Apakah Outcome Pilkada 2017 Bisa Eliminasi Korupsi Politik?
Oleh Iman Kosambi
Pilkada 2017 sudah ditekadkan untuk dilaksanakan secara demokratis dan harus berintegritas, karena kita tidak menginginkan outcome Pilkada 2017 hanya menghasilkan koruptor-koruptor baru, karena fakta sebelumnya menunjukkan banyak pemenang Pilkada yang tidak lama menjabat tersangkut kasus korupsi, karena dengan sistem Pemilu yang mahal dan budaya korupsi, maka yang terpilih atau menjadi pemenang Pilkada belum tentu Paslon yang baik, sebab mereka bisa saja seperti musang berbulu ayam.
Kita harus ingat bahwa Lembaga anti-korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru ini menyatakan bahwa tren pemberantasan korupsi selama tiga tahun terakhir di Indonesia mengalami peningkatan. Pada 2013 lalu jumlah tersangka kasus korupsi berjumlah 1271 orang, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 401 orang dan 436 pada 2011. Dari semua tersangka yang korupsinya meningkat secara signifikan kata ICW adalah kepala daerah.
Sementara, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri sejak pemilihan kepala daerah diberlakukan pada 2005 hingga Januari 2014, ada 317 dari 524 kepala daerah melakukan korupsi. Efek dari korupsi kepala daerah, juga melanda birokrasi di daerah dimana ketika kepala daerah terkena persoalan korupsi, birokrasi di level bawah seperti sekretaris daerah, kepala dinas dan bendahara juga ikut terkena. Data Kementerian Dalam Negeri, menyebutkan hampir 2.000 pegawai sipil terjerat kasus korupsi. Efeknya, menurutnya, juga kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dia mengatakan sejak pilkada langsung ada sekitar 3.000 lebih anggota DPRD baik di provinsi maupun kabupaten/kota terkena kasus korupsi.
Outcome Pilkada dikaitkan dengan mampu menghasilkan pemimpin dengan kepemimpinan yang baik atau tidak akan tergantung beberapa faktor antara lain: budaya korupsi; politik bisnis dan sistem Pemilu.
Pemilihan kepala daerah secara langsung berkorelasi positif atau sangat berhubungan dengan terjadinya kasus korupsi di daerah. Biaya kepala daerah yang tinggi merupakan salah satu penyebabnya. Beban APBD melalui mekanisme pengelolaan keuangan yang korup, itu yang menyebabkan timbulnya kasus-kasus kepala daerah yang terkena proses hukum itu.
Pemilihan langsung memerlukan pemilih yang sudah punya pendidikan yang baik, ekonomi yang baik dan aktor-aktor yang sudah memiliki kesadaran politik yang baik serta penyelenggara pemilu yang profesional, independen dan bukan yang memihak, dan itu belum cukup dimiliki saat ini.
Namun, ada juga yang menolak dengan alasan menghilangkan pemilihan kepala daerah langsung sangat tidak relevan karena yang harus dibenahi adalah penyelenggaraan pemilunya, dimana kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu ditambah sehingga bisa menjadi tegas.
Perangi Korupsi Politik
Kita sudah memasuki rezim anti money politik, calon harus bersih dan sebelumnya sudah melaporkan harta kekayaan termasuk sumber harta kekayaan dan cara mendapatkannya serta Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsidan, Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: KEP. 07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Menurut hasil pemantauan KITRA, selama ini pelaporan laporan harta kekayaan hanya sebatas formalitas dan perlu diketahui dari mana sumber harta kekayaan yang mereka miliki dan sampai saat ini tidak ada yang memonitoring perkembangan harta kekayaan selama menjabat ada kenaikan yang mencurigakan atau tidak dan permasalahan sumbangan keuangan selama kampanye harus reil dari mana saja dan saya berharap laporan harta kekayaan pejabat negara jangan seremunial saja.
Walaupun kalangan yang lain menilai, sesungguhnya laporan harta kekayaan pejabat publik kita lebih baik dari sebelumnya dan harta yang didapat ini layak tidak dengan jabatan aparatur sipil dan pengumuman harta kekayaan akses publik harus dibuka.
Pilkada Jakarta termasuk Pilkada di daerah lainnya sangat memerlukan pengawasan kepada semua Paslon dan perlu diingat calon kepala daerah bicara soal mensejahterakan rakyat dan ini terkait dengan pengelolaan APBD dan mendorong masyarakat untuk cerdas dalam memilik kandidat, sistem akuntabilitas perlunya masyarajat ikut dalam perencanaan dalam menentukan anggaran guna memutus matarantai keterlibatan elit – elit politik yang tidak bertanggung jawab yang menggerus APBD karena mensejahterakan masyarakat dari bagaimana pengelolaan APBD.
Korupsi Pilkada menghasilkan korupsi-korupsi baru pada masa mereka menjabat dan bandrol dari partai politik mempengaruhi korupsi karena mereka ingin baleh modal dan dinasti jabatan juga mempengaruhi korupsi.
Tantangan kita masalah anggaran uang yang di beri dari pusat kedaerah sangat besar perlunya pengawasan agar uang yang besar tidak salah di gunakan dan perlunya mencari pemimpin dalam Pemilu yang berkualitas adalah pemilu yang mengedepankan sportifitas, netralitas, transparansi, jujur dan adil, baik dari penyelenggara pemilu maupun kompetisi antara masing-masing kandidat yang bertarung di pesta demokrasi lima tahunan.
Hal ini tentu untuk merangsang partisipasi aktif para konstituen agar dapat memilih kandidat terbaik demi sebuah kemajuan di berbagai aspek hidup yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat pemilihnya, penyerahan harta kekayaan adalah menguji integritas masing – masing calon, posisi kepala daerah bisa menjadi teladan dan kehancuran karena harus berhadapat dengan birokrasi yang sudah lama disitu perlu soal komitmen dari masing – masing kepala daerah.
Penulis adalah peneliti di Center of Risk and Strategic Inteliggence Assessment (Cersia), Jakarta.