JAKARTA, MENARA62.COM – Industri tembakau harus mengakui secara terbuka bahwa produknya berbahaya dan limbah produknya termasuk sampah B3 (bahan berbahaya beracun) sehingga dapat menimbulkan dampak lingkungan bahkan merusak ekosistem. Karena itu sudah seharusnya bertanggung jawab atas segala dampak yang ditimbulkan.
Selain itu, industri tembakau juga harus menghentikan segala bentuk manipulasi seolah-olah peduli terhadap lingkungan (kegiatan greenwashing). Padahal yang dilakukan justru hanya untuk mengalihkan atau menutup perhatian publik, dan tidak sepadan dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Benang merah ini menjadi isu mengemuka dalam webinar bertema “Dampak Lingkungan Akibat Industri Tembakau: Antara Solusi Palsu dan Tanggung Jawab yang Seharusnya” yang digelar empat organisasi: Lentera Anak, Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), Ecoton Indonesia dan World Clean-up Day Indonesia, melalui zoom meeting, pada Jum’at, 27 Mei 2022, sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2022.
Dina Kania, National Profesional Officer for Policy and Legislation, memaparkan semua proses pembuatan rokok konvensional, mulai dari pembudidayaan, produksi, distribusi, dan limbah produk tembakau, berkontribusi terhadap perubahan iklim dan mengurangi ketahanan iklim, dengan membuang sumber daya dan merusak ekosistem.
“Dari sisi dampak pembukaan lahan, dan kecenderungan membuka lahan perawan untuk perkebunan tembakau, menimbulkan penggundulan hutan, dan berefek negatif terhadap sumber daya hutan,” jelasnya.
Budidaya tembakau juga berkontribusi sebesar 5% terhadap kerusakan hutan global dan tidak memungkinkan peremajaan tanah atau perbaikan komponen ekosistem pertanian lainnya. Produksi rokok mengakibatkan 5% penggundulan hutan global (sampai dengan 30% di negara penanam tembakau).
Dari sisi dampak produksi, distribusi dan konsumsi, dalam 30 tahun terakhir konsumsi tembakau di Indonesia meningkat pesat, antara lain didorong harga rokok yang murah dan dijual batangan, strategi distribusi dan pemasaran industri rokok yang massif dengan menyasar anak dan remaja, dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya rokok.
“Setiap produsen wajib bertanggungjawab terhadap sampah kemasan, produk, dan kemasan produknya, atau biasa kita kenal dengan istilah Extended Producer Responsibility (EPR). Alih-alih membuat sistem yang tepat untuk mengelola produk mereka, yakni sampah rokok konvensional dan rokok elektrik beserta kemasannya, industri tembakau malah berinvestasi melakukan greenwashing untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kerugian lingkungan yang mereka timbulkan,” kata Rahyang Nusantara, Koordinator Nasional Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP),
Menurut Rahyang, usaha penghijauan yang mereka lakukan tidak sepadan dengan kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan. Misalnya ketika mereka gencar mengolah sampah puntung rokok menjadi produk daur ulang lain. Produk daur ulang tersebut masih dipertanyakan keamanannya baik dari segi proses maupun produk jadinya. “Ini seharusnya disiapkan dulu baku mutunya sehingga dapat memitigasi dari potensi racun yang dapat tersebar ke lingkungan,” tambah Rahyang.
Data menunjukkan, konsumsi rokok mengakibatkan 4,5 triliun puntung rokok dibuang setiap tahun di seluruh dunia, yang menyumbangkan 766 juta ton sampah beracun setiap tahun, dua juta ton limbah padat dari kardus dan kemasan rokok. Fakta lain bahwa Indonesia menjadi negara nomor dua penyumbang sampah di laut setelah China, ditemukan 187,2 juta ton sampah di laut Indonesia, dan sampah puntung rokok menjadi sampah terbanyak yang ditemukan.
Data The Ocean Conservancy yang setiap tahun mensponsori International Coastal Cleanup (ICC) yakni kegiatan bersih-bersih badan air di seluruh dunia, menunjukkan, dalam 25 tahun terakhir relawan ICC mengumpulkan sekitar 53 juta puntung rokok. Bahkan ditemukan 33,760 batang rokok di perairan Indonesia pada event The Beach & Beyond 2019.
Eka Chlara Budiarti, Peneliti Ecoton, menguatkan pernyataan Rahyang dengan mengutip studi terkini tentang banyaknya temuan pencemaran limbah puntung rokok baik di daratan maupun lingkungan perairan. “Ada sekitar 5.6 triliun puntung rokok atau setara dengan 845.000 ton puntung rokok di seluruh dunia yang dibuang per tahunnya,” kata Eka Chlara.
Temuan di pesisir mediterania menemukan ada setidaknya 2 juta punting rokok, dan ini lebih banyak daripada sampah jenis lainnya, seperti kantong plastik, tutup botol maupun sachet.
Eka menjelaskan, limbah rokok yang mencemari ini tidak dapat di daur ulang bahkan butuh 30 tahun terurai di alam. “Bahkan yang menjadi problem adalah, apakah benar akan terurai? Karena peneliti dari Spanyol pada tahun 2021melaporkan, setidaknya dalam satu puntung rokok memiliki 15.600 helai fiber. Dan Ketika puntung rokok itu terlepas ke lingkungan terutama di perairan maka dapat menghasilkan mikroplastik yang terlepas sebanyak 100 partikel/hari, dimana mikroplastik ini diyakini sama banyak dengan limbah cucian baju,” tegasnya.
Mengingat urgensi yang serius akibat dampak lingkungan yang ditimbulkan limbah puntung rokok, Sri Bebassari, Ketua Dewan Pembina Indonesia Solid Waste Association (InSWA), menegaskan industri harus bertanggung jawab. “Tanggung jawab produsen industri rokok sesungguhnya sudah diatur dalam UU No.18 Tahun 2008 yang mewajibkan produsen mempunyai kendali dalam limbah hasil produksinya,” kata Sri.
“Industri rokok harus memastikan bahwa produk yang mereka pasarkan sudah memperhitungkan dampak lingkungan, yakni bagaimana setelah produk dikonsumsi industri rokok harus mempertanggungjawabkannya dari segi EPR kemana sampahnya harus dibuang, atau bagaimana sampah itu harus diperlakukan, dan bukan sebagai CSR”, tegasnya.
Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak, menyatakan aturan perundang-undangan telah jelas menyebutkan bahwa rokok berdampak terhadap kesehatan dan lingkungan. Dalam UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan, penggunaan rokok harus dilakukan pengamanan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan serta lingkungan. Dan UU Cukai juga mengatur cukai untuk rokok karena berdampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.
“Kedua undang-undang ini memastikan bahwa peredaran rokok harus memastikan pengelolaan terhadap kesehatan dan lingkungan,” kata Lisda.
“Mengingat dampak kesehatan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan industri rokok, kami meminta Pemerintah membuat kebijakan yang kuat dan tegas untuk menangani dampak lingkungan yang disebabkan industri tembakau dan mengajak masyarakat untuk mengurangi konsumsi tembakau sebagai bentuk kepedulian lingkungan dan Kesehatan,” pungkasnya.