Entahlah, boleh jadi syetan-syetan yang bertugas menggoda manusia itu memang ada penjadwalan yang rapi, teratur, dan terukur. Semua syetan bertugas sesuai jadwal yang sudah ditentukan dengan SOP dan sasaran/target yang jelas. Boleh jadi sistem kepangkatan juga berlaku di dunia syetan. Syetan Yang masih junior, misalnya, bertugas pada hari-hari biasa dengan target sasaran manusia-manusia biasa saja, atau bahkan anak-anak dan remaja yang imannya relatif masih pas-pasan, atau bahkan orang-orang yang masih ingkar alias kafir. Syetan yang agak senior, bertugas di hari tertentu dan menyasar ke orang-orang yang sudah lumayan keimanan dan amaliyahnya, sehingga untuk menggodanya butuh cara-cara kreatif dan trik sendiri. Begitu juga syetan yang lebih senior lagi, bertugas di mesjid-mesjid menggoda orang yang sedang melaksanakan sholat Jumat, dengan jurusnya yang canggih dan bikin orang ngantuk thekluk-thekluk hingga tidak mendengarkan isi khotbah. Mungkin juga, syetan yang lebih senior lagi, bertugas menggoda para alim, cendikiawan, pejabat, dan politisi, agar mereka pintar menyiasati kahanan untuk memperkaya diri dan keluarganya. Sedangkan syetan yang paling senior, paling tinggi maqamnya, bertugas khusus di Padang Arafah dan Mina (Armina), tempat orang-orang yang imannya relatif kuat dan punya kemampuan melaksanakan Ibadah Haji, dan sedang melaksanakan prosesi puncak Ibadah Haji.
Konon, di tempat ketika jutaan orang sedang melaksanakan wukuf dan berkemah di Mina untuk antri melakukan prosesi Jamarat inilah, banyak terjadi hal-hal yang seolah aneh, tetapi sebenarnya hanya buah atau imbas dari kebiasaan amaliyahnya sebelum berangkat haji.
Orang Jawa bilang diwelehke, keweleh, aibnya seolah terbuka dan dilihat teman-temannya.
Jumatan
Seperti biasanya, Jumat kali ini pun terasa berat bagi Pak Bei. Sejak jam 11-an ketika harus siap-siap berangkat ke masjid, mata Pak Bei seakan kena lem castol. Ngantuk banget. Tapi mana mungkin tidur dulu. “A’uudzubillaahiminasysyaitoonirrojiim,” begitu doa Pak Bei dan langsung menuju kamar mandi untuk mandi keramas, lalu pakai sarung, baju koko, parfum, dan kopiah.
Tak berapa lama, Pak Bei pun tampak berjalan ke mesjid dengan sajadah tercantel di pundaknya.
Baru usai shalat tahiyatul-masjid, terlihat Khotib naik mimbar lalu mengucapkan salam, dan muazin pun berdiri mengumandangkan azan dengan suara merdunya. Azan selesai, mata Pak Bei mulai terasa berat, ngantuk, tapi coba ditahannya. Pak Bei hafal betul Khotib yang bertugas kali ini biasanya menyampaikan tema-tema aktual dan kontekstual, dibumbui cerita-cerita menarik sehingga jamaah tidak mengantuk. Sayang kalau khotbahnya terlewatkan. Maka Pak Bei pun berjuang supaya tidak ngantuk dan tertidur dalam buaian syetan yang terkutuk.
Dan benar saja, setelah menyampaikan prolog khotbah memenuhi syarat dan rukun khotbah Jumat, Khotib pun langsung menyampaikan sebuah hadits qudsi yang cukup menarik.
“Wahai Bani Adam, aku sakit, tapi kenapa engkau tidak menjengukku?,” suara Khotib menggelegar dengan tatapan matanya yang tajam menyapu seluruh jamaah, gayanya mirip seorang aktor teater Jogja yang sedang pentas monolog di Taman Budaya. Jamaah yang semula menunduk pun jadi mengangkat wajahnya, melihat dengan seksama Khotib yang sedang mengawali khotbahnya.
