YOGYAKARTA, MENARA62.COM – Masih adanya pemahaman keagamaan yang mendiskriminasi perempuan dan berasal dari penafsiran secara tekstual atas teks keagamaan. Hal tersebut diungkapkan Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat membuka Global Conference on Women’s Rights in Islam di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (14/5/2024) yang diikuti oleh peserta dari berbagai negara.
“Islam adalah agama yang memiliki keberpihakan pada perempuan dan syariat Islam mendorong peran aktif serta kesetaraan laki-laki dan perempuan,” tegas Mu’ti.
Lebih lanjut Mu’ti memaparkan berbagai contoh tentang pemahaman atas teks keagamaan yang keliru. Salah satunya bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk adam dan dijadikan dasar untuk mendiskriminasi perempuan. Ia lantas menyebut pandangan Hamka dan Quraisy Syihab, yang melihatnya sebagai kiasan untuk memahami perempuan dan menempatkan perempuan sebaik-baiknya, bukan menjadikannya sebagai dasar mendiskriminasi perempuan. Padahal, jika memahami lebih dalam ajaran Islam, maka akan mendapati bahwa Islam sangat memuliakan perempuan. Dan kenyataanya sejak jaman Nabi Muhammad saw, perempuan telah banyak mengambil peran penting dan berkiprah di ranah publik hingga politik. Termasuk Aisyah r.a yang dikenal sebagai perempuan cerdas dan juga perawi hadits terbanyak setelah Abu Huraira atau ‘Abdurrahman bin Shakhr ad Dausi.
“Jika ada yang memandang bahwa tingkat intelektualitas perempuan lebih rendah dari laki-laki, maka realitasnya, ‘Aisyah merupakan istri nabi yang paling banyak meriwayatkan hadis yang menunjukkan kecerdasannya,” tegas Mu’ti.
Muhammadiyah disebut Mu’ti sebagai organisasi yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad juga mendorong perempuan untuk berkiprah di ranah publik dengan mendirikan ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan Islam yang terinspirasi dari sosok Aisyah r.a. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah telah memberikan perhatian pada kesetaraan perempuan dan pemberdayaan perempuan. ‘Aisyiyah, terang Mukti, berdiri saat perempuan Indonesia mengalami diskriminasi dan domestifikasi yang sebenarnya tidak sejalan dengan ajaran Islam. Kehadiran ‘Aisyiyah, imbuh Mukti, justru untuk mewujudkan kesetaraan laki-laki dan perempuan sebagaimana menjadi ajaran Islam.
Oleh karena itu Muhammadiyah yang berarti pengikut Muhammad, ungkap Mu’ti, harus terus melanjutkan misi Nabi Muhammad yang memuliakan perempuan tanpa diskriminasi.
Dalam kesempatan tersebut, Mu’ti menekankan pentingnya kita mengusung kemuliaan perempuan (women dignity) selain hak perempuan. Pemuliaan perempuan sejalan dengan ajaran Islam tentang ketakwaan bahwa semua makhluk di hadapan Allah setara dan kemuliaan ditentukan oleh kualitas ketakwaannyaya. “Dalam Islam, manusia yang terbaik adalah mereka yang memiliki ketakwaan yang baik. Tidak dilihat dari segi fisik atau materialnya,” tegasnya. Laki-laki dan perempuan disebut Mu’ti juga harus bekerja bersama dan saling menguatkan satu sama lain dan mewujudkan apa yang disebutnya martabat manusia. (*)