‘Abd al-Karim al-Khathib dalam karyanya Al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an menukil sebuah riwayat hadis dari al-Bukhari. Dalam Shahih-nya, al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra. yang mengatakan, “Wahyu pertama yang sampai kepada Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar ( al-ru’ya al-shadiqah). Beliau tidak pernah bermimpi kecuali hal itu datang seperti cahaya Shubuh.
Sejak saat itu beliau senang berkhalwat. Beliau datang ke gua Hira dan menyendiri di sana, beribadah (tahannuts) selama beberapa malam. Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian kembali ke Khadijah dan membawa bekal serupa. Sampai akhirnya dikejutkan oleh datangnya wahyu (al-haqq), saat beliau berada di gua Hira. Malaikat (Jibril) datang kepadanya dan berkata, “Bacalah!” Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Kemudian Rasulullah SAW berkata, “Lalu di merangkulku sampai terasa sesak dan melepaskanku. Ia berkata, ‘Bacalah!’ Aku katakan, ‘ Aku tidak bisa membaca.’ Lalu di merangkulku sampai terasa sesak dan melepaskanku. Ia berkata, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (HR. Al-Bukhari).
Para ulama sepakat bahwa kelima ayat surat al-‘Alaq tersebut merupakan wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW.
Dari rangkaian ayat tersebut dapat dipahami bahwa perintah pertama yang diserukan Allah kepada Rasulullah dan juga umat manusia adalah “membaca”. Ya, membaca dalam pengertian yang seluas-luasnya. Membaca ayat-ayat yang tersurat dan ayat-ayat yang tersirat. Para ulama membagi dua kategori ayat yang harus dibaca dan dikaji oleh umat manusia, yaitu ayat-ayat qauliyah/kitabiyah berupa teks al-Qur’an, dan ayat-ayat kauniyah, yaitu seluruh fenomena alam yang terhampar di jagat raya ini.
Komaruddin Hidayat, dalam Buku Agama Punya Seribu Nyawa menambahkan, selain ayat-ayat kitabiyah dan kauniyah, juga penting bagi kita membaca ayat-ayat nafsiyah, yaitu wahyu yang tertulis di dalam diri manusia, dan juga ayat-ayat ijtima’iyah-tarikhiyah, yaitu wahyu yang bekerja melalui hukum sejarah.
Perintah “membaca” pada ayat tersebut juga bisa dimaknai bahwa setiap manusia harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan. Setiap manusia harus berusaha untuk melepaskan diri dari kebodohan. Karena untuk dapat memahami hakekat dirinya, lebih-lebih hakekat Tuhannya, maka seseorang harus memiliki bekal pengetahuan yang cukup. Tanpa ilmu pengetahuan, seseorang tidak akan mampu memahami hakekat dirinya, lebih-lebih hakekat Tuhannya. Tanpa Ilmu pengetahuan, seseorang akan menjalani kehidupan di dunia ini tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Salah satu cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan adalah melalui aktivitas membaca. Ya, dengan membaca buku, maka terbukalah wawasan seseorang. Dengan membaca dan mengkaji fenomena alam, tersingkaplah segala ‘misteri’ yang ada di jagat raya ini. Singkatnya, membaca membuka cakrawala pengetahuan kita. Maka tepat jika ada ungkapan menyebutkan, membaca, membuka jendela dunia.
Landasan teologis yang ditunjukkan rangkaian ayat di atas menegaskan betapa pentingnya aktivitas membaca. Membaca dalam makna yang luas, seperti dijelaskan oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya, Membumikan Al-Quran. Menurutnya, kata iqra dalam ayat tersebut, yang berarti bacalah! (perintah membaca), terambil dari kata qara’a yang mengandung arti: menghimpun, menelaah, membaca, meneliti dan mendalami.
Dengan demikian, membaca adalah langkah kita untuk menelaah, meneliti serta mendalami ilmu pengetahuan yang tersebar di muka bumi ini. Budaya membaca akan menuntun kita pada kedewasaan berpikir, bersikap dan bertindak. Dengan membaca, jiwa kita dipenuhi oleh cahaya ilmu, pancaran pengetahuan dan pendaran sinar informasi.
Aktivitas membaca ini akan bernilai tinggi dan membawa manfaat serta keberkahan jika dilandasi oleh nilai-nilai spiritual. Dalam redaksi ayat di atas, membaca harus disandarkan atas nama Tuhan. Memulai bacaan dengan menyertakan Tuhan sebagai pijakan awal, akan memberikan ketenangan dan kedamaian. Ilmu pengetahuan yang kita pelajari harus dilandasi oleh nilai-nilai spiritualitas. Sebab, jika ilmu pengetahuan yang kita kaji dilepaskan dari nilai-nilai spiritualitas, maka yang akan lahir adalah ilmuwan-ilmuwan arogan, yang merasa apa yang mereka pahami hanya bersumber pada logika serta rasionalitas mereka semata. Maka, berpagi-pagi al-Qur’an mengingatkan, “Bacalah dengan nama Tuhanmu…”
Ruang Inspirasi, Selasa, 29 Desember 2020.