“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(Al-Syams: 7-10)
Di manakah letak kebahagiaan? Apakah ianya ada di dalam rumah mewah berharga miliaran rupiah, ataukah ada di deposito dengan nominal berpuluh-puluh digit, ataukah ada di jabatan yang tinggi, ataukah ada di sederet gelar akademis yang mentereng, ataukah ada di popularitas yang menjulang?
Bukan, bukan di situ letak kebahagiaan. Rumah yang mewah tidak bisa membeli keharmonisan rumah tangga atau kebahagiaan penghuninya. Deposito yang menggunung tidak mampu membayar ketenangan hidup. Jabatan yang tinggi tidak bisa membeli kemuliaan diri. Gelar akademis yang berderet tidak menjamin keberkahan ilmu pemiliknya. Pun popularitas yang menjulang tidak bisa membayar harga sebuah kedamaian hati dan ketenteraman jiwa.
Bahagia tuh di sini! Di dalam jiwa yang bersih dan suci, hati yang lapang, batin yang tenang. Ya, seperti ditegaskan Al-Qur’an dalam rangkaian ayat-Nya, “sungguh berbahagia orang yang menyucikannya (jiwa) itu. Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams: 9-10).
Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan, orang yang berbahagia adalah mereka yang ‘menyucikan jiwa’, yakni membersihkan diri dengan amal saleh dan takwa. Sedangkan orang yang sengsara adalah mereka yang ‘mengotori jiwa’ dengan menutupi atau menyembunyikan potensi serta kualitas diri dengan perbuatan dosa dan maksiat.
Ayat di atas menjawab pertanyaan di awal tulisan ini, bahwa kebahagiaan itu terletak pada jiwa yang suci, hati yang bersih, batin yang jernih. Bahagia itu ada di dalam diri kita. Bahagia itu sangat dekat dengan kita. Tidak perlu jauh-jauh menyeberangi lautan luas, mendaki puncak gunung yang tinggi, atau bahkan berkeliling hingga ke ujung dunia untuk mencari kebahagiaan.
Kebahagiaan bisa hadir kapan saja, di mana saja, dalam kondisi apa saja. Kebahagiaan adalah milik mereka yang selalu memenuhi hati dengan rasa syukur, membuka jiwa penuh lapang, membiasakan batin terus jernih. Bagi mereka ini, meski berada di dalam rumah sederhana, dalam kondisi ekonomi serba terbatas, pendidikan yang rendah, tidak diperhitungkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat, kebahagiaan akan selalu hadir menemani hari-hari mereka.
Bahagia itu, ketika segala penyakit hati mampu kita singkirkan dari kehidupan kita. Bahagia itu ketika sifat iri dan dengki (hasad) mampu kita ganti dengan sifat syukur serta menerima (qana’ah). Bahagia itu, ketika amarah dan dendam mampu kita redam dan diganti dengan sabar dan memaafkan. Bahagia itu ketika sifat sombong (takabur) mampu kita ganti dengan sifat rendah hati (tawaduk). Bahagia itu ketika sifat kikir (bakhil) mampu kita ganti dengan sifat dermawan (sakhawah).
Bahagia itu ketika sikap putus asa atau frustrasi mampu kita ganti dengan optimis dan berpikir positif (positive thinking) serta berperasaan positif (positive feeling, husnuzhan). Bahagia itu ketika seluruh aktivitas hidup kita hanya kita tujukan dan serahkan kepada Allah SWT.
Kebahagiaan hakiki adalah ketika seluruh aktivitas hidup kita hanya kita sandarkan kepada Allah SWT, tidak kepada yang lain. Karena kita yakin bahwa hanya Allah yang mampu memenuhi segala hajat, menyelesaikan segala persoalan, menganugerahkan nikmat, menghadirkan kebahagiaan, serta menyelamatkan kita dari kesengsaraan dan bencana dunia dan akhirat.
Ruang Inspirasi, Senin, 9 Maret 2020.