26.4 C
Jakarta

Apakah Surga Itu Seperti Cerita Kitab Suci ?

Baca Juga:

Opini : Yudhie Haryono | Rektor Universitas Nusantara

JAKARTA, MENARA62.COM — Mengingat diskusi-diskusi kita soal ilmu psikoanalisis sebagai teori yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dalam menganalisis psikologis manusia, adalah menangisi kepergianmu. Selalu kuingat engkau bilang, sambil mengutip Freud, “tingkah laku manusia itu didominasi oleh alam bawah sadar yang berisi id, ego, dan super ego. Karenanya, psikoanalisis memiliki tiga penerapan sekaligus: 1)Merupakan metode penelitian dari pikiran; 2)Merupakan ilmu pengetahuan sistematis mengenai perilaku manusia; 3)Merupakan metode perlakuan terhadap penyakit psikologis atau emosional.

Kini diskusi-diskusi itu sudah tak ada. Sekitarkupun kini tinggal hewan-hewan tanpa nalar. Mereka mati sebelum mati. Seperti kini sepi sepeninggalmu ke surga. Kenapa begitu? Sebab inilah akhir id dan logos. Inilah kemenangan uang, zaman keuangan yang maha kuasa. Dan, mereka tak sempat melawannya.

Kasih. Engkau sering berkata lantang padaku, “kalau ilmumu tak berfungsi menghancurkan kemiskinan dan kesakitan warga miskin, ilmumu palsu! Jika kekuasaanmu tak berguna memastikan keadilan, kesejahteraan, keadilan sosial dan kemakmuran warga miskin, kekuasaanmu palsu!”

Agar tak palsu, katamu aku harus kritis. Kapanpun dan di manapun. Lalu, engkau mengutip fatwa Acep Iwan Saidi (2017), “Pengkritik adalah orang yang membuatmu ingat, tapi kamu selalu melupakannya. Pemuja adalah orang yang membuatmu lupa, tapi kamu selalu mengingatnya.”

Tetapi, aku terlalu sering di surga. Atau merasa, lebih tepatnya. Kata orang, “surga adalah tempat penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan karena tak ada hukum, dosa, kesedihan dan penyakit bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa.”

Tuhan dipersepsikan menciptakan berbagai macam surga dengan tingkatan dan keistimewaan yang berbeda-beda. Surga sendiri berasal dari bahasa Arab al-Jannah. Artinya taman dan kebon keindahan, kesempurnaan, kedamaian.

Jika bacaan diperluas, kata surga (Sanskerta: translit atau svarga. Bahasa kawi: kahyangan atau kayangan) bermakna tempat di alam akhirat yang dipercaya oleh para penganut beberapa agama sebagai tempat berkumpulnya roh-roh manusia yang semasa hidup di dunia berbuat kebajikan sesuai ajaran agamanya.

Bahkan kisah reruntuhan kuil Ekur di Nippur, diyakini oleh orang Mesopotamia kuno sebagai “Dur-an-ki”, “tali penambat” surga dan bumi. Dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia kata svarga diserap menjadi sawarga (Sunda), suruga (Makassar), sorge (Sasak) sarugo (Minangkabau) dan swarga (Jawa). Sedangkan dalam bahasa Hokkian digunakan istilah thian.

Kata para kyai, macam surga itu banyak. Ada firdaus, adn, naim, darussalam, ma’wa, darul muqamah, maqamul amin, dan khuldi. Tetapi semua merujuk pada imaji manusia akan kenikmatan dan keadilan sosial yang tak didapatkan saat hidupnya di dunia.

Lalu, apa itu keadilan sosial? Yaitu kondisi individu dan masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan dan didapatkan oleh semua secara gratis. Tentu ini visi utopis. Karenanya, keadilan sosial selalu ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, melalui pemerataan sumber daya agar kesenjangan sosial ekonomi, kemiskinan struktural dan pengangguran di tengah-tengah masyarakat dapat dihapuskan.

Jika realitas keadilan itu mengejawantah maka nilai-nilainya bisa ditengarai dengan: a)Tertradisinya perilaku adil pada semua orang sesuai hak dan kewajibannya; b)Terawatnya keseimbangan hak dan kewajiban diri sendiri; c)Suburnya sikap saling menghormati hak-hak orang lain; d)Terjaganya mentalitas memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan secara adil.

Ternyata ini konsep dari ketakberdayaan. Ternyata ini ilusi manusia, kisah, harapan, mimpi-mimpi dan ketiadaan idealitas semesta. Sekedar panacea. Tetapi, di atas segalanya, semoga engkau sudah merasakannya.(*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!