Dr HM Ali Taher Parasong, merupakakan salah satu politisi senior Partai Amanat Nasional (PAN). Pada periode yang lalu, ia dipercaya menjadi Ketua Komisi VIII DPR RI. Sedangkan pada periode sekarang, ia dipercaya sebagai Ketua Fraksi PAN di MPR RI.
Ali Taher Parasong, terpilih dari daerah pemilihan Provinsi Banten. Putra Lamaholot ini, kelahiran kampung peradaban Islam Lamakera Solor Flores Timur Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dr Ali Taher, terlahir di Lamakera, sebuah kampung nelayan Muslim yang berada di ujung paling timur Pulau Solor. Di sekitar pulau ini, lautnya cukup berombak dan gelombang. Kondisi tanahnya kering, gersang, tandus dan berbatu. Di lahan itu, bila ditanam palawija sulit tumbuh. Tidak banyak tanaman yang bisa tumbuh di lahan itu. Namun, namun bila ditanami “kepala manusia” maka akan tumbuh manusia yang mampu menyinari peradaban. Dari daerah ini, bisa lahir berlian yang cemerlang.
Saat ini, Ali Taher, bagai bintang bersinar cemerlang di Parlemen Indonesia. Ia selalu terusik jika rakyat dan agama di negeri ini terutama agama Islam, agama umat mayoritas dipandang remeh. Ia terganggu jika Islam diacak acak oleh rezim berkuasa.
Tidak heran, jika Ali Taher berulang kali bersitegang seperti di video yang banyak disebar ketika sedang rapat kerja dengan Menteri Agama. Ia bicara keras akibat ulah Menteri Agama yang sering tidak proporsional dalam membuat penyataan publik. Pernyataan Menteri Agama yang dianggapnya membawa pesan tendensius bahkan mengusik kenyamanan umat Islam, tidak bisa dibiarkannya berlalu begitu saja.
Visi Negarawan
Dilihat dari sepak terjangnya, pergumulan politik di parlemen selama ini, maka dialah sejatinya salah satu sosok Parlemen Indonesia yang memiliki visi negarawan. Ia mampu berbicara lantang, tidak takut pada siapapun, argumentatif, mewakili perasaan pilu, resah cemas, ketertindasan, ketidakadilan oleh berbagai stigmatisasi seperti “radikal, teroris, intoleransi, fundamentalis,” yang dilabelkan pada umat Islam.
Bagaimana mungkin seorang Menteri Agama RI, pejabat negara, yang seharusnya mengayomi umat beragama, mengawal moral bangsa, bisa mengeluarkan pandangan stereotype seperti itu. Tetapi rupanya Menteri Agama M. Fachrurozi, Purnawirawan Jendral TNI AD ini memiliki cara pandang imparsial tentang umat Islam. Seakan dia tidak tahu sejarah perjuangan, dan saham yang diinvestasikan oleh umat Islam untuk negeri ini.
Mungkin menteri agama menggunakan kacamata rabun sehingga ia tidak bisa membaca secara obyektif tentang apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada umat Islam di tanah air dewasa ini? Mungkin juga dia menggunakan kacamata kuda, yang tidak bisa melihat sisi lain secara sempurna, tentang perjuangan umat Islam dan dan tokoh-tokoh Islam di negeri ini.
Anehnya, sejak ia menjabat sebagai menteri agama, seringkali menciptakan pernyataan kontroversial sekaligus kontraproduktif yang menyudutkan dan mendiskreditkan umat Islam. Pernyataan itu bahkan, seringkali mengganggu suasana batin umat Islam dalam bernegara.
Bahkan Menteri Agama seolah olah memandang rendah martabat peradaban umat Islam. Tidak heran jika kemudian muncul kesan, ia memperlakukan umat Islam seperti musuh negara, sehingga perlu dikawal oleh berbagai regulasi dan norma. Seakan umat Islam di Indonesia dipandang sebagai kelompok yang menjadi sumber kerusuhan dan demoralitas bagi negara. Ia seakan-akan menempatkan umat Islam Indonesia kesudut, kemudian dicap sebagai musuh utama bagi negara. Konsekuensi dari pandangannya ini, kemudian lahirlah ide agar para mubaligh dan pendakwah disertifikasi.
