Teman saya menghadapi dilema gara-gara punya ambulans medis. Ia harus memutuskan: Jasa ambulans sebaiknya berbayar atau gratis?
Sekali berarti sesudah itu mati. Banyak program pelayanan sosial tanpa biaya yang bernasib seperti pepatah itu. Gratis di awal. Kemudian kehabisan amunisi. Mau menarik biaya terlanjur malu. Akhirnya mati suri.
Donasi yang diharapkan tak kunjung datang. Kalau pun ada, nilainya tak cukup. Tekor melulu. Akibatnya panjang: Orang yang bekerja tidak mendapat honor layak. Peralatan kerja tidak terawat dengan baik. Akhirnya rusak dan tidak bisa meremajakan lagi.
Salah satu pelayanan sosial yang sering mati suri adalah jasa ambulans: Baik ambulans medis maupun ambulans jenazah yang disediakan secara gratis. Tanpa donasi yang memadai, jasa ambulans sulit disediakan secara kontinyu karena tidak bisa membeli BBM, bayar tol, parkir, honor petugas, beli APD dan merawat mobilnya.
Kondisi itu yang mendorong saya sebagai komisaris SSU Ambulance untuk menerapkan jasa layanan sosial ambulans berbayar. Motifnya bukan mencari keuntungan, melainkan untuk memastikan keberlangsungan jasa pelayanan sosial itu.
Kisah yang terjadi di Depok, Jawa Barat, bisa menjadi pelajaran berharga. Pengurus RW terpaksa memotong bantuan pemerintah untuk jaring pengaman korban Covid-19 senilai Rp 50.000 per orang.
Potongan itu tidak ditilep pengurus RW, melainkan digunakan untuk memperbaiki ambulans milik RW yang rusak berat selama melayani warga yang terpapar Covid-19. Dana juga dipakai untuk menyediakan kain kafan gratis kepada warga yang meninggal akibat pandemi.
Pelajaran penting dari kasus Depok adalah, layanan sosial maupun komersial sama-sama membutuhkan ongkos. Penyedia layanan harus bisa mencari sumber dana untuk menutup ongkos itu: Bisa dari donasi. Bisa dari pembayaran pengguna jasa.
Walau duduk perkaranya terang-benderang, tetap saja masih ada yang berpendapat agar layanan sosial seperti ambulans medis maupun jenazah disediakan secara gratis.
Saya berpendapat sebaliknya. Menurut saya, yang diperlukan masyarakat sebenarnya jasa transportasi khusus pasien dan jenazah. Kebutuhan ini tidak bisa dilayani taksi pada umumnya. Hanya bisa dilayani ‘taksi khusus’ yang disebut ambulans itu.
Bagaimana kalau pengguna jasa ambulans berkategori tidak mampu secara ekonomi? Apakah harus berbayar? Terhadap pengguna jenis ini, tentu pengelola ambulans harus punya layanan yang bersifat khusus pula. Orang miskisn boleh mendapat layanan secara gratis. Semua biaya menjadi tanggungan operator.
Dari mana sumber dana operator untuk layanan gratis? Bergantung pada pintar-pintarnya operator ambulans.
SSU mencadangkan dana untuk pelayanan gratis dari tiga sumber: Pertama, penyisihan sebagian keuntungan perusahaan. Kedua, kerjasama dengan lembaga amil zakat. Ketiga: bundling dengan layanan kesehatan.
SSU Ambulance menyisihkan sebagian uang dari setiap transaksi sebagai infak. Dana yang dikumpulkan digunakan untuk membiayai pelayanan ambulans gratis.
Dalam kerjasama dengan lembaga amil zakat, SSU Ambulans menjadi vendor atau mitra. Sepanjang order datang dari lembaga amil zakat, SSU Ambulance akan menggratiskan biaya kepada pengguna jasa. Lembaga amil zakat itulah yang membayar semuanya.
Saat ini SSU Ambulance juga tengah merancang produk layanan baru: Bukan mengangkut pasien. Bukan mengangkut jenazah. Jasa baru itu adalah jasa sunatan keliling dengan menyulap ambulans medis sebagai sarana transportasi dokter dan perawat ke rumah pengguna jasa. Biaya ambulans sudah masuk ke dalam jasa sunatan.
Semoga bermanfaat.