JAKARTA, MENARA62.COM – Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyebutkan pandemi Covid-19 menyebabkan sekolah di 190 negara di dunia ditutup. Terdapat sekitar 1 miliar siswa terpaksa harus belajar dari rumah.
Kondisi seperti itu juga dialami Indonesia. Tercatat sekitar 53 juta siswa terpaksa harus belajar dengan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) sejak pandemi Covid-19 melanda tanah air setahun yang lalu. Padahal pelaksanaan PJJ hanya memiliki efektifitas 30 persen.
“Jadi ada learning loss, ada yang hilang dalam proses pembelajaran selama dilaksanakan PJJ,” kata Subandi Sardjoko, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kemenko PMK pada Rakornas Bidang Perpustakaan tahun 2021, Senin (22/3/2021).
Dengan efektivitas pembelajaran yang hanya 30 persen, Bank Dunia memprediksi skor PISA Indonesia baik PISA untuk matematika, sains maupun membaca akan turun sebesar 21 poin. Padahal sebelum ada pandemi kita tengah berjuang untuk meningkatkan budaya literasi dari 55,0 menjadi 71,0 persen.
Selain menurunnya Programme for International Student Assessment (PISA) membaca, pembelajaran jarak jauh juga meningkatkan potensi anak putus sekolah. Berdasarkan penelitian, PJJ selama 4 bulan telah meningkatkan angka putus sekolah sekitar 0,13 persen atau sekitar 48 ribu siswa terutama dikalangan SD. “Ini harus menjadi perhatian kita semua,” tegasnya.
Dalam kondisi seperti sekarang ini menurut Subandi, perpustakaan memiliki peran yang sangat penting dan strtategis. Perpustakaan memiliki kontribusi besar agar kemauan anak untuk belajar tetap terjaga.
“kita tahu bahwa selama pandemi, banyak perpustakaan daerah yang membuka layanan internet gratis bagi siswa,” katanya.
Subandi mengingatkan pemerintah telah menetapkan tema Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yakni Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong. Untuk mewujudkannya telah ditetapkan 7 agenda pembangunan yakni memperkiat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas, mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan, meningkatkan SDM berkualitas dan berdaya saing, revolusi mental dan pembangunan kebudayaan, memperkuat infrastruktur, membangun lingkungan hidup, membangun ketananan bencana dan perubahan iklim serta memperkuat stabiitas Polhukhankam dan transformasi pelayanan publik.
“Arah kebijakan pembangunan literasi tahun 2024 adalah membangun manusia yang berkualitas dan berdaya saing,” tambahanya.
Subandi mengatakan indeks pembangunan (IPK) secara nasional pada 2018 sebesar 53,74 naik 2,16 poin menjadi 55,91 pada 2019. Dimensi budaya literasi terus mengalami peningkatan dari 55,03 (2018) menjadi 59,11 (2019). Namun untuk mencapai target 2024 sebesar 71,04 kita masih perlu kerja keras.
Untuk mencapai target budaya literasi, pemerintah, diakui Subandi telah menetapkan berbagai strategis kebijakan pencapaian target nulai buaya literasi. Yakni peningkatan akses dan kualitas layanan literasi (perpustakaan umum propinsi, kabupaten, kota, perpustakaan sekolah, perpustakaan desa dan lainnya).
Lalu strategi selanjutnya adalah peningkatan ketersediaan konten literasi yang berkualitas dalam berbagai moda. Misalnya dalam bentuk buku, e-book, video dan lainnya.
Strategis lainnya adalah peningkatan budaya kegemaran membaca melalui sekolah, keluarga dan masyarakat. Juga peningkatan infrastruktur TIK untuk mendukung transformasi digital.
“Untuk berbagai strategi atau kebijakan tersebut tentu perpustakaan nasional tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada kerjasama lintas sektor termasuk dengan swasta dan lembaga filantropi. Misalnya dengan Kemendikbud dan Kemenag,” katanya.
Subandi juga mengingatkan pentingnya setiap orangtua untuk menanamkan budaya membaca pada anak sejak kecil. Jika sejak kecil anak sudah dibiasakan membaca, maka ia akan menjadi pembelajar sepanjang hayat, akan memiliki kegemaran membaca dan ini tentu akan membuat literasinya meningkat.