Khotib melanjutkan, “Bani Adam menjawab dengan malu-malu, “Ya Allah, bagaimana mungkin Engkau sakit dan mengharap kami menjengukmu, sedangkan Engkaulah Sang Pencipta dan Penguasa Alam?”
“Wahai Bani Adam,” Allah menjawab, “Apakah engkau tidak tahu bahwa ada hambaKu, si Fulan tetanggamu, sedang berjuang menahan sakit yang dideritanya, namun engkau justru hanya enak-enak makan, tidur nyenyak, dan sibuk dengan urusan pekerjaan? Kenapa engkau tidak menjenguknya? Padahal kalau engkau menjenguk dan mendoakannya, sungguh Aku berada di sisinya.”
Mak-jleb rasa di ulu hati Pak Bei mendengar cerita dari hadits qudsi itu. Rasa kantuk pun hilang sama sekali, diganti rasa gundah dan pikiran melayang ke tetangganya yang sedang sakit tak kunjung sembuh, beberapa teman yang kena diabetes, yang kena stroke, dan dan ada yang gagal ginjal, juga saudaranya di luar kota yang belum lama ini terkena serangan jantung dan harus dipasang ring. Ya Allah, aku belum pernah menjenguknya, kata batin Pak Bei dengan rasa ngilu.
“Wahai Bani Adam,” Khotib melanjutkan ceritanya, “Aku lapar, kenapa engkau tidak memberiku makan?” Bani Adam menjawab, “Ya Allah, bagaimana mungkin Engkau kelaparan, sedang Engkau pemilik seluruh alam?”
Allah berfirman, “Apakah engkau tidak melihat ada hambaKu si Fulan dan anak-anaknya sedang kelaparan lalu meminta makan kepadamu, namun engkau mengabaikannya? Sungguh, andai saja engkau memberinya makan, maka akan engkau dapatkan ridhoKu.”
Seluruh jamaah Jumat khusyuk memperhatikan Khotib mau meneruskan ceritanya. Mungkin saja masing-masing sedang berkecamuk perasaan dan pikirannya, mengingat betapa belum seberapa yang telah dilakukannya untuk membantu orang yang sedang kelaparan.
“Allah berfirman lagi,” Khotib melanjutkan, “Wahai Bani Adam, Aku kehausan, tapi engkau tidak memberiku minum.”
“Ya Allah, bagaimana mungkin Engkau kehausan, sedangkan seluruh alam raya dan segala isinya ini milikMu?,” jawab Bani Adam dengan takut-takut.
“Apakah engkau tidak tahu betapa hambaKu si Fulan sedang kehausan, sangat kehausan. Dan ketika dia datang kepadamu meminta minuman, engkau justru memalingkan wajahmu. Padahal kalau engkau memberinya minum, sungguh aku pasti meridhoimu.”
Seperti biasa, Khotib yang satu ini tidak memberi kesimpulan khotbahnya. Tampaknya dia sengaja membiarkan jamaah membuat kesimpulan sendiri-sendiri sesuai daya tangkap masing-masing. Dia tidak menggurui jamaahnya.
Usai sholat, jamaah pun bubar.
Masing terngiang di kepala Pak Bei dialog antara Allah dengan Bani Adam di hari kiamat nanti. Betapa malunya kalau kita diprotes Allah seperti itu, dileh-lehke kata orang Jawa, justru di saat kita sudah tidak mungkin lagi memperbaiki kesalahan dengan memperbanyak amal shaleh, di saat kita mengharap ampunan dan ridho-Nya. Betapa malunya kalau selama hidup ini, kita bukan hanya tidak mau menengok tetangga atau saudara yang sakit, tetapi justru yang menjadi penyebab tetangga, saudara, dan rakyat menjadi sakit massal, entah karena wabah atau pandemi, dan itu karena kita salah dalam pengambilan kebijakan terkait kesehatan masyarakat.
Betapa malunya nanti kalau diprotes Allah karena tidak memberi makan dan minum orang kelaparan dan kehausan, karena ternyata justru kitalah yang telah salah. mengambil kebijakan soal ketersediaan pangan dan air minum bagi rakyat.
Astaghfirullaahal’dziim….
#serialpakbei
Penulis: Wahyudi Nasution, pengurus MPM PP Muhammadiyah