Opini | Yudhie Haryono | Rektor Universitas Nusantara
Aku mengetik ini saat diterjang gagasan nusantara studies, 20 tahun lalu. Saat memilih bertobat dari siksa liyan pada republik kita. Saat tak bangga sama sekali di puncak-puncak agensi kolonial. Lalu, berimaji membangun kampus nusantara sebagai anti tesa neokolonial. Dan, psikologi indonesia itu salah satu porosnya. Satu ilmu kokoh demi lahirnya mentalitas nusantara.
Atas alasan itu pula, aku menikahi psikolog dan belajar, koleksi serta ziarah ke psikolog-psikolog besar dunia. Beberapa psikolog itu kukunjungi dan kuwawancara. Semua demi mengokohkan lahirnya psikologi indonesia via nusantara studies.
Dus, sesungguhnya nusantara studies dan mentalitas nusantara itu merupakan suatu aksi protes (revolusi nalar) terhadap bentuk “imperialisme akademik” dalam dua pengertian sekaligus. Pertama, imperialisme metodologis dan kedua imperialisme ideologis iptek. Karenanya, revolusi nalar ini adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala dan pelaksana pancasila.
Tentu saja, ini adalah jenis perlawanan pada mental kolonial hasil dari tradisi neo kolonialisme yang memperanakkan cultural poverty, academic poverty, moral poverty, imagination poverty, text poverty and absolute poverty. Lengkap sudah.
Sadar terhadap kekalahan dan kemiskinan akut yang terus menerus itulah, kita harus mengubah taktik perjuangan dan perlawanan. Bila pada mulanya mengandalkan kekuatan otot (senjata) mestinya berubah menggunakan kekuatan otak (pikiran). Dengan taktik perjuangan semacam itu, kita akan berhasil membebaskan diri dari penjajahan: menghasilkan imaji dan realisasinya.
Tetapi, dalam kekeringan imaji itulah, hipotesaku begini: Bapak Psikologi Indonesia itu Ki Ageng Suryomentaram. Ia lahir pada 20 Mei 1892, di Keraton Yogyakarta. Anak ke-55 Sultan Hamengku Buwono VII ini pemikir besar Jawa, yang pemikirannya ikut dalam pembentukan republik muda.
Ia menulis dasar-dasar psikologi seperti ilmu nyata dan ilmu keyakinan, mawas diri sebagai sumber pengetahuan sejati, ilmu tentang diri dan masyarakat, pendidikan untuk menajamkan rasa dan rasio, perkawinan sebagai pemenuhan sekaligus pengendalian hasrat, pegangan hidup, dll. Ilmu ini khas “timur” yang theoantroeco centris. Keselarasan.
Semangat yang diusung oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajak kita berpikir-berasa dan berasa-berpikir rasional. Namun, rasionalitas Ki Ageng memiliki corak yang agak berbeda dengan rasionalitas Barat secara umum yang angkuh dan kaku. Kawruh Jiwa adalah sistem pengetahuan rasional yang memiliki ciri reflektif, karena di dalamnya terliput dimensi rasa atau afeksi, kapasitas psikologis yang dalam tradisi Barat terbedakan secara tegas dengan rasio.
Tentu saja, kita harus berani untuk menemukan, mengkonstruksikan dan mengembangkan psikologi indonesia. Kita wajib mengemukakan konstruksi psikologis berdasarkan pengalaman dan pemikiran orang Indonesia guna menjawab persoalan-persoalan penting keindonesiaan.
Karenanya, psikologi indonesia mestinya berlaku indijinus (Kim & Berry, dalam Uichol, 2006), yaitu kajian ilmiah tentang perilaku atau pikiran manusia yang native, maksudnya tidak dibawa dari wilayah lain, tetapi didesain oleh, untuk, demi dan dari orang-orang indonesia.
Psikologi Indonesia punya tugas mulia untuk membangun jiwa seluruh rakyat yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan, keadilan sosial dan hal-hal yang mandiri-modern-martabatif, sehingga Indonesia menjadi bangsa besar, peradaban gigantis sehingga mampu memenangi kompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Iptek ini akan terus relevan bagi bangsa Indonesia yang tengah menghadapi lima problem pokok bangsa yaitu; tumbuhnya elite jahat, merosotnya wibawa negara, merebaknya intoleransi, hancurnya sendi-sendi perekonomian nasional, hilangnya kedaulatan negara dan warganya.
Pada batas-batas tertentu, mengungkap pikiran dan karya KAS menemukan pijakannya. Ternyata kita bangsa kaya (karya, pikiran) yang lengkap. Ayok terus optimis.(*)