Pada 2018 silam, Komisi Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika kembali menyelenggarakan forum dialog dan literasi media sosial di 16 kota besar di seluruh Indonesia. Penyelenggaraan acara ini bertujuan mengendalikan maraknya konten negatif di dunia maya yang kian panas dalam beberapa tahun belakangan. Dalam acara tersebut, peserta juga diajak untuk memperbanyak konten-konten positif di dunia maya. Sebagai lembaga yang bertugas melindungi agama (himayatud diin), melindungi umat (himayatul ummah) dan melindungi tanah air (himayatul wathon), MUI memiliki kewajiban untuk menanggulangi ancaman dari dunia siber. Dengan semakin melonjaknya pengguna internet di Tanah Air, sejatinya menjadi beban yang kian berat jika hanya dipikul oleh satu atau dua lembaga. Tidak cukup hanya MUI dan Pemerintah yang harus dibebani atas persoalan ini. Semua pihak harus terlibat aktif menghadapi tantangan yang kian deras akibat pesatnya kemajuan teknologi informasi.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat lebih dari 143 juta pengguna aktif di internet pada 2017. Dari data itu, mereka yang menghabiskan waktu di media sosial hampir mencapai 70 persen. Jika satu persen saja yang mereka unggah adalah materi negatif (ujaran kebencian, radikalisme, pornografi, hoax, fitnah dan adu domba), maka ada sekitar satu juta konten negatif di media sosial setiap hari yang bisa saja viral ke seantero jagad maya. Dilihat dari perspektif pertahanan negara, tentu hal ini menjadi ancaman serius. Perang siber adalah ancaman paling nyata yang bisa saja memporakporandakan keutuhan dan kedaulatan NKRI akibat tidak terkendalinya konten-konten negatif di internet.
Richard Clarke, mantan staf Gedung Putih yang bertanggung jawab atas kontraterorisme dan keamanan siber mengungkapkan, efek dari perang siber bisa bermacam-macam, di antaranya adalah bug komputer, menghentikan sistem email militer, meledakkan pipa dan kilang minyak, sabotase kendali sistem lalu litas udara, menggelincirkan kereta api, merusak data keuangan perbankan hingga menghentikan operasi pembangkit listrik dan menghancurkan kontrol satelit. Begitu dahsyatnya serangan siber, maka beberapa negara pun menerapkan sistem keamanan yang berlapis di dunia maya. Selain itu, dampak terburuk dari semua itu adalah identitas penyerang dalam kekacauan tersebut tetap misterius dan tak diketahui. Sedangkan Mike McConnell, seorang mantan kepala mata-mata CIA menilai efek dari perang siber yang paling mematikan dan parah adalah serangan nuklir. Berbagai negara saat ini diketahui tengah membangun dan mempersiapkan keamanan internet dan sekaligus sebagai wadah untuk menghimpun segala usaha pertahanan atau serangan balik terhadap ancaman terorisme.
Dalam konteks Indonesia, memaknai perang siber bisa diartikan secara utuh atau pun tidak. Pemaknaan utuh artinya memang Indonesia mengartikulasikannya sebagai perang dalam pengertian sebenarnya. Namun, sebaliknya, perang tidak didefinisikan sebagai bertemunya dua pasukan atau lebih di medan laga. Perang senyap yang tidak kelihatan siapa musuh dan lawan, ini menjadi sesuatu yang sulit untuk dihadapi dan ancaman sebenarnya. Apapun kondisinya, perang siber harus disikapi sebagai kesiapan semesta untuk menghadapi segala ancaman dan tantangan yang ada di dalamnya. Kesiapan semesta berarti melibatkan seluruh komponen dari berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya adalah aspek agama.
