Bulan yang bersinar terang malam ini, seolah-olah memanggil dengan suara pelan. Pancaran sinarnya yang lembut, membuat hatiku yang beku mulai lumer. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menyerap dan menghancurkan batu karang yang sebelumnya berdiri kokoh.
Aku teringat sebuah cerita masa kecil dulu di kampung di pedalaman Sumatera Selatan. Pada suatu masa, dikatakan oleh orang-orang tua, bulan begitu dekat dengan bumi. Jaraknya amat dekat hingga seperti bisa melambaikan tangan saja sudah bisa menyentuhnya.
Bulan dan bumi, bagaikan dua kekasih yang saling bertatapan dalam diam. Orang-orang bisa menjangkaunya dengan balon udara, memandang hamparan luas berwarna pucat yang senantiasa berubah-ubah mengikuti suasana hati. Namun, bulan tetap menjadi misteri, sebuah tujuan yang tak pernah benar-benar tersentuh.
Di teras rumah megahnya, Narasoma berdiri terpaku, memandangi bulan. Untuk kesekian kalinya, ia seperti melihat sosok wajah yang tak asing. Wajah yang amat lekat dalam ingatannya. Tapi ia sendiri tak mengetahui, siapakah sosok wajah tersebut. Tapi hatinya baik, mungkin juga tidak, tapi dia ramah tapi juga tidak. Ia hanya mengingat senyumannya yang manis dan menarik, dengan memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi. Sementara ada lesung pipit di pipi kanannya.
Satu hal yang pasti, kini bayangan gadis itu menghantuinya. Meskipun ia telah mencoba melupakannya, ya Larasmaya. Larasmaya namanya.
“Larasmaya namaku, kamu siapa,” sapanya ketika Narasoma bertemu Larasmaya di sebuah pasar malam yang menampilkan tong setan. Di tengah hiruk-pikuk raungan suara sepeda motor yang berputar cepat itu, gadis itu duduk sendirian di atas kotak kayu di salah satu sisi yang tidak jauh dari tempatku menonton kelihaian pengemudi sepeda motor itu berputar-putar dalam tong besar dari papan yang dibangun dengan kuat.
Aku mencuri pandang padanya. Kulihat, matanya memandangi keramaian dengan sorot pancaran yang penuh perenungan.
“Ini malam bulan purnama,” bisik Larasmaya saat itu, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Ia mengacuhkan Narasoma yang sudah berdiri di dekatnya.
“Tapi semua orang hanya memikirkan dirinya sendiri. Tanpa peduli dengan apa yang dirasakan dan terjadi menimpa orang lain,” katanya lagi.
Ketika Narasoma melangkah lagi mengiringi langkah Larasmaya yang berjalan meninggalkan tempat itu, Larasmaya tidak menyapa. Sebaliknya, ia mengucapkan sesuatu yang aneh, “Andai ada tangga yang tinggi, aku akan meniti tangga itu dan pergi ke bulan.”
Keinginan itu, meskipun terdengar mustahil, begitu kuat dalam suaranya. Narasoma, yang terpesona, membelikannya kue putu. Lengkingan suara kue putu yang dimasak itu, memang selalu menggodanya. Seperti godaan senyum misteri Larasmaya. Tapi, Narasoma ingin memberikan sesuatu sebagai tanda perhatian. Larasmaya ketika itu hanya menatapnya dengan datar.
“Satu-satunya jalan ke sana adalah dengan tangga yang cukup panjang dan kuat,” katanya, seakan pada dirinya sendiri, namun pandangannya menatap tajam pada Narasoma.
Ikut bermimpi
Sejak pertemuan itu, mereka menjadi dekat. Namun hubungan mereka tidak seperti kisah cinta biasa. Narasoma mencintai Larasmaya dengan tulus, tapi gadis itu selalu tampak jauh, sibuk dengan mimpinya meniti tangga menuju bulan. Lama-lama, ia pun ikut memikirkan, jangan-jangan memang ada yang menarik di bulan. Ia pun sadar atau tidak mulai mengikuti irama mimpi Larasmaya.
Narasoma melakukan segalanya untuk membahagiakannya. Ia melukis Larasmaya berlatar bulan, membawakan bunga dan siap meniti tangga menuju bulan. Atau, kalau ia ada uang, ingin rasanya membelikan tiket balon udara agar gadis pujaan hatinya itu bisa menengok lebih dekat ke bulan.
Namun, gadis itu hanya berkata, “Semua ini tidak nyata ya. Bulan bukan berada dekat dari sini, Narasoma.”
Kata-kata yang meluncur tiba-tiba itu, membuat Narasoma terdiam. Di saat Narasoma mulai ikut menggelayuti mimpi Larasmaya, eh malah ia meragukan mimpinya sendiri. Namun ia merasakan kesedihan yang mendalam, hingga kejadian itu.
Pada suatu malam, Larasmaya memutuskan pergi. Tanpa banyak kata, ia meninggalkan Narasoma dengan hati yang hancur.
Sejak kepergian Larasmaya, hidup Narasoma terasa kosong. Ia kerap memandang bulan dan merasa melihat gadis itu di sana. Ia sedang berjalan kecil, tertawa, dan melambai dari kejauhan memanggil dirinya. Namun, ia tahu itu hanya khayalannya semata. Kisah yang dihidupkan dalam kepalanya, sebagai pelampiasan kekecewaan karena ditinggalkan oleh Larasmaya.
Sampai suatu hari, Narasoma mendengar kabar aneh. Di sebuah desa jauh, ada seorang pembuat tangga yang mengaku tangganya dibeli oleh seorang wanita. Namun, karena tangganya kurang panjang, maka ia diminta mengerjakan lagi hingga empat kali lipat dari panjang tangga yang sedang dibuatnya itu. Ia sendiri sampai bingung, bagaimana membawanya nanti. Karena kalau empat kali dari panjang tangga yang dibuatnya ini, maka akan digunakan untuk apa tangga itu.
“Ah sudahlah,” pikirnya. Itu urusan orang yang beli, buatku ini merupakan rejeki. Tapi anehnya, ketika tangga itu sudah jadi, sang wanita itu dengan mudah mengangkatnya. Padahal, dirinya pun kerepotan untuk membawanya.
Itu sebabnya, keesokan harinya, ia pun menceritakan keanehan itu kemana-mana, hingga sampailah cerita itu di telinga Narasoma.
Narasoma pun terdiam. Sebuah pertanyaan muncul di benaknya. Apakah Larasmaya benar-benar pergi ke bulan dengan meniti tangga panjang itu?
Pandangannya pun tertuju pada bulan yang bersinar terang malam itu. Di kejauhan, ia seperti melihat sebuah tangga panjang dan tinggi menuju bulan. Di bawahnya, ada sesosok perempuan yang akan meniti tangga menuju bulan itu.