Oleh : Ace Somantri
BANDUNG, MENARA62.COM – 114 tahun silam Muhammadiyah lahir dan berdiri di tengah keterpurukan dan kedhu’afaan, baik dhu’afa sosial, politik dan ekonomi kesejahteraan. Kondisinya sangat memprihatinkan, sehingga hadirnya pelopor gerakan sosial KH. Ahmad Dahlan bak obor dalam kegelapan malam, pun sama kehadiran KH.Hasyim Asy’ari memberi harapan umat merdeka dari penindasan kolonialis. Mereka berdua tokoh kunci gerakan Islam di tanah ibu pertiwi, berabad-abad ada dalam cengkraman bangsa lain yang penuh dengan kelaliman dan penindasan, jiwa dan raga pribumi tak berarti bagi mereka bak hewan piaraan.
Dengan semangat jihad amar ma’ruf nahi munkar kala itu, telah menjadi momentum untuk melakukan perlawanan terhadap bentuk apapun penindasan. Semoga amal mereka berdua bukan hanya bergelar pahlawan melainkan mereka layak menjadi tokoh Asia bahkan dunia, karena gagasan dan idenya mampu menjelma dalam entitas sosial besar yang bertahan dan menyebar ke seantero belahan dunia. Jutaan umat manusia cerdas telah lahir dari rahim Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menyebar ke berbagai pelosok negeri hingga ke desa-desa dan perkampungan di mana ada kehidupan komunitas manusia.
Muhammadiyah sebagai kakak kandung biologis sosial dari NU, diakui atau tidak harus memberi contoh hal baik-baik kepada adiknya, karena apapun alasannya Muhammadiyah lahir lebih dulu. Dengan pengalaman panjang dan makan garam bagi dua ormas Islam besar, pahit manis menghadapi tantangan dan hambatan yang tidak terkira, sehingga banyak mengorbankan jiwa dan raga, tak terhitung jumlahnya berapa para syuhada yang meninggal dalam perjalanan jihad menegakkan kalimat tauhid dalam ajaran Islam.
Terlepas NU sebuah ormas Islam yang terkenal sangat kuat kulturalnya, bukan berarti mereka terbelakang melainkan lebih pada mengayomi masyarakat muslim yang masih memiliki kekuatan budaya pribumi lokal, entisitasnya kental dengan tradisi sosial yang diwarisi nenek moyangnya. Namun yang paling penting, entitas pesantren sebagai institusi keagamaan Islam telah memberi warna pada faham keagamaan Islam lebih soft dan berkontribusi pada pembangunan manusia melalui pendidikan pesantren ( Islamic boarding) yang kuat dengan ideologisasi Islam di masyarakat secara terbuka tanpa sekat batas status sosial. Sekalipun pesantren identik dengan sarungan, hal itu menjadi khas yang unik akan sebuah budaya lokal yang mentradisi.
Sementara Muhammadiyah, dengan trademark sekolah dan rumah sakit atau klinik telah menjadi branded tersendiri. Bukan saja identik, melainkan satu kesatuan dalam tubuh organisasi persyarikatan Muhammadiyah. Hal itu dikarenakan setiap institusi pendidikan dan kesehatan dibawah kendali dan pengawasan entitas besar persyarikatan Muhammadiyah. Beda dengan adiknya, rata-rata kecenderungan penyelenggaraan pendidikan dan pesantren dibawah entitas yayasan masing-masing dibawah kendali dan pengawasan segelintir pengurusnya, dan biasanya piguristik tokoh agama atau sang Kiyai. Kalau boleh diibaratkan, dalam perspektif bisnis dalam penyelenggaraan amal usaha di Muhammadiyah lebih dekat dengan holding company dan NU lebih dekat model franchise.
Perbedaan konsep pengembangan dakwah amar ma’ruf nahi munkar catatan, karena fakta sosial terindikasi ada gap yang cukup jauh para elit pimpinan ornas Islam dengan warganya, terlihat dengan kasat mata pada posisi status sosial yang jomplang. Rata-rata elit pimpinan kedua ormas Islam tersebut secara material termasuk golongan kelompok masyarakat aghniya. Wajar saja, jikalau momentum permusyawaratan regenerasi pimpinan ada indikasi terjadi keriuhan saling bersaing untuk duduk dikursi elit puncuk pimpinan organisasinya.
Kesejahteraan ekonomi ormas Islam terbesar, dilihat pendekatan manajemen aset. Antara Muhammadiyah dengan NU banyak mana? Jawabannya pasti Muhammadiyah lebih banyak karena seluruh aset adalah milik entitas persyarikatan Muhammadiyah. Sementara di NU lebih sedikit, karena asetnya rata-rata milik para tokoh kiyai atau ustadz yang dikendalikan oleh beberapa orang seminimal mungkin. Sehingga pesantren yang mengklaim dari NU tersebar di berbagai lokasi di daerah, relatif dipastikan asetnya bukan milik organisasi.
Jauh lebih sulit NU dari pada Muhammadiyah ketika bicara kesejahteraan, karena Pesantren yang berafiliasi ke NU rata-rata milik entitas-entitas yayasan pribadi. Muhammadiyah harapan dan peluangnya lebih besar untuk bicara kesejahteraan karena Muhammadiyah dapat mengendalikan seluruh asetnya. Termasuk pola kepemimpinan, NU lebih sentralistik dan figuristik tokoh yang berdampak pada kekuatan personal segala kebijakannya. Muhammadiyah dengan pola kolektif kolegial mengurangi pola dominasi personal. Maka kesejahteraan tetap menjadi tujuan utama di dunia bagi orang dewasa untuk bersepakat untuk adanya peningkatan pada kesejahteraan warga dan masyarakat.
Ormas Islam terbesar, yakin dan sangat penuh harap melalui gerakan sosial, politik, ekonomi dan gerakan lainnya mampu memberi kontribusi nyata bukan hanya memperbanyak aset namun tidak mensejahterakan para pejuangnya, karena kesejahteraan meningkatkan kualitas keikhlasan para penggerak, hal itu pun akan membawa dirinya selamat dunia akhirat. Kesejahteraan akan meningkatkan dan memperbaiki kualitas keturunan, regenerasi biologis mahluk hidup ada pada kualitas kesejahteraannya. Kiranya penting direnungkan, bagi para elit pimpinan di kedua ormas Islam terbesar semestinya tidak terus-menerus menceramahi warganya, melainkan saatnya turun gunung memberikan advokasi untuk peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonominya, karena fakta dan data masih banyak warganya yang masih dibawah garis kemiskinan atau dhuafa segala hal. Insya Allah dan yakin, Muhammadiyah dan NU memiliki treatment yang jitu dan akurat untuk menggerakan, memperbaharui, mencerahkan dan memberdayakan. Aamiin. Wallahu ‘alam
Bandung, Pebruari 2023