Oleh : Ace Somantri
BANDUNG, MENARA62.COM – Perhelatan regenerasi pimpinan hal mutlak terjadi, melalui permusyawaratan ajang adu gagasan dan ide bukan untuk kompetisi membangun narasi kalah menang, melainkan memelihara tradisi berpikir kritis-konstruktif. Muhammadiyah organisasi sudah makan garam, jam terbangnya sudah mendunia. Globalisasi tidak terhindari, sekat batas ruang dan waktu dalam teritori sudah hampir tidak ada, apalagi para pembisnis dunia baginya tidak ada negara dan bangsa melainkan hanya ada pasar dan konsumen. Namun juga tidak bisa dihindari, regenerasi manusia terus terjadi melalui ledakan penduduk memenuhi populasi. Muhammadiyah melalui gagasan produktif sang kreator KH. A. Dahlan, lahir dan berdiri tegak kokoh tidak ada yang mampu merobohkan, sekalipun kekuatan politik kekuasaan menghabisi. Namun, semua itu justru membangkitkan spirit dan motivasi super energik. Tidak peduli harta dan jiwa menjadi taruhannya, risalah Islam harus mampu memberi solusi.
Kenapa gagasan KH. A. Dahlan konsisten atau istiqomah dalam menggerakan masyarakat hingga mampu bangkit bergerak melawan ketidakadilan, memperbaharui faham-faham ajaran Islam yang berkemunduran penuh dengan kesyirikan animisme dan dinamisme serta kesyirikan pragmatisme dan hedonisme. Mencerahkan masyarakat umum maupun warga persyarikatan terpelajar yang terpapar skeptisisme terhadap fenomena ajaran yang berkembang, baik itu faham bersumber madzab atau aliran, atau faham Islam sempalan. Karena dengan pencerahan akan memotivasi dan menginspirasi untuk mengubah diri setelah mengerti dan memahami apa yang seharusnya yang diubah dalam dirinya. Memberdayakan, karena masyarakat secara faktual masih banyak yang dhu’afa ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik. Sehingga mereka membutuhkan sentuhan dan pendampingan untuk lebih berdaya yang memanusiakan, dan berharap membuat dirinya semakin percaya diri dan bangkit dari kelemahannya.
Bagaimana kondisi hari ini para penggerak Muhammadiyah di abad kedua, sudahkah mengambil dan menjemput peradaban yang memajukan dan mensejahterakan? Kiranya sangat penting dicatat dalam program taktis dan strategis pada momentum permusyawaratan di berbagai level pimpinan persyarikatan. Hanya muncul pertanyaan selama ini, konsep dan gagasan brilian yang sangat strategis itu hanya ada dalam wacana belaka, karena faktanya data-data tersimpan rapih dalam lemari kerja persyarikatan. Para pimpinan yang hebat penuh gelar akademik, mereka sibuk di kampus masing-masing atau di mana pimpinan bekerja. Pengkhidmatan di persyarikatan sangat-sangat terbatas, apalagi pimpinan memiliki jabatan strategis di tempat kerjanya sudah dipastikan tidak punya waktu untuk berjibaku di Muhammadiyah dan hanya nama saja terpampang.
Kesediaan waktu di Muhammadiyah harus menjadi prioritas, bukan sisa dari sisa waktu yang diberikan kepada Muhammadiyah. Apalagi hanya untuk menjadi kendaraan kepentingan pragmatis dan politis, itu merupakan perbuatan hina dan menghinakan. Pimpinan ke depan bukan banyak gelar akademik, melainkan pimpinan yang peduli dan peka pada wilayah, daerah, cabang dan ranting. Pimpinan bukan pula peduli pada amal usaha yang besar dan maju, melainkan yang peduli pada amal usaha yang kecil dan miskin. Pimpinan bukan yang hanya bicara dari mimbar ke mimbar memberi sambutan dan gunting pita peresmian melainkan berbuat nyata menata bersama anggota jamaah merasakan panas terik matahari dan dinginnya basah guyuran hujan. Pimpinan bukan banyak berkata basa-basi dengan jari telunjuk tangan menunjuk ini dan itu, melainkan turun urun rembuk ikut berkeringat dengan tenaga untuk bekerja apa yang harus diangkat dan diambil.
