31.7 C
Jakarta

Banjir Bandang Sumatera: Urgensi Ekoteologi dalam Tata Kelola Lingkungan

Baca Juga:

JAKARTA, MEMARA62.COM — MAARIF Institute menyampaikan keprihatinan dan duka yang mendalam terhadap bencana banjir bandang yang melanda tiga provinsi di Sumatra: Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada 27 November 2025. Bencana Sumatra ini menjadi alarm serius bagi kita semua tentang pentingnya menjaga ekosistem lingkungan untuk keberlangsungan hidup manusia.

“Bencana ini menyebabkan kelumpuhan sosial di berbagai wilayah, memaksa beberapa kabupaten dan kota menetapkan status darurat karena dampak yang terus meluas. Data sementara mencatat setidaknya lebih dari 400 korban jiwa, angka yang menunjukkan besarnya tragedi yang menimpa masyarakat,” ujar Andar Nubowo, Direktur Eksekutif Ma’arif Institute dalam siaran pers yang diterima redaksi pada Senin (1/12/2025).

BMKG dan BRIN menjelaskan, bencana ini dipicu oleh Siklon Senyar, fenomena alam kuat yang menyebabkan curah hujan ekstrim di wilayah Sumatera. Namun, munculnya ribuan gelondongan kayu yang ikut terseret arus banjir memperlihatkan bahwa bencana ini tidak hanya disebabkan oleh situasi klimatologi, tetapi juga disebabkan oleh kerusakan ekologis akibat deforestasi yang turut memperparah dampak bencana. Ini semua menandakan bahwa telah terjadi kerusakan di hutan Sumatra karena aktivitas manusia.

Peristiwa ini, menurut Andar, mengingatkan kita pada pentingnya perspektif ekoteologi, yaitu cara pandang bahwa alam bukan sekadar sumber daya, tetapi ciptaan Tuhan yang hidup dan bernilai. Manusia sebagai khalifah memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk menjaga dan memperlakukan alam secara adil. Eksploitasi lingkungan yang berlebihan pada akhirnya berbalik membawa kerusakan bagi seluruh makhluk hidup.

“Manusia merasakan kerugian materi dan moril, sementara hewan kehilangan habitat dan ekosistem bahkan banyak yang mati. Karena itu, bencana ini harus menjadi momentum bagi bangsa untuk melakukan pertobatan ekologis dan refleksi mendalam mengenai hubungan kita dengan alam, sekaligus mempertimbangkan masa depan generasi berikutnya yang berpotensi mewarisi kondisi lingkungan yang lebih buruk bila kerusakan tidak dihentikan,” ujarnya.

Terkait bencana di Sumatera ini, MAARIF Institute menyampaikan beberapa pernyataan.

Banjir bandang di Sumatera membuktikan adanya kerusakan ekologis yang merupakan bentuk kegagalan tata kelola lingkungan di Indonesia. Temuan ribuan gelondongan kayu yang terbawa arus menegaskan bahwa telah terjadi deforestasi hutan di Sumatera. Lemahnya pengawasan kawasan hutan dan indikasi adanya illegal logging juga menjadi bukti pemerintah memperhatikan ekologi di Sumatera. Kondisi ini juga berkontribusi signifikan terhadap risiko bencana serupa di masa yang akan datang, tidak hanya di Sumatera, tetapi di daerah lain juga.

Pemerintah perlu menunjukkan komitmen nyata untuk memperbaiki tata kelola perlindungan lingkungan yang tegas. Tindakan moratorium dan evaluasi menyeluruh perlu ditingkatkan terhadap aktivitas lingkungan, terutama penegakkan hukum untuk kegiatan illegal logging dan sistem pengawasan yang ketat terhadap program alih fungsi hutan.

Indonesia merupakan negara dengan risiko bencana alam yang tinggi, oleh karena itu penguatan sistem peringatan dini harus dibangun dengan lebih baik lagi. Pembangunan alat pendeteksi bencana ini dapat dikembangkan dengan menggunakan teknologi yang canggih untuk meminimalisir tingginya angka korban. Selain itu, integrasi data antara BMKG, BNPB, dan pemerintah harus terintegrasi untuk memastikan deteksi dan mitigasi dini dapat dilakukan secara efektif.

Pemerintah, menurut Andar, perlu meningkatkan komunikasi dan kerjasama dengan komunitas adat dan masyarakat sipil untuk memperkuat pemantauan ekologis berbasis pengetahuan lokal. Masyarakat dengan nilai spiritual dan tradisinya sangat berpengaruh terhadap pelestarian lingkungannya sendiri. Sehingga, penting untuk melibatkan komunitas ini secara aktif untuk menjaga ekologinya.

Andar menjelaskan, ketidaksanggupan pemerintah daerah dalam menangani dampak bencana menuntut intervensi pemerintah pusat. Pemerintah pusat perlu mempertimbangkan pengangkatan status bencana ini menjadi bencana nasional berdasarkan UU no. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana dan Peraturan Pemerintah No. 21/2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan Sumatra wajib melaksanakan audit ekologis secara transparan. Program rehabilitasi lingkungan harus dilakukan secara berkelanjutan dan segera menghentikan aktivitas yang merusak. Investasi hijau yang berbasis nilai ekoteologi perlu dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas ekologi dan sosial.

“Organisasi masyarakat sipil dan komunitas lingkungan memiliki peran yang sangat strategis dalam pengawasan lingkungan berbasis ekologis,” ujarnya.

Kampanye ekoteologi, advokasi kebijakan dan literasi ekologi, pendampingan masyarakat, serta kolaborasi lintas sektor harus diperkuat untuk membangun ketahanan ekosistem dan meningkatkan kolaborasi masyarakat dalam menjaga lingkungan.

Masyarakat umum perlu meningkatkan kepedulian dan kesadaran ekologis sebagai bagian dari tanggung jawab moral terhadap lingkungan. Praktik-praktik yang mengedepankan hidup ramah lingkungan, menjaga vegetasi lokal, serta partisipasi dalam kegiatan pemulihan lingkungan adalah bentuk kontribusi nyata dalam membangun interaksi yang adil dan berkelanjutan antara manusia dan alam.

Seluruh masyarakat Indonesia dapat turut serta membantu dan berkontribusi untuk memberikan bantuan kepada korban bencana melalui saluran filantropi yang resmi dan terpercaya. Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu korban dan pemulihan sosial dan ekologis di wilayah terdampak. Bantuan yang disalurkan melalui lembaga filantropi yang kredibel dan terpercaya, akan memastikan distribusi yang tepat sasaran dan akuntabel untuk mendukung pemulihan jangka panjang bagi para korban bencana dan memperbaiki ekologi yang rusak.

Andar mengingatkan, sika MAARIF Institute jelas, merawat dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan adalah tanggung jawab semua pihak. Pemerintah, perusahaan, organisasi masyarakat, dan masyarakat luas perlu mengambil peran sesuai kapasitas masing-masing untuk memulihkan ekosistem, menjaga bumi, dan membangun tata kelola lingkungan yang lebih adil serta berkelanjutan.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!