Oleh : Ashari, S.IP*
HARI-hari ini kita disibukkan dengan agenda Pemilu di tingkat lokal, daerah, yakni Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), yang direncanakan oleh pemerintah secara serentak pada tanggal 9 Desember 2020. Kendati ada pandemi Covid-19, namun Pilkada jalan terus. Umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri ini tentu mempunyai kepentingan untuk mensukseskan agenda tersebut. MUI sendiri melalui fatwa-nya, (pernah) mengajak umat Islam untuk tidak golput. Haram hukumnya untuk golput. Fatwa ini memberikan pengertian bahwa Islam berkepentingan dalam menegakkan demokrasi di Indonesia. Karena bagi umat Islam keberadaan pemimpin sangat penting.
Jika calon pemimpin ada yang layak, maka tidak boleh umat Islam menjadi golput. Di samping menciderai demokrasi, dengan tidak memilih maka akan mengurangi hak suara kita kepada calon pemimpin yang mestinya unggul.
Di zaman Nabi Muhammad Saw, sepanjang penulis tahu, sistem pemilihan pemimpin adalah dengan cara penunjukkan mereka yang dipandang mempunyai kemampuan (capabel ). Era sahabat sebagai generasi terbaik di dunia, pertama yang ditunjuk untuk menggantikan Rasul adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, kemudian Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan yang terakhir adalah eranya Ali bin Abi Thalib. Tidak banyak gejolak. Alasannya di samping penduduk Mekkah waktu itu belum banyak, ambisi untuk menjadi pemimpin, nafsunya tidak menggelegak. Karena mereka beranggapan bahwa tidak mudah untuk menjadi pemimpin umat.
Beberapa riwayat mencatat, misalnya Abu Bakar ketika diangkat menjadi khalifah pertama, maka ucapan pertama yang keluar dari mulutnya yang agung adalah Innalillah. Bukan Alhamdulillah. Sebagai bukti bahwa jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Jika gagal, maka neraka sudah siap untuk menampungnya. Umar bin Khatab beda lagi, Umar yang gagah, tegas  dan garang, sebelum masuk Islam, Umar dikenal sebagai musuh utama Nabi, dia pernah ingin membunuh nabi, Namun setelah mendapat hidayah, garang dan kerasnya tetap, namun ditujukan untuk melawan di luar  Islam. Dan saat diangkat khalifah menggantikan Abu Bakar, Umar sempat menangis, takut tidak dapat amanah.
Waktu cepat bergulir. Manusia tambah banyak. Setelah era Ali bin Abi Thalib kericuhan memilih pemimpin sudah mulai nampak. Terlihat dari rebutan kekuasaan dengan intrik-intrik yang saling menjatuhkan dan tindakan distruktif lainnya. Di samping populasi manusia makin banyak, kepentingan untuk menjadi pemimpin sudah tidak murni lagi, mengabdi. Tetapi sudah menghamba kepada jabatan dan kekuasaan. Mulai jatuh korban. Agitasi dan intimidasi selalu mewarnai setiap pergantian pemimpin (suksesi).
Maka dalam event pemilu kali ini bersandar pada Fatwa MUI sudah selayaknya kita gunakan hak suara dengan datang di setiap TPS dengan e-vote guna memberikan suara kepada mereka yang kita pandang layak menjadi wakil kita di daerah untuk menjadi pemimpin. Bupati/Walikota dan wakilnya.
Pertama : Kenali calon dengan baik. Track record–nya, jangan sampai ada istilah memilih kucing dalam karung. Dengan mengenali calon, maka kita akan mantap untuk menitipkan aspirasi kita kepada mereka. Sehingga ketika mereka menjadi kepala daerah, harapannya tidak akan melupakan kita sebagai konstituennya, hingga dapat meng-adop aspirasi, suara dan harapan dari masyarakatnya.
Kedua : Sholat Istikarah. Tidak berlebihan kiranya itu kita lakukan. Karena pada hakekatnya sebuah pilihan yang banyak, kadang kita dihadapkan pada situasi bimbang dan ragu. Ketika calon yang akan kita pilih nampak sama-sama baiknya, dari visi-misi yang mereka sampaikan, amanah, jujur dan sebagainya. Namun kita hanya memilih satu pasangan untuk satu Daerah Pemilihan. Â Maka kita selayaknya mohon bantuan kepada Allah Swt agar ditunjukkan pilihan yang lurus dan tidak banyak kelirunya.
Hal itu kita lakukan, agar ketika dikelak kemudian hari ternyata pilihan kita meleset, kita tidak terlalu menyalahkan diri sendiri, toh pada awalnya sudah kita pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Ketiga : Ikut menjaga ketertiban bersama. Apapun profesi dan jabatan kita dalam Pilkada nanti, maka sudah semestinya kita turut menjaga ketertiban, dengan tidak membuat ulah yang mengganggu, apalagi tindakan-tindakan destruktif yang tidak mencerminkan umat islam yang suka damai. Islah. Ingat ketika Nabi Yusuf As, diangkat pertama kali sebagai menteri ?, maka yang pertama kali dilakukan adalah upaya untuk kesejahteraan rakyatnya, bukan diri dan keluarganya. Sekian
*Mengajar PPKn, Â di SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY, opini pribadi.