Oleh: Ismail Fahmi
YOGYAKARTA, MENARA62.COM – Saat Aceh dan Sumatera “Tenggelam”, Percakapan Publik Mengungkap Sesuatu yang Lebih Gelap dari Sekadar Banjir
Banjir mungkin datang dari langit, tapi kemarahan publik datang dari bawah. Dari lumpur, dari jalan-jalan terputus, dari warga yang berteriak minta tolong sementara negara sibuk berdebat soal status bencana nasional. Dan di balik semua itu, satu pertanyaan menggantung di udara. Apakah Aceh dan Sumatera sedang kebanjiran air, atau sedang kebanjiran ketidakadilan?
Bencana Besar yang Membuka Luka Politik Lama
Laporan Drone Emprit menunjukkan betapa besar skala bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Antara 25–29 November 2025 saja, percakapan publik mencapai 102.599 mentions dengan 382 juta interaksi, mayoritas dari X/Twitter dan TikTok. Di lapangan, kerusakan sangat masif. Jembatan putus, jalan nasional lumpuh, puluhan kecamatan terisolasi, dan korban jiwa melonjak hingga 303 orang pada 29 November.
Tetapi data ini mengungkap sesuatu yang lebih besar dari bencana. Kemarahan terhadap persepsi ketidakadilan politik.
Di media sosial, sentimen negatif mencapai 35–46%, didorong oleh narasi:
– Penolakan pemerintah menetapkan status bencana nasional
– Isu Jawa-sentrisme dalam penanganan bencana
– Tuduhan bahwa izin tambang & sawit adalah akar kerusakan ekologis
– Persepsi bahwa Sumatera diabaikan karena bukan Jawa
Tagar seperti #SaveOrangUtanTapanuli dan kritik terhadap deforestasi masif semakin mempertegas bagaimana publik melihat bencana ini bukan lagi sebagai musibah alam, tetapi kejahatan ekologis.
Dua Realitas: Apa yang Dilihat Media, dan Apa yang Dialami Warga
Menariknya, laporan menunjukkan jurang persepsi antara pemberitaan media online dan narasi publik di medsos.
Media mainstream menonjolkan hal-hal positif: helikopter TNI, evakuasi udara, kunjungan presiden, dan bantuan puluhan ton logistik. Sebanyak 60% pemberitaan bernada positif.
Media sosial menampilkan realitas yang lebih gelap: warga terjebak, akses komunikasi hilang, solar habis, listrik padam berhari-hari, dan banyak yang tidak tersentuh bantuan karena terisolasi.
Peta percakapan X menunjukkan empat kluster besar:
1. Narasi Pemerintah: update cuaca, instruksi evakuasi, dan evaluasi tata kelola hutan.
2. Narasi Publik Positif: doa & donasi.
3. Narasi Media: penyebab banjir (Siklon Senyar & deforestasi).
4. Narasi Aktivis & Publik Kritis: tuduhan bencana ekologis & kritik politik.
Di sinilah terlihat Indonesia hidup dalam dua realitas informasi. Yang satu melihat negara bekerja, yang satu melihat warga berjuang sendiri.
Banjir atau Bencana Ekologis? Publik Mengarahkan Tudingan
Walau BMKG menyebut Siklon Tropis Senyar sebagai pemicu hujan ekstrem, publik menolak menjadikan cuaca sebagai kambing hitam. Data percakapan menunjukkan narasi ekologis sangat dominan.
Beberapa tokoh menegaskan hal ini, misalnya:
– WALHI menyebut banjir sebagai “bencana ekologis akibat campur tangan manusia”.
– Komisi VIII DPR menunjukkan keberadaan kayu gelondongan mengindikasikan perambahan hutan di hulu sungai.
– Tagar seperti #SaveOrangUtanTapanuli memperkuat desakan publik untuk audit izin tambang dan sawit.
Ratusan ribu warga membagikan video satelit, drone, dan foto deforestasi, menunjukkan perubahan tutupan lahan secara drastis di daerah-daerah terdampak.
Di panggung opini publik, bencana ini bukan lagi “banjir karena hujan”, tetapi “banjir karena kebijakan”.
Solidaritas Warga
Di tengah isolasi dan terputusnya akses, publik bergerak sendiri.
Gelombang solidaritas terlihat jelas:
– Donasi publik meningkat tajam
– Warganet membuat peta lokasi warga terjebak
– Organisasi masyarakat, PMI, MDMC, dan lembaga keagamaan bergerak lebih cepat di beberapa titik dibanding bantuan pemerintah daerah
Laporan menunjukkan tagar #PrayForSumatera bukan hanya doa, tetapi alat mobilisasi kolektif untuk bantuan darurat. Ini menunjukkan apa yang disebut laporan sebagai “solidaritas organik”. Saat warga mengambil alih peran yang seharusnya dikerjakan pemerintah dalam kondisi darurat.
Ketika Mesin Negara Dikerahkan
Di tengah kritik keras soal lambatnya respons di darat, negara sebenarnya sudah mengerahkan kekuatan udara secara masif untuk menjangkau wilayah yang lumpuh total. Menurut laporan, akses darat ke Sibolga dan beberapa daerah di Tapanuli sempat tidak bisa ditembus karena jalan nasional terbelah dan jembatan putus. Satu-satunya cara masuk adalah lewat udara.
Presiden Prabowo memerintahkan mobilisasi TNI–Polri–BNPB untuk percepatan evakuasi dan distribusi logistik, termasuk:
– Helikopter SAR untuk evakuasi dan airdrop bantuan
– Pesawat angkut untuk mengirim logistik dalam jumlah besar
– Bantuan pangan seperti 32,7 ton beras dan 6.300 ton minyak goreng dikirim via udara oleh pemerintah pusat
– Operasi cuaca untuk mengurangi curah hujan ekstrem di wilayah terdampak
Data ini tercatat sebagai salah satu faktor yang menciptakan sentimen positif di media online, yaitu 60% pemberitaan memuji respons cepat dan koordinasi negara dalam pengerahan bantuan udara.
Bahkan di media sosial yang cenderung kritis, visualisasi helikopter dan aparat menyelamatkan warga mampu mendorong peningkatan sentimen positif, khususnya di platform berbasis video seperti YouTube dan TikTok.
Bencana Ini Mengungkap Lebih dari Sekadar Kerusakan Fisik
Data dalam laporan menunjukkan bahwa bencana di Sumatera adalah:
1. Krisis ekologis yang lama ditumpuk, baru meledak sekarang.
Deforestasi, tata ruang yang lemah, dan izin lahan dilepaskan seperti bom waktu.
2. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah pusat.
Penolakan menetapkan status bencana nasional menjadi simbol “ketimpangan respons negara”.
3. Krisis infrastruktur vital.
Ketakutan terbesar publik bukan airnya, tapi terjebak tanpa listrik, komunikasi, atau logistik.
4. Krisis komunikasi pemerintah.
Media memberikan narasi positif, tetapi publik melihat kenyataan berbeda.
Dan pada akhirnya, laporan ini menunjukkan: banjir membanjiri Aceh dan Sumatera, tetapi ketidakadilan membanjiri percakapan publik.
Analisis Lengkap

