahal sejatinya, mengakui kesalahan yang kita lakukan tidak akan memperburuk ‘wajah’ kita di mata Allah Swt. Di mata manusia mungkin kita sementara akan terperosok, namun bukankah yang benar akan tampak benar. Dan yang salah juga akan salah.

Marah bisa merusak segalanya. Hubungan suami istri bisa rusak karena dipicu oleh marah. Hubungan pertemanan di kantor, di rumah atau di manapun bisa luntur juga karena virus marah ini. Sudah banyak contoh yang memberikan pelajaran kepada kita, bagaimana marah membuat suasana menjadi keruh, retak dan patah. Oleh karena itu, disaat hati akan marah, maka sesegera mungkin kita berlindung kepada Allah Swt dari godaan syetan yang terkutuk. Membaca taawud, kemudian wudhu, jika mungkin sholat sunat 2 rokaat. Insya Allah dengan niatan yang kuat maka nafsu amarah pelan-pelan akan turun, dan posisi hati kita akan stabil. Yakinlah keputusan yang kita buat dengan amarah pasti akan berujung kepada penyesalan. Rasul pernah marah, bukan harga dirinya yang dihina namun lantaran agama dilecehkan. Juga tidaka kalah penting banyak-banyaklah taddarus, karena itu akan melembutkan hati.

Waktu habis untuk amarah.

Konon orang sukses/berhasil ditentukan dari kepandaiannya dalam memenej waktu. Jatah waktu kita dalam hidup ini sama, sehari 24 jam. Namun orang-orang yang sukses dapat melakukan banyak hal untuk perubahan diri, keluarga dan masyarakatnya. Sementara itu kalau kita gampang marah. Maka yakinlah waktu kita akan terbuang percuma. Energi yang keluar banyak, namun tidak ada hasil masksimal yang kita peroleh. Yang kita dapat adalah kepuasaan sesaat. Dan penyesalan.

Marah hanya akan ‘membunuh’ waktu produktif kita saja. Disaat orang lain sudah bisa kemana-mana, kita masih sibuk marahan dengan saudara sendiri, yang ironis kadang hanya karena masalah-masalah yang remeh atau sepele. Untuk apa? Memaafkan jauh lebih mulia. Di samping hati akan lebih lapang, kita akan mempunyai cadang energi positip untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang ada dalam diri ini. Sebab kalau kita introspeksi, sejatinya masih banyak kekurangan diri. Bahkan waktunya tidak cukup untuk menutup kekurangan itu.

Hadits soheh menjelaskan, salah satu indikasi orang yang baik adalah ketika tidak ada lagi waktu untuk mencari-cari aib orang lain, karena dia sudah sibuk mencari kekurangan dirinya sendiri. Bagaimana dengan kita. Semoga Allah masukkan kita kedalam golongan hamba yang pandai menahan amarah disaat kita ‘harus’ marah. Banyak ayat menjelasan Allah bersama dengan orang-orang yang sabar. Sekian

*-Mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman Jogja.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!