Oleh : Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc. ( Ketua DJSN 2011-2015)
Persoalan akreditasi RS dan faskes primer, merupakan berita hangat di awal tahun baru 2019. Pangkal persoalannya adalah surat Menteri Kesehatan Nomor:HK.03.01/Menkes/768/2018 tanggal 31 Desember 2018 perihal: Perpanjangan Kerja Sama Rumah Sakit dengan BPJS Kesehatan.
Inti surat tersebut BPJS Kesehatan tidak dapat melanjutkan kerja sama dengan RS yang belum memiliki sertifikat akreditasi. Jadi untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, faskes primer (FKTP) maupun faskes tingkat lanjut (FKTL), harus bersertifikasi akreditasi.
Dasar hukum persyaratan akreditasi, tertuang dalam Permenkes Nomor, 46 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, tempat praktek mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi. Dan Permenkes Nomor 34 Tahun 2017 Tentang Akreditasi Rumah Sakit.
Dimana kaitannya dengan BPJS Kesehatan. Menkes menginginkan agar BPJS Kesehatan dalam bekerjsama dengan faskes harus memperhatikan persyaratan akreditasi dan persyaratan lainnya.
Hal tersebut tertuang dalam Permenkes Nomor 99 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Praturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. Keharusan memenuhi syarat dimaksud, diperkuat lagi dalam Perpres 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.
Jadi surat Menkes diawal tulisan ini, merupakan upaya untuk mengingatkan Direksi BPJS Kesehatan, dalam melanjutkan kerjasama dengan FKTP dan FKTL, harus memperhatikan Permenkes terkait yang telah diterbitkan.
Dugaan saya pihak BPJS Kesehatan khawatir dikatakan membangkang atas kebijakan Kemenkes, maka per 1 Januari 2019, faskes yang tidak dapat menunjukkan sertifikat akreditasi tidak diteruskan kerjasamanya.
Ternyata ada puluhan RS yang korban dan menjadi berita heboh di media sosial dan media mainstream. Sudah dapat diduga, yang jadi sasaran “tembak” tentu BPJS Kesehatan, sebagai pihak yang memutuskan kerjasama. Berita digoreng dan di framing bahwa pemutusan kontrak kerjasama karena BPJS Kesehatan sedang defisit.
Rupanya karena isyu dan keresahan pemutusan kerjasama faskes sudah menggelinding bagai bola salju, lambat atau cepat akan menghantam Kemenkes juga, maka Menkes mengeluarkan surat nomor: HK.03.01/Menkes/18/2019, Hal,Perpanjangan Kerja Sama Rumah Sakit dengan BPJS, sebagai respons atas Surat Dirut BPJS Kesehatasn Nomor: 063/III/2019 tanggal 3 Januari 2019, hal; Rumah Sakit Belum Terakreditasi.
Surat Menkes tertanggal 4 Januari 2019, merekomendasikan BPJS Kesehatan melanjutkan kontrak kerjasama dengan faskes yang belum terakreditasi. Dengan surat Menkes tersebut, pihak BPJS Kesehatan tidak bisa lagi memutuskan kontrak kerjasama dengan faskes karena alasan belum terakreditasi. Kecuali faskes itu sendiri yang ingin memutuskan kerjasama. Itu hak faskes dan dijamin UU SJSN.
*Kenapa kerjasama menjadi persoalan rumit?*
Persoalan menjadi rumit, karena memang sering dirumit-rumitkan. Kalau kita baca UU SJSN dan UU BPJS, terkait kerjasama faskes dengan BPJS Kesehatan sangat simple sekali.
Hanya ada 2 syarat untuk terjadinya kerjasama faskes dengan BPJS Kesehatan. Pertama adalah faskesnya sudah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah, dan kedua suka sama suka (seperti orang mau kawinlah). Tidak ada paksaan. Untuk menjamin keberlangsungan dan apa saja kewajiban mereka yang berikatan, dibuatlah Perjanjian Kerjsama yang mengikat dalam jangka waktu tertentu.
