26.7 C
Jakarta

Pemiskinan dan Kemiskinan Jadi Ancaman Nyata Bagi Perempuan Adat

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM — Eksplorasi alam besar-besaran yang terjadi perkebunan sawit di Kampung Rangan Kalimantan Timur telah menjadi ancaman nyata bagi para perempuan adat. Mereka kehilangan ragam jenis pangan setelah terjadi penghancuran kedaulatan pangan dan kemandirian, pun demikian halnya penghancuran pengetahuan perempuan adat. Seperti yagn dipaparkan Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Devi Anggraini, perempuan adat kini menjadi kelompok yang paling rentan dan menghadapi diskriminasi yang sangat dalam.

Hal itu ia paparkan dalam webinar seri 4, Festival Inklusif 100% bertema “Yang Tangguh, Tanpa Gaduh: Mendalami Kearifan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Adat Nusantara” pada Selasa, 22 September 2020. Devi memaparkan di sepanjang perjalanan gerakan masyakarat adat dan dalam pembangunan yang masuk ke wilayah-wilayah adat, sebenarnya perempuan adat adalah kelompok yang paling rentan. Mereka juga menghadapi praktik-praktik diskriminasi yang serius.

Melalui PEREMPUAN AMAN, mereka berjuang mengambil kembali ruang yang selama ini telah hilang dari tangan para perempuan adat. “Tidak ada pemberian yang cuma-cuma ketika kita berhadapan pada satu tindakan politik yang memberi pengaruh pada keberadaan dan martabat hidup sebagai manusia,” tandasnya.

Seperti yang terjadi di Kampung Rangan Kalimantan Timur, terlihat bahwa perusahaan sawit masuk dan menimbulkan kehancuran yang sangat besar. Perubahan ini menyebabkan kehilangan yang luar biasa besar bagi perempuan adat, seperti hancurnya kemandirian dan kedaulatan pangan, hancurnya pengetahuan perempuan adat, serta hilangnya ragam jenis pangan. “Dari satu yang sangat kaya, kemudian hilang dan berganti jadi satu komoditas. Perusakan di wilayah itu tidak hanya berdampak pada hilangnya wilayah atau hilangnya tempat mereka mencari makan. Berdasarkan survei kami, pemiskinan dan kemiskinan menghantui perempuan adat,” ungkapnya.

Kerusakan alam ini ikut andil dalam perampasan atas pengetahuan pengolahan sumber daya alamnya. Perempuan adat dimatikan kemandiriannya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahasa-bahasa yang mereka gunakan di dalam mereka menggunakan pengetahuannya pun hilang seiring dengan hilangnya seluruh wilayah yang dikelola perempuan adat. Para perempuan adat ini kehilangan tempat untuk mewariskan pengetahuan mereka kepada anak-anaknya ketika mereka berladang. Padahal sepanjang perjalanan menuju ladang, adalah ladang pengetahuan juga. “Mereka menceritakan tanaman, kegunaan dan bagaimana menggunakannya. Semua itu tersedia di alam selama mereka bisa menjaga dan mengelola dengan baik,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M. Syarif dalam paparannya menyampaikan harapan  agar hasil diskusi dalam webinar ini dapat digunakan sebagai langkah melestarikan lingkungan. Ia juga menegaskan bahwa kearifan lokal yang tersebar dari Sabang – Merauke dapat terpanggil untuk urun rembug, sehingga keterwakilan pemikiran masyarakat adat, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam betul-betul terwakili dan didengarkan.

“Kita tahu negara ini hadir karena keberagaman, negara ini hadir karena ada keinginan untuk bersama dan kita menciptakan kebersamaan itu dalam bentuk keragaman. Dalam keragaman itu ada puncak-puncak budaya yang perlu kita lestarikan, wariskan dan implementasikan khususnya dalam menjaga, mengelola sumber daya alam di Indonesia,” ucapnya. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!