Hakikat agama adalah perintah dan larangan yang menjadi guidance agar manusia tidak tersesat dalam lembah kenistaan yang dalam. Di antara larangan yang berlaku di dalam agama adalah tidak bolehnya umat manusia melakukan kezaliman, fitnah, namimah (adu domba), berdusta dan sebagainya. Namun, manusia tidak selalu mengikuti ajaran agama. Dalam berperilaku di dunia maya, betapa banyak manusia yang secara terang benderang melanggar larangan-larangan tersebut. Agama dikesampingkan hanya untuk memuaskan kepentingan pribadi dan golongan. Para pemuka agama ataupun aktivis dakwah harus mengembalikan agama ke jalur sebenarnya.
Tidak bisa dimungkiri, salah satu perilaku pengguna internet adalah berlomba-lomba unjuk diri, kelompok, ideologi, pemikiran dan masih banyak lagi. Kontestasi ini kemudian menimbulkan “peperangan” untuk memengaruhi dunia virtual. Atmosfer kegaduhan di media sosial terjadi karena masing-masing kelompok saling melempar isu bernuansa politik, ekonomi, ideologi atau agama yang bisa dibilang tendensius dan provokatif. Kondisi ini melahirkan prasangka terhadap seseorang atau lembaga berdasarkan persepsi (steorotip) karena dibangun berdasarkan sesuatu yang belum tentu sesuai kenyataan di dunia nyata. Steorotip menjadi dasar seseorang melahirkan prasangka yang kemudian menyulut perilaku diskriminatif. Kemudian, dari perilaku diskriminatif tersebut melahirkan tindakan nonkooperatif, seperti fitnah dan permusuhan antar kelompok identitas di masyarakat.
Di tahun politik di Tanah Air, kondisi itu menjadi gaduh karena masing-masing kekuatan politik menggunakan medsos sebagai “medan perang” (battlefields). Pasukan berupa akun-akun anonim dipersiapkan untuk menyerang kompetitor di media sosial. Perwujudan perilaku kelompok pendu- kung individu ataupun kelompok terjadi secara masif di lingkungan internet atau berkutat dalam konstelasi media sosial yang terhimpun dalam komunitas-komunitas tertentu. Ajang debat kusir dan adu berita hoax seolah menjadi paket menu yang biasa dijumpai dalam arus notifikasi media sosial kita, seperti Facebook dan Twitter.
Uniknya, komunitas dalam dunia maya yang terlibat dalam “perang siber” merupakan individu-individu dalam suatu barisan massa yang tidak peduli pekerjaan, karakteristik, inteligensi, dan atribut lainnya. Mereka bereaksi karena diarahkan oleh aktor intelektual (collective mind/ group mind). Akun-akun buzzer bermunculan dengan bereaksi mengikuti pemikiran kelompok dan menghasilkan perilaku sesuai arahan aktor intelektual. Efek contagion (efek menular) akan menyebarkan emosi dan perilaku dari satu kepala ke lainnya, sehingga menyebabkan individu-individu dalam massa bereaksi dengan cara yang sama. Kumpulan pengguna media sosial tertentu memperlihatkan gejolak dan reaksinya dengan proses yang disebut milling, yaitu proses di mana individu-individu menjadi semakin tegang, gelisah, dan bergairah. Dengan meningkatnya emosi, kegairahan dan stimulasi timbal balik, maka orang- orang lebih memungkinkan untuk bertindak impulsif (gampang bertindak tanpa pikir panjang). Jika intensitas proses ini meningkat, maka penularan sosial (social contagion) akan timbul yang melibatkan diseminasi impuls atau kata hati yang cepat dan irasional. Jika dibiarkan, maka ini berpotensi menimbulkan aksi di dunia nyata yang berujung pada bentrok, perang, maupun persaingan antar kelompok di tengah-tengah masyarakat. Ini yang menjadi inti perang siber, dimulai dari dunia maya dan bisa saja berakhir di dunia nyata. Jangan sampai kita menyesal karena terlambat menyadari ancaman yang sesungguhnya ada di depan mata. (*)