28.9 C
Jakarta

Ahlan wa Sahlan: Antara Filosofi dan Basa-basi

Baca Juga:

Kebanyakan orang rasanya tahu bahwa kata ahlan wa sahlan  (أهلا و سهلا)itu bahasa Arab yang artinya selamat datang. Tapi mungkin (mungkin saja lho, ya…!) masih banyak yang belum tahu apa arti sebenarnya dari kata-kata itu secara etimologis, apalagi filosofi yang berada di balik (beyond) ungkapan tersebut. Dalam tulisan ini saya akan mencoba untuk mengungkapkannya secara sederhana. Siapa tahu ada manfaatnya bagi pembaca untuk semakin lebih memahami (li ta’arafu لتعارفوا ,) kebudayaan dan atau konsep-konsep budaya bangsa lain, dalam hal ini bangsa Arab yang akhir-akhir ini di sini semakin banyak disalahpahami. 

Orang Arab ketika bertemu saudara, teman, sahabat, atau menyambut tamu yang baru tiba biasa mengucapkan kata “Ahlan wa sahlan”, dan biasanya dijawab oleh lawan bicaranya dengan “ahlan bik”, “ahlan wa sahlan bik”  ( أهلا و سهلا بك)  atau ahlan wa sahlan wa marhaban bik (أهلا و سهلا ومرحبا بك). Di Lebanon yang mempunyai bahasa Arabnya dengan dialek tersendiri yang agak berbeda biasanya bacaan fatkhah tanwin-nya dihilangkan sehingga  menjadi “ahla wa sahla”. Kata-kata itu maksudnya adalah ucapan selamat datang. Jadi, semacam ucapan greeting. Tapi, sekali lagi, apa sebenarnya arti kata-kata itu secara bahasa (semantik atau etimologis) dan sekaligus juga secara terminologis?

Kata “ahlan” (secara gramatikal menjadi hal dan karena itu dibaca mansub) berasal dari kata “ahl” (أهل)  yang artinya keluarga, seperti misalnya dalam rangkaian kata ahlu l-bait (keluarga serumah, atau keluarga Nabi Muhammad SAW, atau lebih khusus lagi keluarga Nabi melalui garis keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah), ahli waris (keluarga yang berhak mendapatkan bagian harta waris), ahli Syam (keluarga atau penduduk Syam), ahlu al-jannah (penghuni Surga), ahlu l-diyar (ahli kubur, orang-orang yang sudah mati dan dikuburkan di suatu pemakaman itu), ahlu al-kitab (umat beragama yang diberikan Kitab Suci yang berisi wahyu dari Tuhan, seperti Yahudi dengan Kitab Taurat-nya, dan Umat Nasrani dengan Kitab Injil-nya, dan lain-lainnya).

Sementara “Sahlan” berasal dari kata “sahala” (سهل) yang artinya mudah, gampang, ringan, atau tidak ada halangan sama sekali. Jadi selama Anda di sini di rumah saya ini, atau selama menjadi tamu di sini, Anda tidak perlu malu-malu, sungkan atau pakewuh untuk menyampaikan apa saja yang anda perlukan: menikmati makanan dan minuman yang telah dihidangkan, atau, misalnya, mau tambah lagi. Demikian juga halnya kalau ingin ke toilet pergi saja, jangan ditahan. Juga kalau perlu sesuatu yang lain maka jangan malu-malu atau merasa ada sesuatu halangan yang bersifat psikologis. Bersikaplah take easy (anggap entheng-entheng) saja tak ubahnya kayak di rumah sendiri.

Pasalnya, selama anda menjadi tamu (dhaif, dhuyuf) maka berarti Anda menjadi bagian dari keluarga (ahli) tuan rumah. Bahkan kalau bisa anggap saja rumah ini serasa rumah Anda sendiri. Maka seperti halnya di rumah sendiri, Anda jangan merasa dibatasi atau merasa ada halangan untuk melakukan apa saja. Tentu saja “apa saja” di sini artinya yang sesuai dengan kewajaran dan kepantasan, jangan berlebihan: mentang-mentang di rumah sendiri janganlah juga lantas bertindak tidak senonoh yang melanggar etika atau akhlak di dalam rumah yang lazimnya sudah dipahami secara umum (common sense).

