25.9 C
Jakarta

Bacalah!

Baca Juga:

‎‘Abd al-Karim al-Khathib dalam karyanya Al-Tafsir al-Qur’ani li al-‎Qur’an menukil sebuah riwayat hadis dari al-Bukhari. Dalam Shahih-nya, al-‎Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra. yang mengatakan, “Wahyu pertama ‎yang sampai kepada Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar ( al-ru’ya al-‎shadiqah). Beliau tidak pernah bermimpi kecuali hal itu datang seperti cahaya ‎Shubuh.

Sejak saat itu beliau senang berkhalwat. Beliau datang ke gua Hira ‎dan menyendiri di sana, beribadah (tahannuts) selama beberapa malam. ‎Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian kembali ke Khadijah dan ‎membawa bekal serupa. Sampai akhirnya dikejutkan oleh datangnya wahyu ‎‎(al-haqq), saat beliau berada di gua Hira. Malaikat (Jibril) datang kepadanya ‎dan berkata, “Bacalah!” Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” ‎Kemudian Rasulullah SAW berkata, “Lalu di merangkulku sampai terasa sesak ‎dan melepaskanku. Ia berkata, ‘Bacalah!’ Aku katakan, ‘ Aku tidak bisa ‎membaca.’ Lalu di merangkulku sampai terasa sesak dan melepaskanku. Ia ‎berkata, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia ‎telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah ‎yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia ‎mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (HR. Al-Bukhari).‎

Para ulama sepakat bahwa kelima ayat surat al-‘Alaq tersebut ‎merupakan wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kepada ‎Rasulullah SAW.

Dari rangkaian ayat tersebut dapat dipahami bahwa ‎perintah pertama yang diserukan Allah kepada Rasulullah dan juga umat ‎manusia adalah “membaca”. Ya, membaca dalam pengertian yang ‎seluas-luasnya. Membaca ayat-ayat yang tersurat dan ayat-ayat yang ‎tersirat. Para ulama membagi dua kategori ayat yang harus dibaca dan ‎dikaji oleh umat manusia, yaitu ayat-ayat qauliyah/kitabiyah berupa teks ‎al-Qur’an, dan ayat-ayat kauniyah, yaitu seluruh fenomena alam yang ‎terhampar di jagat raya ini. ‎

Komaruddin Hidayat, dalam Buku Agama Punya Seribu Nyawa ‎menambahkan, selain ayat-ayat kitabiyah dan kauniyah, juga penting bagi ‎kita membaca ayat-ayat nafsiyah, yaitu wahyu yang tertulis di dalam diri ‎manusia, dan juga ayat-ayat ijtima’iyah-tarikhiyah, yaitu wahyu yang bekerja ‎melalui hukum sejarah.‎

Perintah “membaca” pada ayat tersebut juga bisa dimaknai bahwa ‎setiap manusia harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan. Setiap ‎manusia harus berusaha untuk melepaskan diri dari kebodohan. Karena untuk ‎dapat memahami hakekat dirinya, lebih-lebih hakekat Tuhannya, maka ‎seseorang harus memiliki bekal pengetahuan yang cukup. Tanpa ilmu ‎pengetahuan, seseorang tidak akan mampu memahami hakekat dirinya, lebih-‎lebih hakekat Tuhannya. Tanpa Ilmu pengetahuan, seseorang akan menjalani ‎kehidupan di dunia ini tanpa arah dan tujuan yang jelas.‎

Salah satu cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan adalah melalui ‎aktivitas membaca. Ya, dengan membaca buku, maka terbukalah wawasan ‎seseorang. Dengan membaca dan mengkaji fenomena alam, tersingkaplah ‎segala ‘misteri’ yang ada di jagat raya ini. Singkatnya, membaca membuka ‎cakrawala pengetahuan kita. Maka tepat jika ada ungkapan menyebutkan, ‎membaca, membuka jendela dunia.‎

Landasan teologis yang ditunjukkan rangkaian ayat di atas ‎menegaskan betapa pentingnya aktivitas membaca. Membaca dalam makna ‎yang luas, seperti dijelaskan oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya, ‎Membumikan Al-Quran. Menurutnya, kata iqra dalam ayat tersebut, yang ‎berarti bacalah! (perintah membaca), terambil dari kata qara’a yang ‎mengandung arti: menghimpun, menelaah, membaca, meneliti dan ‎mendalami. ‎

Dengan demikian, membaca adalah langkah kita untuk menelaah, ‎meneliti serta mendalami ilmu pengetahuan yang tersebar di muka bumi ini. ‎Budaya membaca akan menuntun kita pada kedewasaan berpikir, bersikap dan ‎bertindak. Dengan membaca, jiwa kita dipenuhi oleh cahaya ilmu, pancaran ‎pengetahuan dan pendaran sinar informasi.‎

Aktivitas membaca ini akan bernilai tinggi dan membawa manfaat serta ‎keberkahan jika dilandasi oleh nilai-nilai spiritual. Dalam redaksi ayat di atas, ‎membaca harus disandarkan atas nama Tuhan. Memulai bacaan dengan ‎menyertakan Tuhan sebagai pijakan awal, akan memberikan ketenangan dan ‎kedamaian. Ilmu pengetahuan yang kita pelajari harus dilandasi oleh nilai-nilai ‎spiritualitas. Sebab, jika ilmu pengetahuan yang kita kaji dilepaskan dari nilai-‎nilai spiritualitas, maka yang akan lahir adalah ilmuwan-ilmuwan arogan, yang ‎merasa apa yang mereka pahami hanya bersumber pada logika serta ‎rasionalitas mereka semata. Maka, berpagi-pagi al-Qur’an mengingatkan, ‎‎“Bacalah dengan nama Tuhanmu…” ‎

Ruang Inspirasi, Selasa, 29 Desember 2020.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!