Dalam menyusun substansi perjanjian, disitulah perlu dilibatkan pihak terkait, antara lain pemerintah daerah, assosiasi faskes, organisasi profesi kesehatan. Sehingga tersusun substansi baku yang berlaku di suatu tingkatan wilayah tertentu.
Dalam kerangka berpijak aturan UU SJSN, dan UU BPJS, pihak BPJS Kesehatan tidak menyentuh urusan capability dan capacity faskes. Capability dan capacity faskes menjadi tanggungjawab Kemenkes sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan, UU RS, dan UU Tenaga kesehatan.
Permenkes Nomor 99 tahun 2015, substansinya menempatkan BPJS Kesehatan sebagai sub-ordinasi Kemenkes. Dengan melakukan kewajiban-kewajiban tertentu yang sebenarnya menjadi tanggungjawab Kemenkes untuk melaksanakannya. Tidak ada perintah UU yang “menyuruh” mendelivery tugas Kemenkes kepada BPJS Kesehatan.
Sederhananya, BPJS Kesehatan hanya bekerjasama dengan faskes yang telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Kemenkes. Apapun bentuknya. Baik akreditasi, kredensialing, dan sebagainya. Kondisi saat ini sangat merepotkan faskes. Sudah lolos persyaratan pendirian faskes, untuk kerjasama dengan BPJS Kesehatan harus berjibaku lagi. ( cermati pasal 8,9, 10 dan 11 Permenkes 99/2015).
Intinya adalah Permenkes 99/2015, “melemparkan” tanggungjawab terkait dengan kompetensi faskes kepada BPJS Kesehatan.
Seharusnya BPJS Kesehatan itu, hanya memastikan dengan meneliti pemenuhan syarat yang ditetapkan Kemenkes, sebelum dilakukan kontrak kerjasama.
BPJS Kesehatan sesuai dengan UUSJSN dan UU BPJS, harus memastikan peserta mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya. Membayar kewajiban klaim FKTL setiap bulan setelah di verifikasi dengan pola Ina-CBGs, dan membayarkan kapitasi pada faskes primer sesuai cakupan penduduk yang telah ditetapkan.
Disinilah perlunya kendali biaya dan kendali mutu yang harus dilakukan BPJS Kesehatan. Untuk kendali mutu BPJS Kesehatan memastikan bahwa Faskes melaksanakan pelayanan kesehatan yang komprehesif (tanpa batas), untuk itu perlu ada acuan standar pelayanan.
Kemenkes berkewajiban menerbitkan PNPK ( Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran), dan pada level faskes harus ada PPK, SOP dan atau Clinical Pathway. Baru kemudian berapa biaya yang sesuai dengan mutu pelayanan yang diberikan. Maka akan dikeluarkan besaran biaya pelayanan sesuai dengan mutu pelayanan.
Koneksifitas antara mutu dan besarnya biaya itulah yang perlu dirumuskan dalam kendali biaya dan kendali mutu. Ini kerja bareng BPJS Keseatan, asosiasi faskes, organisasi profesi, kemenkes, dan faskes yang bersangkutan.
Dengan mekanisme yang diatur dalam UU, sudah jelas ruang lingkup tanggungjawab dan kewajiban Kemenkes dan BPJS Kesehatan. Jika ada pasien JKN yang tidak mendapatkan mutu pelayanan di faskes sesuai dengan hak nya, yang komplain atas nama peserta seharusnya BPJS Kesehatan. Jangan diserahkan kepada pasien, karena pasien adalah pesakitan.
Demikan juga jika klaim tagihan faskes yang macet, maka Kemenkes dan asosiasi faskes berkewajiban komplain ke BPJS Kesehatan, kemenkeu dan kalau perlu kepada Presiden. Supaya faskesnya dapat menjaga mutu dan kelangsungan pelayanan.
Bagaimana kenyataannya, tidak semudah saya menulis artikel ini. Mohon maaf.
Cibubur, 6 Januari 2019