Pertentangan agama dan sains telah lama terjadi. Mulai dari teori evolusi makhluk hidup hingga teori awal mula alam semesta, kedua kelompok ini tidak pernah bersepakat. Pertentangan pun berlanjut hingga mempersoalkan hukum kausalitas. Kaum agamawan memberikan jawaban atas kasus pembunuhan yang dilakukan manusia. Begini hipotesanya, “karena dia (pembunuh) memilih untuk melakukannya. Dia menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih membunuh, yang menjadi penyebab mengapa dia sepenuhnya bertanggung jawab atas kejahatan itu di dunia dan kelak di akhirat.”
Jawaban sarjana agama tidak memuaskan kelompok sains. Bagi kelompok sains, hipotesanya seperti berikut, “dia melakukan itu karena ada suatu proses elektrokimiawi dalam otak, yang dibentuk oleh susunan generik tertentu, yang merefleksikan adanya tekanan-tekanan yang bercampur dengan mutasi. Proses elektrokimiawi otak yang menghasilkan pembunuhan itu bisa deterministik, acak atau kombinasi dari keduanya, tetapi semuanya tidak ada yang bebas dan bisa dipengaruhi dengan adanya rekayasa eksternal.”
Penjelasan sains menunjukkan argumentasi melalui observasi. Sementara, argumentasi kaum agama dogmatis dan taken for granted. Worldview yang berbeda menghasilkan landasan berpikir yang tidak sama. Kelompok agama dibimbing oleh wahyu dan nilai, sementara kelompok sains menafikan firman Tuhan.
Argumentasi saintis melalui pengamatan yang sebatas bisa dilakukan indra manusia dan sinis agama. Bahkan, mereka menolak adanya pengaruh jiwa pada kehendak. Bagi mereka, aktivitas manusia tidak lepas dari rangkaian proses biokimiawi dalam otak manusia yang bersifat deterministik dan bisa direkayasa atau dimutasikan (Homo Deus, Harari, 2018: 326). Pesatnya teknologi semakin mendukung saintis karena saat ini teknologi mampu memindai otak untuk memprediksi keinginan dan keputusan orang untuk melakukan suatu tindakan.
Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) mampu menggantikan manusia untuk “melihat” peristiwa-peristiwa neuron dalam otak. Hasilnya, keputusan seseorang bisa terbaca sejak beberapa ratus juta detik sampai ke beberapa detik sebelum seseorang menyadari pilihan tindakannya. Begitu canggihnya teknologi, hingga sebagian kelompok sains menjadikan AI sebagai “tuhan”.
Pengagungan berlebihan terhadap teknologi membawa manusia akan melakukan upaya serius menuju imortalitas, sesuatu yang dianggap bertentangan dengan prinsip agama. Lahir metode bagaimana manusia awet muda dan memperpanjang usia, bahkan mereka mengklaim akan lahir metode menghindari kematian (mortality avoidance). Cloning pun dianggap wajar dan menjadi buah perjuangan teknologi kekinian. Perjuangan abai agama dan merekayasa kehidupan untuk menjadikan manusia masa depan (homo deus) sebagai kelanjutan dari homo sapiens.
Apa yang disebut homo deus mendapat kritik tajam dari sarjana agama (baca: muslim). Islam mengajarkan pengetahuan, kepercayaan dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah (Naquib al Attas, 1980: 16). Homo deus dinilai sebagai diabolisme intelektual dan ketakaburan kelompok sains. Padahal, di balik pemujaan terhadap teknologi yang berlebihan, masih banyak pertanyaan yang sebenarnya tidak bisa dijawab secara sains hingga saat ini.
Bagaimana ruh bisa masuk ke dalam jasad manusia? Apakah manusia hanya satu-satunya makhluk hidup di alam semesta? Berapa lapisan di bawah bumi? Berapa banyak jumlah planet di antariksa? Itu semua hanya sedikit pertanyaan yang masih dipertanyakan kelompok-kelompok sains. Dan, ternyata jawabannya justru ada dalam kitab suci kelompok-kelompok agama.
Dalam Al Quran, 14 abad yang lalu, Islam telah menjelaskan penciptaan manusia, mulai dari terpancarnya air mani hingga peniupan ruh dalam rahim, (QS: Al Qiyamah: 36-37). Begitu pula, Al Quran menunjukkan bukti-bukti kekuasaan Allah tentang bertemunya dua perairan berbeda di lautan, (QS: Ar-rahman: 19-20). Al Quran juga memberi petunjuk bahwa milik Allah apa pun/ siapa pun yang ada di langit dan di bumi. Ayat ini menjelaskan manusia bukan satu-satunya penghuni alam semesta. (QS: An Nahl: 49). Al Quran menjelaskan bumi memiliki tujuh lapisan dan yang paling dalam adalah inti bumi (centrosphere) (QS: Al Mulk: 3).
Mukjizat Al Quran menjadikan kelompok agama lebih unggul dari kelompok sains. Setidaknya begitu komentar Syaikh Abdullah M. Al Ruhaili dalam “Al Quran The Ultimate Truth”. Ini juga sebagai upaya membungkam keangkuhan kelompok sains yang menjadikan agama sebagai “keset” kaki hingga tidak berharga.
Al Quran menjadi hudan yang berarti petunjuk/pedoman untuk seluruh umat manusia dalam menyebarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun demikian, pengetahuan itu disesuaikan dengan tingkat kecerdasan manusia di zaman dan tempat berbeda. Al Quran pun mendorong umat manusia untuk menggunakan akal pikirannya dalam memahami tanda-tanda kekuasaan Allah SWT.
Sains dalam Al Quran ditujukan untuk membimbing manusia agar sejahtera dan selamat dalam mengarungi kehidupan di dunia dan akhirat. Semakin banyak penemuan di dunia, seharusnya menambah keimanan dan ketundukan pada Sang Khalik. Bukan, semakin menjauhi agama dan mengabaikan eksistensi Tuhan.
Agama menuntun manusia dengan jalan membuka pintu hatinya dan memberikan cahaya petunjuk ke arah kebenaran. Cahaya tersebut akan terus bertambah jika manusia tekun pada ketaatan kepada-Nya dalam melaksanakan kewajiban sambil berharap ridha-Nya. Lebih dari itu, Allah pun menawarkan janji kepada manusia apabila mereka tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapi, Dia akan memberi pertolongan.
Allah akan membuka misteri kehidupan yang sampai sekarang masih menjadi pertanyaan. Dengan demikian, melalui bimbinganNya, manusia mampu mengidentifikasi betapa besarnya Sang Maha Pencipta dan betapa kecilnya makhluk. Kita tentunya berlindung dari kelompok-kelompok sains yang jauh dari bimbingan agama dan merasa tidak membutuhkan Tuhan. Karena, kelompok sains seperti itu sejatinya adalah prototype iblis yang tugasnya membuat ragu manusia akan Tuhan, akhirat, surga dan neraka.
“Dan hasutlah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (QS: Al Isra: 64).*
Ditulis oleh Mohamad Fadhilah Zein