25 C
Jakarta

Dunia Harus Tahu Persoalan Bangsa Palestina Belum Selesai

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Adara Relief Internasional kembali menghadirkan tokoh-tokoh pemuda Palestina untuk menceritakan kondisi negara tersebut sejak kaum zionis Israel menjajahnya. Kali ini Husammuddin Mahmud dan Syaima Abualatta berbagi cerita tentang Palestina melalui kegiatan International Solidarity Day for Palestine: Solidarity for Peace yang digelar melalui virtual, Ahad (29/11/2020).

Husam mengatakan meski deklarasi Balfour sudah 130 tahun lebih dan Resolusi 181 sudah berusia 73 tahun tetapi hingga kini persoalan yang dihadapi bangsa Palestina belum selesai.

“Dunia harus tahu bahwa persoalan yang menimpa bangsa kami belum selesai. Kami akan terus berjuang termasuk melalui media semampu kami,” kata Husam.

Ia mengemukakan beberapa alasan mengapa persoalan Palestina harus terus dikampanyekan. Pertama, bergabungnya Israel menjadi anggota PBB pada tahun 1949, memberikan syarat pada Israel untuk mematuhi resolusi 181 dan resolusi 194 dimana dibolehkan imigram Palestina kembali ke negaranya. Tetapi Israel tidak pernah mematuhi kedua resolusi tersebut.  Padahal penerimaan Israle sebagai anggota PPB diantaranya harus memenuhi syarat dua resolusi tersebut bukan karena layak sebagai anggota PBB.

Kedua, beberapa negara menjalin hubungan normalisasi dengan zionis Israel. Ini adalah pengkhianatan dan kejahatan pada Palestina. Mereka telah berkhianat terhadap surat Al Isra. Selain itu, mereka melakukan kejahatan moral, yaitu menumpahkan darah-darah anak Palestina yang mempertahankan tanah dan masjid-nya.

“Mereka juga melakukan kejahatan kemanusiaan, dimana pihak yang ikut serta menandatangani kesepakatan normalisasi telah bekerja sama dengan pembunuh, perampok dan perampas tanah Palestina,” lanjut Husam.

Bangsa Palestina telah menempuh jalur diplomasi dengan membawa kejahatan Israel ke dunia internasional. Walaupun Palestina tahu bahwa PBB tidak memberikan hak sesungguhnya pada Palestina.

“Kami tetap menunjukkan pada dunia bahwa kami tidak menyerah. Selain jalur diplomasi, kami pun memperjuangkannya secara fisik,” jelas Husam.

Diakui Husam, November memberikan dua catatan sejarah kelam bagi bangsa Palestina. Pertama adalah peristiwa pembelian ijin atau dukungan pemerintah Inggris terhadap Israel tahun 1917.  Pada saat itu Palestina masih menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Kesultanan Utsmaniyah, dan masyarakat Yahudi masih tergolong kaum minoritas di Palestina. Tragedi ini dikenal sebagai deklarasi Balfour.

Syaima Abualatta

Kemudian tragedi 29 November 1947 saat PBB mengeluarkan resolusi 181 yang membagi wilayah Palestina menjadi 3 bagian. Rinciannya wilayah untuk Palestina  meliputi 44,8% bagian, wilayah untuk Israel 54% bagian dan kota Al Quds menjadi status khusus di bawah hukum internasional. Resolusi ini mengusir secara paksa penduduk Palestina dari tanah kelahiran mereka. Pemukim Israel mencaplok tanah tersebut.  Dan ini adalah keputusan yang sangat dzalim.

Resolusi 181 diangap melanggar hukum internasional dimana resolusi ini dilakukan voting oleh 56 negara. 33 negara setuju, 13 negara menolak, 10 negara abstain termasuk Inggris. Resolusi 181 dianggap menyalahi konstitusi internasional, dimana mereka merebut/membatasi /melarang bangsa menentukan nasibnya sendiri.

Berdasarkan hukum internasional, kata Husam, PBB tidak memiliki hak untuk memberikan hak pada entitas baru dan mengusir penduduk dari wilayah tersebut. Tetapi yurisprudensi internasional menganggap resolusi 181 tidak mengikat, dan seharusnya tidak mengurangi hak-hak bangsa Palestina.

Dampak dari resolusi ini, pada tahun 1948 berdiri 2 wilayah secara hukum yaitu Palestina dan Israel. Dan mengakibatkan ada 800 ribu jiwa terusir, dari total 1,4 juta jiwa orang Palestina. Saat ini 13,4 juta jiwa (luar dan dalam Palestina). Dan pada tahun 2019 mencapai 5,6 juta jiwa tersebar di 58 camp pengungsian, di Yordania, Siria, Libanon, dan Gaza.

Setelah 70 tahun dari peristiwa pengusiran tersebut, banyak warga Palestina mati syahid, dan masih banyak yang bertahan di negerinya.

“Generasi sekarang tidak pernah lupa dengan peristiwa ini. Kami hanya punya 2 pilihan, yaitu  kemenangan dan merebut Palestina, atau syahid di jalan Allah,” tegas Syaima Abualatta.

Ia bersyukur bahwa banyak bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia terus menerus memberikan dukungan kepada Palestina.

Dalam kegiatan  International Solidarity Day for Palestine, Adara juga menghadirkan sejumlah aktivitis Palestina di Tanah Air. Diantaranya Jeffry Ronny dari Komunitas Assalamu’alaikum Palestina (Aspal) yang mengajak semua pihak, dari golongan apapun, agama apapun, untuk berjuang membela Palestina.

Ketua Umum Adara Relief Internasional Sri Vira Chandra

Risa Fitri, dari Komunitas Peduli Al Quds mengatakan persoalan Palestina bukanlah persoalan agama seperti yang selama ini masyarakat pikirkan. Palestina adalah masalah kemanusiaan dimana di negara tersebut banyak hak-hak masyarakat yang tidak dipenuhi, atau dilanggar oleh zionis Israel.

Karena itu juga mengajak semua masyarakat ambil bagian dalam perjuangan melawan penjajahan zionis Israel. “Palestina menjadi kilbat pertama orang Islam. Di tanah tersebut para nabi diturunkan,” katanya.

Dalam kesempatan tersebut Adara Relief Internasional juga mengumumkan hasil pengumpulan donasi yang digelar 25-29 November 2020 senilai Rp173.262.000. Jumlah donasi tersebut dipastikan akan terus bertambah dengan dibukanya lelang dua lukisan tentang Palestina melalui media sosial.

“ Palestina segera dilanda musim dingin. Kami masih menanti uluran tangan sahabat-sahabat Adara untuk memberikan bantuan berupa selimut, pakaian tebal dan berbagai makanan agar bangsa Palestina dapat melewati masa-masa sulit ini,” kata Ketua Adara Relief Internasional Sri Vira Candra.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!