JAKARTA, MENARA62.COM – Fungsi perpustakaan di sekolah masih belum optimal. Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno, sebagian besar perpustakaan sekolah masih seperti gudang penyimpanan buku.
“Kondisi seperti ini kita jumpai di banyak sekolah. Perpustakaan yang semestinya menjadi tempat untuk siswa meningkatkan literasi baca, ternyata masih seperti gudang buku, tempat menumpuk dan menyimpan buku,” kata Totok saat menjadi pembicara pada Rakornas Bidang Perpustakaan Tahun 2021, Senin (22/3/2021).
Menurut Totok, belum berfungsinya dengan baik perpustakaan sekolah dipicu oleh berbagai faktor. Di antaranya jam istirahat siswa yang terbatas hanya 15 menit sehingga tidak memiliki kesempatan berkunjung ke perpustakaan, kurangnya koleksi bahan bacaan yang memadai, tidak adanya manajemen pengelolaan perpustakaan yang baik dan sebagainya.
“Siswa ke perpustakaan hanya untuk kepentingan penugasan atau pinjam buku teks pelajaran, tidak lebih,” lanjutnya.
Padahal jelas Totok, perpustakaan merupakan unit yang dapat dimanfaatkan oleh warga sekolah baik siswa maupun guru untuk meningkatkan literasinya. Dalam berbagai survei tentang kebisaaan membaca menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa berkontribusi positif terhadap kemampuan membaca dan memahami mata pelajaran. Siswa dengan literasi yang baik akan memiliki kemampuan dalam menarik logika, memaknai sesuatu yang tidak terulis dari sebuah teks bacaan.
Diakui Totok, saat ini kondisi literasi masyarakat Indonesia termasuk siswa umumnya masih rendah bahkan sangat memprihatinkan. Kendalanya multi kompleks mulai dari budaya baca yang rendah, suplay dan demand buku, sarana dan prasarana yang kurang memadai, akses terhadap buku bacaan bermutu yang masih rendah dan lainnya.
Kondisi tersebut semakin memprihatinkan dengan munculnya pandemi Covid-19. Dalam proses belajar yang dilakukan dari jarak jauh (PJJ), tidak banyak orang tua yang bisa memberikan pendampingan belajar secara optimal kepada anak-anaknya karena kesibukan bekerja.
Perpustakaan dukung Merdeka Belajar
Kebijakan Merdeka Belajar yang diluncurkan Kemendikbud lanjut Totok diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi persoalan literasi ini. sebab dalam konsep Merdeka Belajar, bahan ajar memiliki lingkup yang sangat luas. Dan perpustakaan ini memegang peran yang langsung dan penting untuk memfasilitasi guru-guru, memfasilitasi anak yang ingin melakukan pembelajaran, baik secara mandiri atau secara guided oleh pendidiknya.
“Dan alangkah baiknya untuk mendukung ini jika para pustakawan, information scientist, juga bisa terlibat dalam perencanaan perancangan pembelajaran oleh guru,” lanjut Totok.
Dengan demikian, pustakawan tidak sekadar melakukan manajemen perpustakaan, tetapi juga melakukan, memberikan inspirasi, dan mendukung manajemen pembelajaran. Tidak hanya dalam perencanaan terkait buku apa yang dibaca nanti, tapi juga pelayanan ketika pembelajaran sedang terjadi, ketika guru menugaskan anak untuk melakukan pembacaan mengerjakan tugas-tugas bacaan.
Pemerintah, jelas Totok juga melakukan relaksasi terhadap data Bantuan Operasional yang diterima oleh sekolah. Kebijakan terakhir adalah memberikan fleksibilitas agar sekolah-sekolah bisa membeli buku, baik buku teks atau buku bacaan yang berguna untuk anak sesuai dengan usia bacanya tentunya.
“Kalau dulu masih dibatasi untuk buku teks, buku bacaan 20 persen. Sebelumnya sangat kecil. Sekarang kalau di sekolah itu menjadi priotitas pembelajaran dan kita dorong bahwa yang sekarang utama adalah kualitas pembelajaran. Maka silakan BOS digunakan tidak hanya 20% tapi boleh lebih,” tukas Totok.
Sesuai Permendikbud Nomor 8 Tahun 2000 dan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2001 tentang petunjuk teknis BOS, pada 2020 dan 2021 alokasi untuk pembelian buku teks dan bacaan lainnya dihilangkan, tidak ada lagi ketentuan alokasi maksimum. “Namun, tujuannya tetap sama, selain memenuhi kebutuhan buku teks guru dan siswa, juga dianjurkan membeli buku bacaan untuk mendukung kegiatan literasi,” tandas Totok.