YOGYAKARTA, MENARA62.COM — Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) ikut bertanggung jawab dalam mencerahkan dan mencerdaskan bangsa. Selain itu, PTMA juga berupaya agar masyarakat tidak keliru dalam menyikapi radikalisme yang selama ini dianggap menjadi permasalahan besar bangsa Indonesia.
Demikian diungkapkan Dr Gatot Sugiharto SH, MH, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada pembukaan Seminar Nasional Daring ‘Pencegahan Radikalisme di Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA)’ Rabu (16/12/2020). Seminar diselenggarakan Biro Kemahasiswaan dan Alumni (Bimawa) UAD bekerjasama dengan Majelis Tabligh PP Muhammadiyah.
Seminar ini menghadirkan pembicara H Fathurrohman Kamal Lc, MSI (Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah) dan Dr Yoyo MA (Kaprodi Fakultas Bahasa dan Sastra Arab UAD). Sedang moderator Rahmadi Wibowo Lc MA, Kepala Bidang Pendidikan Al Islam dan Kemuhammadiyahan UAD.
Lebih lanjut Gatot Sugiharto mengatakan radikalisme sering dikaitkan dengan faham-faham tertentu. Sehingga ini menjadi problem yang sangat serius. Namun pertanyaannya adalah apakah benar demikian?
Kata Gatot, mengutip pernyataan Prof Dr KH Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat pengukuhan guru besar, untuk menumpas radikalisme tidak bisa dilawan dengan radikalisme pula. Tetapi dilakukan dengan tindakan yang moderat. “Sehingga beliau mengusulkan menggunakan moderasi untuk menggantikan deradikalisasi yang selama ini dipakai negara,” kata Gatot.
Berdasarkan pidato Haedar Nashir, Gatot menyimpulkan sebenarnya ada yang salah dalam penanggulangan radikalisme. Karena itu, ia mengusulkan agar perlu ada redifinisi radikalisme.
“Redifinisi radikalisme sebagai titik awal kita berpikir. Sehingga tidak terjadi meradikalkan satu sama lain. Dengan standar definisi saya kira akan lebih mudah untuk mengatakan bahwa tindakan radikal yang dilakukan oleh orang tertentu atau kelompok tertentu tidak menjadi problem. Selanjutnya ini dapat diperoleh sebuah pemahaman yang sama istilah radikal dan radikalis,” kata Gatot.
Sementara Fathurrohman Kamal menegaskan untuk merespon fenomena ekstremisme keagamaan tidak bisa dengan langkah ekstrim atau langkah-langkah radikal yang baru. Sebab langkah-langkah itu berada di domain politik. Sedang persoalan radikal di masyarakat bagian yang tidak bisa dilepaskan dengan model atau gaya keagamaan.
“Kalau arus ekstrimisme keagamaan diselesaikan dengan langkah-langkah yang sangat politis, tidak pernah akan berakhir. Selain itu, diksi deradikalisasi ini memberikan kesan seolah-olah semua umat Islam di Indonesia terstikma sebagai radikal. Padahal tidak,” kata Fathurrohman.
Salah satu contohnya, Muhammadiyah jauh dari stikma keberagamaan ekstrim. Karena itu, Muhammadiyah menawarkan jika terjadi radikalisasi, pemerintah harus melakukan zonasi. Sebab radikal dan ekstrimisme tidak terjadi di semua wilayah. “Pemerintah bisa melakukan zonasi, sehingga penerapan ‘penanggulangan radikalisme’ terukur,” katanya.
Saat ini, lanjut Fathurroman, Muhammadiyah menawarkan satu solusi. “Kita tidak melakukan deradikalisasi, sebagai antitesa dari pada radikalisme. Tetapi Muhammadiyah menawarkan pengarusutamaan moderasi beragama,” tandasnya.