“Serangan lain”
Di sebuah forum, Menteri Agama RI, Jendral Purn M Fachrurozi kembali meledakkan “bom” yang mengejutkan umat Islam. Ia memandang, radikalisasi bermula dari membaca Al-Qur’an yang fasih, lancar, dengan lagu indah berbahasa Arab yang fasih, bisa menjadi imam, menjadi khotib kemudian mengelola masjid dan menjadi pengurus masjid. Dari sinilah akar mula pintu masuk radikalisme.
Pernyataan menteri agama ini, tentu terkesan asal bunyi. Ia seperti tidak mempunyai tim riset yang kredible. Apa ia tidak punya tim ahli yang profesional? Pasalnya, menag mendapatkan input yang anomali dan ambigu. Boleh jadi menteri agama tidak selektif membaca data, asal bicara. Namun kalau ini yang terjadi, tentu sangat disayangkan kualitas Menteri Fachrurozi seperti ini. Sebuah posisi yang amat penting, posisi sebagai “pengurus” agama-agama di Indonesia.
Menyimak pikiran menteri agama yang demikian, bisa membuat orang takut membaca dan mendalami pesan Al-Qur’an. Membuat orang takut dicap radikal, atau mendapatkan referensi untuk menjadi radikal. Ini tentu saja, sama halnya dengan melarang orang Islam untuk membaca Al-Qur’an alias meninggalkan Al-Qur’an.
Padahal, semua Muslim tahu dan berkeyakinan, bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk hidup dan ilmu bagi manusia dalam menjalani kehidupan.
Jika saja umat Islam di negeri ini tidak lagi membaca Al-Qur’an, maka Muslim menjadi lemah secara mental. Umat Islam akan kehilangan panduan hidup, dan mentalitasnya lemah. Umat Islam akan hilang panduan yang digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agama adalah moral bangsa dan negara, sedang Al-Qur’an merupakan pedoman moral beragama. Jika warga negara tidak membaca Al-Qur’an, berarti kehilangan pedoman beragama. Jika umat Islam tidak menjalani ajaran agama dan pesan moralnya, maka negarapun akan runtuh dengan mudah.
Inikah cara halus pemerintahan Joko Widodo menggelar proyek sekularisasi dan pendangkalan aqidah umat Islam? Inikah cara pemerintah sekarang mengajak kaum Muslimin meninggalkan Al-Qur’an?
Subhanallah sungguh paradoks dan membingungkan pernyataan Menteri Agama. Maka tidak salah jika Ali Taher menilai bahwa Jendral Purn M Fachrurozi pantasnya menjadi Menteri Pertahanan atau Menkopolhukam, ketimbang menjadi menteri agama. Pasalnya, menteri agama gagal paham dalam menjalankan tugas utamanya sebagai menteri agama.
Kebenaran
Sejatinya, para muballigh hanya berdakwah menyampaikan risalah kebenaran, pesan keillahian yang telah diteladani dalam tradisi profetik Nabi Muhammad SAW. Muballigh bertugas mengingatkan para penyelenggara negara agar amanah, adil dalam menjalankan roda pemerintahan. Pemerintah diingatkan agar peduli dan memihak serta memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat.
Pemerintah diingatkan untuk fokus melayani kedaulatan rakyat, dan tidak memecah belah rakyat untuk memperoleh imbalan dari pihak lain. Muballigh menuntut agar pemerintah memberikan perhatian pada tata kelola pemerintahan, agar sanggup mewujudkan keadilan sosial bagi segenap warga negara Indonesia.
