31.6 C
Jakarta

Ada Fatwa MUI, Tetapi Konten Negatif Media Sosial Masih Marak

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM– Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan fatwa tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui media sosial. Dalam Fatwa MUI nomor 24 tahun 2017 tersebut jelas digariskan bahwa  setiap muslim yang bermuamalah lewat media sosial diharamkan melakukan ghibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain), fitnah, namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan.

MUI juga mengharamkan aksi perundungan, ujaran kebencian, serta permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan.

Tetapi meski fatwa sudah diterbitkan, media sosial dengan konten negatif yang mengandung unsur-unsur yang diharamkan masih terus bertebaran didunia maya.

“Bahkan MUI pernah menjadi salah satu korbannya. Belum lama ini ada pihak yang mengatasnamakan MUI mengeluarkan fatwa tentang haram mengibarkan bendera dihalaman masjid. Seolah-olah MUI berfatwa demikian,” tutur  Ketua bidang Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Masduki Baidlowi di sela seminar nasional Menagih Langkah Nyata Industri Telekomunikasi dan OTT Menghadapi Dampak Negatif Media Sosial yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF),  Senin (28/8).

Masduki mengingatkan untuk bersosial dengan bijak, masyarakat utamanya ummat Islam harus merujuk pada Qur’an Surat Al Hujurat ayat 6 dimana disebutkan bahwa setiap berita harus dicek kebenaran beritanya.

“Kami mengajak lembaga-lembaga lain untuk bekerja sama meniadakan konten negatif yang berujung pada keresahan masyarakat tersebut,” tambah Masduki.

Sementara itu, Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Agung Harsoyo mendorong perlunya sinergi semua pihak dan lembaga dalam menanggulangi konten media sosial yang negative.

“Saat posting harus disadari apabila itu sudah menjadi keabadian. Jadi kalau disambar orang lain ya jelas mudah,” kata Agung Harsoyo, Komisioner BRT.

Sehingga ia mengingatkan bahwa sebelum diposting di media sosial, seseorang harus memikirkan dampak luas yang akan terjadi dari postingannya tersebut. Karena bisa saja, begitu konten diposting, ada pengguna media sosial lain yang menyambar dan meng-copynya.

Pihaknya juga mendorong pemerintah agar segera memperbaiki aturan registrasi pelanggan telekomunikasi. Diantaranya memberlakukan IPv6 sebagai digital identity untuk memudahkan tracking pengguna internet yang negative.

Sementara itu Agung Yudha, Public Policy Lead Twitter Indonesia mngingatkan agar setiap pengguna sosial media membaca aturan layanan.

“Membaca rules and term of services sebelum menggunakan layanan, karea disitu ada aturan tentang conservation yaitu ketika posting itu sudah menjadi konsumsi publik,”katanya,” tambahnya.

Senada juga dikatakan Deva Rahman, Group Head Corporate Communications Indosat Ooredoo Tbk. Media sosial menurutnya ibarat pedang bermata dua karena dapat banyak bermanfaat bagi penggunanya tapi dapat pula digunakan untuk menyebarkan hal-hal negatif.

“Kita harus menjadi masyarakat yang lebih kritis, bijak, dan selalu cross check terhadap informasi yang kita terima,” kata Deva Rachman.

Karena itu pihaknya juga ikut berpartisipasi mendidik masyarakat dengan kampanye #Bijaksosmed melibatkan anak-anak muda yang kini menjadi sasaran aktif media sosial.

Sebagai lembaga, ITF mendorong penuh kontribusi industri telekomunikasi dan pelaku OTT untuk menggagas dan membedah etika dan budaya bermedia sosial yang lebih bijak dalam konteks ke Indonesiaan, sehingga diharapkan ada tatanan baru dalam penerapan etika bermedia sosial yang sesuai budaya Indonesia. Perlu ada kesepakatan mengenai etika bersosial media karena untuk payung hukum maupun fatwa sudah tersedia. Sosialisasi gerakan etika bersosial media harus menjadi gerakan nasional yang masif dan  selalu diingatkan kepada pengguna media sosial di Tanah Air.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!