Jadi “Ahlan wa sahlan” itu kira-kira sama seperti ungkapan dalam bahasa Inggris: “May our house be like your family home and like a level plain on which you can walk easily and safely!” (Semoga rumah kami bisa menjadi seperti rumah keluarga Anda sendiri dan menjadi tempat yang membuat Anda mudah, nyaman dan aman!).

Di dalam tradisi Arab klasik tamu itu ketika baru datang disebut sail ( سأل – يسأل – سائل), artinya ‘orang yang bertanya’. Selanjutnya apabila sudah bertanya dan pertanyaannya dijawab oleh tuan rumah lantas kemudian dipersilahkan masuk ke dalam rumah. Begitu masuk ke dalam rumah dan, apalagi sudah dipersilahkan duduk, maka resmilah dia menjadi tamu. Kedudukannya berubah dari sail (سائل) menjadi malik (ملك), yaitu: raja. Tamu adalah raja: yang harus disambut dan dimuliakan dengan sehormat-hormatnya, dihidangkan minuman dan makanan yang nomor wahid, dan ketika waktu makan tiba diberikan hidangan makanan besar (breakfast, lunch atau dinner) yang paling enak dan lezat. Pokoknya, tamu dalam budaya Arab dilayani dan dimuliakan secara maksimal bak seorang raja.

Di Arab sudah biasa seorang tuan rumah menyediakan makan besar untuk tamunya yang dianggapnya sebagai seorang raja itu. Orang Arab biasa memasak besar untuk tamunya, bahkan tidak jarang menyembelih domba, kambing atau unta khusus untuk memuliakan tamunya. Oleh karena itulah di negeri Arab ungkapan bahasa Arab untuk menunjukkan “orang yang paling baik dan mulia” adalah “orang yang abu-nya banyak(كثير الرماد) .

Ceritanya begini: dulu orang Arab, sebagaimana kebanyakan orang Indonesia, biasa memasak dengan menggunakan alat bakar kayu atau arang (briket). Berbeda dengan sekarang setelah ditemukan kompor minyak, atau apalagi gas LPG, maka semakin banyak memasak semakin banyak pula tumpukan abu di tungku masak.

Nah, orang yang banyak memasak biasanya karena dua hal: keluarga itu keluarga besar; atau banyak tamu yang datang berkunjung ke rumah keluarga itu. Orang yang banyak didatangi tamu pastilah orang baik, mulia, dan dermawan! Bukan semata-mata relasi sosial politiknya luas, melainkan juga reputasi kebaikannya dikenal luas. Orang yang perangainya jelek, apalagi jahat dan membahayakan orang lain, mustahil tamunya banyak. Walhasil, orang baik adalah orang yang didatangi oleh banyak tamu. Semakin banyak tamunya, maka semakin banyak pula memasak (untuk hidangan para tamu); semakin banyak memasak maka semakin banyak pula abunya; semakin banyak abu masak di tungku maka semakin baik dan mulialah orang itu.

Dalam tradisi orang Arab klasik memuliakan tamu bukan hanya secara fisik dengan memberikan keramahan dan hidangan saja, melainkan juga perlindungan keamanan. Seorang yang sedang terancam yang kemudian masuk ke rumah orang dalam status tamu oleh shohibu al-bait, jiwa sang tamu itu dianggap sebagai sedang dalam perlindungannya. Orang yang mengejar tamu untuk menangkapnya, apalagi membunuhnya, harus berhadapan dengan tuan rumah (shahib al-bait) terlebih dahulu. Tuan rumah akan melindungi jiwa sang tamu dengan mempertaruhkan jiwanya sendiri sampai titik darah yang penghabisan. Tamu yang sampai celaka apalagi kehilangan jiwa di rumahnya adalah tercela secara moral bagi orang Arab tradisional.

Maka tidak jarang orang Arab menyembunyikan tamunya jika tamu itu, misalnya saja, seorang pelarian, baik karena pelarian karena persoalan pidana (kriminal), perdata, atau apalagi pelarian politik! Dalam konteks ini, seorang tamu tak ubahnya sebagai pencari suaka politik! Maka persoalan tamu di Arab sangatlah serius! Sekali seseorang menerima tamu, dan ternyata dia seorang pelarian yang sedang mencari suaka (perlindungan), maka ia bertanggung jawab atas keselamatan nyawanya.