Faktanya, para muballigh dihadapkan dengan kekuasaan. Dalam kondisi inilah, Dr Ali Taher tampil mewakili suara rakyat, saat ratusan anggota parlemen bungkam karena kuat koalisi pro Presiden Joko Widodo. Inilah nasib buruk negara besar, plural tapi tanpa partai oposisi dan nurani.
Ada kekhawatiran, pemerintahan Joko Widodo dan kabinetnya gagal mengurus negara, gagal mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat, gagal menjalankan perintah konstitusi. Namun, mereka mencari alasan atas kegagalannya dengan mengobok-obok umat Islam. Mereka membuat kamuflase, agar masyarakat tidak tahu akar masalahnya.
Sosok
Dr HM Ali Taher Parasong, anak yatim dan miskin, meninggalkan kampung dan bermigrasi ke Jakarta sejak kelas tiga SD. Di Jakarta, ia belajar sambil membantu pihak sekolah menyiram taman di halaman sekolah. Ia menyiapkan minuman untuk para guru. Ketika di SMP dan SMA, ia aktif di OSIS dan Remaja Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Setelah lulus dari SMA, Ali Taher melanjutkan kuliah di fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Ia kemudian berkiprah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan usai itu aktif di Pemuda Muhammadiyah. Puncak kegiatan kepemudaan, ia menjabat sebagai Sekjen Pemuda Muhammadiyah saat Prof Din Syamsuddin duduk sebagai Ketua Umum.
Sebagai anak kampung yang diliputi berbagai problem sosial rumit, Ali pemuda yang dinamis ini, mentransformasi kemiskinan dan keyatimannya dengan iman dan estimologi profetik. Ia mampu mentransformasikan masa lalu yang pahit getir dan suram, dengan paham optimistik. Ali menanjak langkah ikhtiar merebut dan menjemput perubahan.
Selain itu, dalam kehidupan organisasi serumpun di Muhammadiyah itu, turut membentuk watak dan karakter Ali sebagai aktivis Islam yang berhaluan ideologi Pancasila. Sebuah pemahaman yang dinsyafi oleh Islam. Tentu dinamika pergerakan kemahasiswaan dan kepemudaan, juga turut mewarnai institusi moralitas pribadi Ali sebagai seorang Muslim Indonesia yang kaafah.
Dalam perjalanannya, tidak heran jika sosok Ali Taher kemudian tumbuh menjadi politisi berkarakter tegas tapi santun, terpelajar, terdidik dan berintegritas layaknya Abul A’la almaududi di Pakistan atau M Natsir di Indonesia.
Sekali lagi, dialah sejatinya politisi Indonesia, berbicara di atas landasan konstruksi iman, ilmu dan akhlaq. Sebagai politisi senior, ia hadir mewakili suara bangsa. Ia berbicara saat anggota kabinet, parpol tengah banyak yang bungkam di bawah kendali oligarki dan kekuatan modal. Negara ini, seolah dijalankan tanpa ilmu dan moralitas sebagai negarawan.
Bagi mereka yang mengaku muballigh, ustadz, ilmuwan Muslim, ulama yang berada di dalam istana dan lingkungannya, mana suaramu? Di mana iman, ilmu dan akhlaq kalian sebagai pekerja negara? Apakah kalian hanya bisa beretorika, berkoar-koar menjadi alat kekuasaan? Apakah kalian tidak punya rasa malu menghina, menghardik para ulama, tokoh Islam, aktivis Islam dan ormas Islam yang tengah berjuang bagi tegaknya keadilan di tanah air tercinta.
Ali, menolak semua narasi yang dibangun oleh menteri agama. Ali justru memberikan pandangan optimistik, bahwa umat Islam di Indonesia, tidak seperti yang disangkakan oleh menteri agama. Umat Islam di Indonesia, merupakan pengawal negeri ini. Umat Islam Indonesia, tetap memegang paradigma Islam sebagai rahmatan lilalamin, Islam rahmatan lil Indonesia.
Penulis: MHR. Shikka Songge, Peneliti Politik dan Sosial Keagamaan CIDES.