30.1 C
Jakarta

Amien Rais Yang Saya Pahami

Bagian Pertama Dari Empat Tulisan

Baca Juga:

Membincang nama Amien Rais, sebagian publik tidak jarang mengkaitkannya dengan empat hal yang cenderung berbau negatif: kontroversi, ambisius, tokoh reformasi yang gagal, dan aktor di balik lengsernya Gus Dur sebagai Presiden RI. Tulisan yang saya tulis secara bersambung ini mencoba untuk mengurai keempat hal tersebut, tentu saja sesuai dengan apa yang saya pahami tentang sosok Amien Rais.

Dalam posisi sebagai aktivis Muhammadiyah dan kebetulan secara politik, saat ini saya juga dalam kapasitas sebagai caleg dari Partai Amanat Nasional (PAN), bisa jadi pembaca akan menyangsikan obyektivitas tulisan ini. Tentu itu sah saja dan hak pembaca untuk menilainya. Namun, sebagai orang yang hingga saat ini masih berkecimpung di dunia akademik, saya mencoba menulis seobyektif mungkin.

Sosok Kontroversi

Terdapat kecenderungan umum bahwa kontroversi yang dilakukan seseorang identik dengan kecerdasan yang dimilikinya. Kontroversi selalu lahir dari orang-orang cerdas, meskipun tidak selalu orang cerdas tampil kontroversi. Tengok saja tiga orang yang paling saya kagumi: Nurcholish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Amien Rais.

Cak Nur dan Gus Dur selama hidupnya kerap melontarkan gagasan-gagasan konrtoversial. Begitu pun Amien Rais, hingga kini masih kerap memproduk kontroversi. Gagasan Cak Nur yang cukup kontroversi adalah gagasan soal “Islam Yes, Partai Islam No”. Ketika gagasan ini dilihat dalam konteks zamannya sebenarnya biasa saja. Cukup bisa dipahami. Lalu perspektif Cak Nur tentang tauhid, di mana Cak Nur menafsirkan tauhid (syahadat tauhid) sebagai “tiada Tuhan selain Tuhan”. Perspektif Cak Nur ini sempat heboh dan menjadi polemik panjang di awal 1990-an. Dalam beberapa forum diskusi, Cak Nur sempat “diadili” karena gagasannya ini.

Begitu juga Gus Dur, rasanya terlalu sering melontarkan gagasan dan sikap kontroversi. Di antaranya adalah akrobatik politik Gus Dur menjelang penerimaan asas tunggal Pancasila. Selain KH. Ahmad Siddiq, Gus Dur bisa disebut sebagai motor penerimaan NU atas asas tunggal Pancasila. Bahkan di kala UU Keormasan belum disahkan, NU sudah memutuskan menerima asas tunggal Pancasila melalui Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo. Pasca Peristiwa Tanjung Priok 1983 yang menewaskan ribuan umat Islam karena ulah tentara, Gus Dur mengajak LB Moerdani, Panglima ABRI (TNI) keliling ke beberapa pesantren. Gus Dur menawarkan konsep pribumisasi Islam. Mengubah assalamualaikum menjadi selamat pagi, siang atau malam. Membela Arswendo dalam kasus Tabloid Monitor di kala umat Islam marah akibat survei yang dilakukan tabloid milik Kompas Grup, yang dinilai melecehkan Rasulullah.

Bukan hanya kontroversi, langgam Gus Dur dalam berpolitik juga menarik, terlebih saat berhadapan dengan rezim Orde Baru. Dan langgam yang paling menarik adalah ketika berhadapan dengan rezim Orde Baru pada Muktamar Cipasung 1994. Dengan gayanya bak “pendekar mabok”, Gus Dur berhasil mengalahkan rezim Soeharto yang mencoba melengserkan dari jabatannya sebagai Ketua Tanfidziyah. Saya sangat menyukai dan menikmati langgam politik Gus Dur ini.

Selanjutnya Amien Rais. Mantan orang nomor satu Muhammadiyah ini adalah satu di antara tiga tokoh yang saya kagumi yang sampai saat ini masih sehat walafiat. Semoga Amien Rais selalu diberi kesehatan dan dipanjangkan usianya.