Batasan

Tetapi dalam tradisi Arab yang kemudian juga dikukuhkan dalam ajaran Islam ada batasan lamanya boleh bertamu: tiga hari saja! Lewat tiga hari, maka shohibu al-bait terbebas dari segala kewajibannya untuk memberikan perlindungan. Bahkan terbebas dari kewajiban untuk menyediakan makan dan minum. Artinya, kalau sudah lewat tiga hari, kalau terjadi sesuatu hal pada tamunya maka itu di luar kewajiban tuan rumah. (Tentu tidak dilarang, malah merupakan kebaikan, jika tuan rumah masih bersedia melayaninya). Orang yang mengejar seorang pelarian yang kemudian bertamu (baca: bersembunyi atau disembunyikan oleh tuan rumah) biasanya akan menunggu sampai tiga hari. Jika sudah lewat tiga hari, maka para pengejar orang tersebut sudah boleh meminta atau menuntut haknya kepada tuan rumah untuk menangkapnya, meski masih berada di dalam rumah sekalipun!

Demikianlah, sampai di sini mudah-mudahan semuanya menjadi jelas. Selanjutnya saya akan meneruskan penjelasan tentang tahap-tahap berikutnya bagaimana penerimaan dan pemuliaan tamu dalam tradisi Arab secara kronologis dan sinkronis.

Setelah melalui tahap “sail” dan “malik” maka sampailah pada tahap “sair”. Kira-kira keterangannya begini: setelah sang tamu pergi maka si tamu itu menjadi “sair”. Sair itu dari kata “سار – يسير- سائر” yang artinya orang yang sudah pergi.

Jadi urut-urutan penerimaan dan pemuliaan tamu secara kronologis adalah sebagai berikut: pertama, sail (artinya: orang tersebut memiliki status sebagai orang yang sedang bertanya); kedua, malik (artinya: statusnya resmi menjadi tamu dalam maknanya yang seutuhnya kultural, yakni diperlakukan sebagai Raja); dan ketiga, sair (artinya, orang yang sudah pergi).

Tradisi menghormati tamu di kalangan bangsa Arab yang sudah berakar ribuan tahun ini, secara sangat menarik dipertahankan dan diteruskan oleh Islam dan malah diabadikannya sebagai salah satu ajarannya yang sangat penting dan dipentingkan. Islam bahkan memperkuatnya dengan sisi teologis melaui sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadistnya: “Barang siapa mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka muliakanlah tamunya” (Bukhari dan Muslim). Jadi dalam Islam memuliakan tamu itu dikaitkan dengan keimanan. Malah, bukan hanya dikaitkan saja, melainkan juga disandingkan atau di-juxtaposition-kan dengan keimanan kepada Allah dan Hari Akhirat. Bayangkan betapa tingginya nilai menghormati dan memuliakan tamu itu!

Walhasil, ungkapan ahlan wa sahlan itu tidak sekadar ucapan selamat datang belaka, melainkan memiliki makna yang sangat dalam. Oleh karena itu ucapan ahlan wa sahlan, dalam konsep budaya Arab, sejatinya bukan sekadar basa-basi alias mujamalah sebagaimana yang dikira banyak orang. Arti Ahlan wa sahlan adalah kamu atau kalian adalah keluarga saya, dan karena itu anggap semuanya mudah, dan karena itu jangan malu-malu. Pasalnya, rumah ini, kota ini, atau negara ini adalah rumahmu, kotamu, dan negaramu sendiri. Setidaknya, anggaplah  demikian!

Dahsyat dan luar biasa, memang, filosofinya. Hanya saja persoalannya adalah apakah ucapan ahlan wa sahlan yang masih dipraktikkan di dunia Arab sekarang ini masih mencerminkan filosofi memuliakan tamu yang begitu dalam sebagaimana tersebut di atas, ataukah tinggal ungkapan basa-basi (mujamalah) belaka? Ini yang rasanya perlu diteliti lagi secara linguistik, etnografis dan antropologis. Saya berharap ini bukan basa-basi. Semoga!

Penulis: HajriyantoY. Thohari, Duta Besar LBBP RI untuk Lebanon di Beirut

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!