Adakah waktu penuh bagi pimpinan untuk berbuat hal ihwal yang dijelaskan di atas? Apapun dalilnya, sekalipun katanya pimpinan itu cukup “job delegation” dapat dikatakan benar apabila sistem operasional berjalan dengan baik. Harus diakui dan disadari, di Muhammadiyah hampir dipastikan keumumannya hanya dipandang oleh para warga dan pengurus persyarikatan bahwa Muhammadiyah sebagai entitas sosial nirlaba tidak wajib berjibaku totalitas, jadi tidak jadi masalah hanya paruh waktu, sewaktu-waktu dan sisa dari sisa waktu. Faktanya benar ada dan dirasa, bermuhammadiyah saat ini hanya untuk menambah curiculum vitae dan menambah branding diri, bahkan terindikasi ada tujuan tertentu yang terselubung di antaranya untuk menambah amplop dan personal positioning pada publik. Sehingga menggeret posisi tawar dirinya lebih dihargai dan dihormati. Anggapan itu hanya perkiraan saja sesuai indikasi yang muncul, kalaupun tidak demikian tidak mesti tersinggung apalagi marah.
Waktu sangat berharga, tidak dapat ditukar dengan uang berapapun kecuali kita dijajah oleh waktu sehingga sangat murah nilai tukarnya. Bermuhammadiyah menghargai waktu sangat mahal harganya, karena ketika bermuhammadiyah sudah pasti berbangsa dan bernegara. Pasalnya pendekatan historis dilihat faktanya banyak tokoh Muhammadiyah menjadi kunci pelopor kemerdekaan, pengisi pasca kemerdekaan serta membangun orde lama, orde baru dan orde reformasi. Artinya, saat ini pimpinan persyarikatan di berbagai level bukan ramai-ramai terjebak pada paket pimpinan yang khawatir terpapar hawa nafsu like and dislike dan mengabaikan objektifitas dan rasionalitas. Siapapun yang bermuhammadiyah seharusnya berpikir dan berkarya mengedepankan rasionalitas dan objektifitas, rumusan beragama Islam dalam implementasinya menggerakkan, memperbaharui, mencerahkan dan memberdayakan.
Waktu tidak akan pernah kembali, kekecewaan dan kekesalan tidak boleh dipelihara dan disimpan dalam hati, karena akan menumbuhkan kebencian. Hujan kritik jangan dianggap benci, itu bentuk peduli dan sayang. Namun, harus sadar diri senantiasa untuk evaluasi dan introspeksi diri sekiranya ada hal yang harus diperbaiki maka segera diperbaiki sesuai kesalahannya. Hindari untuk niat membalas karena sakit hati, apapun alasannya perilaku balas dendam tidak akan memperbaiki melainkan akan menumbuhkan sifat iri dan dengki menjadi sifat yang mengingkari ajaran Ilahi rabbi. Banyak catatan dalam hidup, apalagi manakala diberi amanah pimpinan dalam organisasi semakin berlipat catatannya, khususnya catatan pertanggungjawabannya.
Siapapun mereka selama memiliki kartu anggota, mengikuti pengkaderan di ortom atau di induk persyarikatan, ikut aktif terstruktur dari level ranting, cabang, daerah hingga level di atasnya, memiliki jam terbang bermuhammadiyah, banyak karya dan cipta bagi Muhammadiyah yang monumental, serta kehadirannya dapat dirasakan oleh persyarikatan. Tentunya reputasi skill leadership menjadi acuan untuk memberikan rekomendasi regenerasi kepemimpinan. Mereka semua berhak dan layak untuk didaulat menjadi pimpinan sesuai kapasitasnya. Terlebih Muhammadiyah menganut budaya kepemimpinan kolektif kolegial. Semoga para pimpinan ke depan memiliki waktu bermuhammadiyah yang baik dan benar sesuai kaidah persyarikatan Muhammadiyah. Keberlangsungan hasil perjuangan KH.A.Dahlan dapat ditingkatkan berlipat-lipat, sehingga mampu mempengarahui masyarakat dunia. Aamiin Wallahu’alam.
Bandung, Pebruari 2023