Seperti halnya Cak Nur dan Gus Dur, Amien Rais juga termasuk tokoh yang hingga kini nyaris tak pernah berhenti memproduk kontroversi. Gagasan-gagasannya juga kerap mengundang perdebatan. Amien Rais adalah orang yang mula pertama menawarkan gagasan soal tauhid sosial dan tauhid politik. Ketika di awal 1990-an orang masih tabu dan penuh ketakutan –termasuk di internal Muhammadiyah– bicara soal suksesi kepemimpinan nasional, Amien Rais dengan lantang menyuarakan suksesi nasional melalui makalahnya yang cukup terkenal: “Suksesi 1998 Suatu Keharusan”. Beragam konsekuensi dari teriakan lantangnya ini diterima Amien Rais, seperti penghadangan yang dilakukan rezim Soeharto untuk menjadi Ketua PP Muhammadiyah saat Muktamar Aceh 1995. Amien Rais juga diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI).

Di kala para ilmuwan dan politisi diam membisu menyikapi pertambangan-pertambangan asing di Indonesia, Amien Rais teriak lantang dan menggugat keberadaan pertambangan-pertambangan asing tersebut, terlebih Freeport di Tembagapura Papua dan. Dalam kapasitas sebagai ilmuwan politik bergelar Guru Besar, Amien Rais menawarkan gagasan yang cukup berani dan tentu dengan resiko politik yang tidak kecil: Negara Federal.

Gagasan ini mendapat reaksi, tentangan dan hujatan dari banyak pihak. Bahkan gagasan kontroversi ini menjadi alat buruk untuk kampanye negatif ketika Amien Rais maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2004.

Berbeda dengan Gus Dur yang langgamnya seperti “pendekar mabok” atau kalau petinju itu ibarat Muhammad Ali yang mempunyai footwork cukup bagus ketika berada di atas ring, maka sosok Amien Rais itu ibaratnya seperti petarung gulat Mixed Martial Arts (MMA): pukulannya keras dan mematikan serta kritis dan tutur bahasanya lebih sering memakai diksi-diksi yang sangat tajam, seperti tauhid sosial dan tauhid politik. Seorang Muslim biasa mendengar kata tauhid, tapi rasanya tak pernah mendengar istilah tauhid sosial dan tauhid politik.

Amien Rais kerap berhasil menciptakan polemik tentang sesuatu yang sebenarnya bukan hal baru. Misalnya polemik tentang “Partai Tuhan” dan “Partai Syaitan”. Bagi mereka yang pernah belajar pemikiran politik Barat, polemik ini sama sekali bukan hal baru. Polemik ini sudah muncul pada akhir abad ke-4 Masehi seiring munculnya tawaran gagasan Santo Agustinus berupa “Negara Tuhan” dan “Negara Iblis”.

Terkait pernyataan Amien Rais bahwa “Tuhan malu kalau tidak menerima doa kelompok anti-Jokowi” sebenarnya bagi siapapun yang kerap membuka-buka Hadis yang berkenaan dengan doa, maka akan ditemukan banyak hadis sebagaimana dimaksud Amien Rais (Tuhan malu kalau tidak mengabulkan doa hambanya). Bahwa Amien Rais mengaitkannya dengan Jokowi itu soal tafsir dan sah saja. Pihak yang berseberangan dengan Amien Rais juga boleh saja menafsirkan Hadis tersebut dengan pemahaman sebaliknya.

Mungkin ada yang tidak suka dengan langgam Amien Rais, namun bagi saya langgam yang ditampilkan Amien Rais sangat dibutuhkan, terlebih ketika berhadapan dengan rezim yang bebal, yang tak mudah paham dengan bahasa yang santun dan metafora. Andai tidak ada suara kritis dan keras Amien Rais, yang sering disebut banyak orang sebagai orang yang tak lagi punya urat takut, tentu cerita Indonesia saat ini akan berbeda. Andai tak ada Amien Rais, maka bisa jadi terjadi kompromi politik di Istana di sekitar Mei 1998.

Sampai dengan saat ini, di usianya yang tidak muda lagi, Amien Rais termasuk orang yang istiqamah dengan langgamnya yang kritis, penyampaian gagasannya yang tajam dan penuh diksi. Bandingkan dengan tokoh-tokoh seusianya. Kebanyakan sudah mengambil posisi politik yang konservatif, tidak berani neko-neko dengan mengambil posisi oposisi, berhadapan dengan penguasa. Sikap kritis Amien Rais saat ini adalah gambaran sikap Amien Rais ketika masih menjabat sebagai Ketua PP. Muhammadiyah, tanpa pamrih kekuasaan. Bersambung. — Kereta Api Tegal Bahari, Senin (13/8/2018). Ma’mun Murod Al-Barbasy, Guru Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!